Friday, August 3, 2007

MENARA BABEL II

“Mutandai pa ma’basa Toraya?”
Sebuah pertanyaan yang beberapa kali diajukan orang ke saya belakangan ini. Terjemahan bebasnya “Masih bisa bahasa Toraja?” Sebenarnya, ini hal yang sangat sederhana namun cukup membuat saya berpikir dengan seringnya pertanyaan tersebut diajukan ke saya.

Dengan bangga saya selalu menjawab “bisa dong”. Sebagai orang yang lahir dan besar di daerah, bukan hal yang aneh kalau saya masih fasih berbicara dalam bahasa setempat. Justru akan malah aneh kalau saya bilang, “Tahu dikit” atau “ngerti sih tapi gak terlalu bisa”.

Seorang guru besar pendidikan bahasa salah satu universitas di Jakarta pernah menulis kekhawatirannya tentang tendensi penurunan kemampuan berbahasa daerah di kalangan anak muda jaman sekarang. Dari data yang ada, puluhan bahasa daerah di nusantara ini telah punah dan ratusan lainnya sedang terancam punah. Sebuah kondisi yang menurut beliau perlu diberi perhatian serius. Kepunahan bahasa daerah berarti pula kepunahan budaya. Nilai-nilai adat berupa kehalusan sikap dan tutur kata bukan mustahil akan lenyap seiring lenyapnya bahasa daerah.

Beberapa tahun yang lalu, saya sempat mengobrol dengan seorang turis asal Belgia di acara penguburan kakek saya. Tinggal di negara yang diapit oleh beberapa negara dalam bahasa yang berbeda-beda membuatnya fasih berbicara dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda. Menurut pengakuannya, hampir semua temannya memiliki kemampuan bahasa yang sama. “Wah, hebat yah” puji saya. Dia lalu menjawab “Kamu juga. Kamu bisa bahasa Inggris, Indonesia, Jawa dan Toraja. Kita sama-sama bisa empat bahasa kan?”

Saya menyimak lebih jauh tulisan guru besar tadi. Seandainya semua bahasa daerah di Indonesia sudah punah maka yang tersisa hanyalah bahasa Indonesia. Sementara, tren yang sedang berkembang saat ini adalah digunakannya beberapa kata-kata dalam bahasa Inggris di dalam percakapan sehari-hari. Kita bisa lihat dalam beberapa lirik lagu, seperti “Maaf kita putus, so thank you so much, I’m sorry goodbye atau ”once upon a time, ada sebuah bintang”. Ada kemungkinan beberapa generasi ke depan, tidak akan ada lagi lagu dengan lirik bahasa Indonesia utuh yang diciptakan seniman Indonesia.

Saya kira semua orang setuju kalau bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa internasional. Semua orang sedang berusaha untuk bisa menguasai bahasa tersebut untuk bisa bersaing dan bertahan hidup. Bukan hal yang aneh jadinya kalau suatu saat nanti bahasa yang tersisa tinggal bahasa Inggris.

Kalau saya perhatikan, sekarang ini tidak banyak lagi anak-anak umur sekolahan dari daerah saya yang menggunakan bahasa Toraja dalam percakapan sehari-hari. Yang ada adalah bahasa Indonesia dengan dialek lokal. Menurut mereka, ada kebanggaan tersendiri apabila mereka menggunakan bahasa Indonesia apalagi kalau dicampur sedikit-sedikit dengan bahasa Inggris dalam pergaulan. Gengsi juga menjadi salah satu alasan bagi mereka untuk tidak lagi memakai bahasa daerah. Kalau teringat percakapan saya dengan bule Belgia tadi, saya jadi bingung. Bagi saya, kemamupuan berbahasa daerah merupakan sebuah kebanggaan karena menambah daftar bahasa yang saya kuasai tapi dari sudut pandang mereka, itu adalah sebuah hal yang bisa menurunkan prestise dan kadar “gaul”.

Saya lalu teringat kisah menara Babel dalam kitab Kejadian. Tuhan mengacaubalaukan manusia dengan menciptakan banyak bahasa sehingga mereka tidak dapat lagi berkomunikasi dengan baik. Momen tersebut menandai hancurnya keangkuhan manusia di hadapan Tuhan. Saya jadi berpikir, mungkinkah gejala punahnya bahasa-bahasa daerah yang (semoga saja) tidak disusul oleh kepunahan bahasa-bahasa nasional adalah titik awal sebuah kehancuran baru? Kalau dulu, Tuhan menegur manusia dengan membuat banyak bahasa, mungkinkah sekarang Tuhan sedang menegur kita dengan cara yang terbalik? Mungkinkah kita sedang membangun menara Babel yang kedua?

3 Agustus 2007
Kutai Rig-3, Well Semberah #82