Friday, November 16, 2007

BUS SEMARANG - SOLO

Jarum jam di arlojiku sudah menunjukkan pukul 23:30 saat aku tiba di perempatan Milo, Semarang. Setengah jam lagi maka lengkaplah hari ini kulalui dengan bepergian. Dimulai dari Pagerungan, sebuah pulau kecil kaya gas bumi yang berjarak 300 km dari Surabaya ke arah timur, kuawali hari ini dengan menghabiskan satu setengah jam yang membosankan dalam pesawat CASA tipe CN-212 ke Surabaya.

Pesawat yang cuma mampu menampung 20 penumpang termasuk pilot, co-pilot dan pramugari itu menggerung sangat keras saat mesinnya mulai dinyalakan. Untungnya, pramugari memberikan sepasang ear protector seukuran setengah jari telunjuk orang dewasa berwarna oranye yang terbuat dari karet berujung lancip untuk menahan kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin pesawat dan gesekan udara dengan badan pesawat. Kuimbangi juga dengan sedikit membuka mulut agar getaran yang masuk ke telinga dapat tersalurkan ke rongga mulut lewat saluran Eustachius.

Saat terbang melintasi selat Madura, kusaksikan hamparan pulau-pulau kecil nan eksotis yang tampak seperti noktah-noktah hijau di atas permadani biru. Kunikmati sesaat anugerah Tuhan itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Sempat juga terasa ngeri membayangkan kalau pesawat kecil ini harus mendarat darurat di air karena kerusakan mesin. Meskipun aku pandai berenang, tapi apalah artinya jika harus tercebur ke dalam lautan seluas itu. Secara refleks, kuingat materi-materi latihan saat mengikuti HUET (Helicopter Underwater Escape Training) dan SS (Sea Survival) yang pernah kuikuti dua tahun yang lalu. Dari pengalaman orang yang pernah kecelakaan pesawat, semua materi pelatihan itu “bulshit” saat kejadian yang sebenarnya terjadi. Intinya adalah jangan panik dan tetap tenang saat kecelakaan terjadi. Namun tentu saja semua itu kembali lagi ke kehendak Sang Empunya Hidup.

Hujan rintik-rintik mulai turun saat aku naik bis jurusan Semarang-Solo. Untungnya belum sempat deras, padahal berdasarkan teori Geografi, bulan November seharusnya sudah memasuki musim hujan. Sambil menenteng travel bag yang berisi PPE (Personal Protective Equipments) dengan tangan kanan, kujejakkan kaki kananku terlebih dahulu ke atas tangga bis diikuti oleh kaki kiri. Hal ini kulakukan untuk mengimbangi laju bis yang tanpa kompromi terus bergerak saat aku naik. Berbeda saat mau turun, kaki kiri duluan yang harus menjejak tanah agar momentum bis searah dengan tubuh. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa duduk dalam bis yang sumpek dan beraroma kurang sedap.

Rasa lelah yang mendera seolah tak terasa saat bis mulai melaju di atas jalan yang agak licin akibat hujan. Terbayang di mataku indahnya kebersamaan yang akan kualami dengan teman-teman lamaku di Salatiga semasa kuliah dulu. Berkat sedikit paksaan dari seorang sahabat di sana, akhirnya kuputuskan untuk menghabiskan masa off-ku kali ini di Salatiga. Yah, sekalian bernostalgia dengan suasana mahasiswa yang penuh idealisme. Terkenang masa-masa itu lima tahun yang lalu. Kurun waktu yang tidak bisa dibilang sebentar sebenarnya, tapi tanpa terasa sudah kulalui begitu cepat. Dalam hal ini, menurutku Einstein benar dengan teori Relativitas-nya. Terkadang menunggu lima menit terasa sangat lama, namun ada juga kalanya menunggu bertahun-tahun terasa hanya sekejapan mata. Memang, kajian Einstein lebih bernuansa fisika soal Relativitas waktu-nya dan sepertinya dalam kasusku tidak ada unsur Fisika-nya sama sekali tapi intinya adalah waktu bukanlah sebuah dimensi yang absolut.

Kehidupan yang kujalani belakangan ini terasa agak menjenuhkan. Alasan itu pulalah yang mendorong aku menerima “paksaan” sahabatku untuk datang ke Salatiga. Waktu off selama dua minggu sering terasa sangat membosankan. Suasana kerja yang penuh dengan tekanan membuatku sering stres. Ditambah lagi dengan rasa kesepian tinggal bersama teman-teman kerja yang ketemunya paling dua bulan sekali, itu pun kalau jadwalnya pas sama-sama off. Untuk menghibur diri, aku sering menghabiskan waktu dengan nongkrong di mall seharian penuh sampai-sampai urutan counter di mall itu sudah berada di luar kepala. Namun, semua itu hanya bersifat temporer saja. Aku sering merasakan kehampaan dalam jiwaku. Saat sistem metabolisme tubuh masuk tahap istirahat, hanya ragaku yang melakukannya tapi jiwaku tidak. Dari situ kubuktikan begitu berpengaruhnya jiwa terhadap raga. Bukan sebaliknya seperti pepatah asing lama yang sudah tidak laku lagi, men sana incor pore sano.

Bis melambatkan lajunya saat mengambil beberapa penumpang di pinggir jalan. Kuambil sebatang rokok Mild berwarna putih dari saku celana jeansku. Saat menyalakan pemantik, seorang pengamen naik dan berdiri tepat di sebelahku. Beberapa kalimat pembuka yang bagiku kedengaran seperti pidato (membosankan) pak lurah di acara-acara non formal kelurahan diucapkannya sebelum memulai “konser”. Diiringi gitarnya yang usang, pengamen itu menyanyikan beberapa lagu yang satu pun belum pernah kudengar. Entah karena lagunya ciptaan sendiri atau sudah digubah menjadi rangkaian melodi yang baru. Atau mungkin juga pengetahuan musikku yang masih kurang. Awalnya aku merasa cukup terganggu ditambah lagi dengan iringan gitarnya yang berbeda nada dasar dengan suaranya. Kuputuskan untuk tidak memberikan sepeser pun pada pengamen itu. Setelah mengucapkan kalimat penutup yang lagi-lagi seperti pidato pak lurah, pengamen itu mulai mendatangi penumpang bis dari depan satu per satu untuk menagih “bayaran”. Setiap kali bunyi gemerincing akibat tabrakan antar logam keluar dari dalam bekas bungkusan permen di tangannya, dia mengucapkan terima kasih kepada orang yang menjatuhkan logam tersebut. Tapi untuk yang tidak menyebabkan bunyi, no coins no thanks. Ketika semakin mendekat ke arahku, sekelumit pikiran muncul dalam benakku. Aku merasa pengamen ini sama denganku. Aku sedang mencari sesuatu yang hilang dari jiwaku, kurasa dia pun begitu. Bagian jiwa kami yang hilang mungkin sangat berbeda, tapi paling tidak kami berada di tempat dan tujuan yang sama. Akhirnya, kurogoh sakuku dan memasukkan selembar uang ribuan ke dalam bungkus permennya. Selembar alat tukar sah yang bagi sebagian orang mungkin tidak ada artinya tapi bagi pengamen itu adalah berkat yang luar biasa. Tampak dari ekspresi wajah dan tubuhnya saat mengucapkan terima kasih sambil membungkuk. Meskipun kita menjalani jalur kehidupan yang berbeda, kita senasib kawan, demikian batinku.

Teori Relativitas kembali berkecamuk dalam benakku. Alangkah berbedanya pengamen ini dengan katakanlah aku dalam menilai selembar ribuan itu. Buat dia, mendapatkan uang segitu memerlukan perjuangan yang bagiku sangat berat, tapi mungkin biasa saja untuk ukurannya. Dinilai dari nominal uang tersebut, apa bedanya angka seribu rupiah buat aku dan dia. Tapi, dari segi utilitas dan pencapaiannya mungkin sangat berbeda bagi kami. Satu hal yang kusimpulkan tentang uang adalah seberapa pun besar nominalnya, seberat apa pun usaha pencapaianya dan dalam bentuk apa pun penggunaannya, tujuannya adalah untuk menyenangkan raga dan jiwa. Dalam praktiknya, kebanyakan orang terfokus pada usaha menyenangkan raga daripada jiwa dengan asumsi kepuasan jiwa adalah dampak langsung dari kepuasan badaniah. Dalam beberapa hal asumsi ini ada benarnya, namun bukan sebuah kaidah yang berlaku mutlak. Jalan cerita sinema elektronik yang lagi booming di negeri ini sering menggambarkan kehampaan jiwa orang-orang “kaya” yang lebih terfokus pada usaha pemenuhan kepuasan badaniah. Sebagian besar sinetron memang bukan kisah nyata, tapi paling tidak kondisi seperti itu mencerminkan kenyataan yang terjadi pada masyarakat. Aku pernah mendengar sepintas lalu kisah orang-orang “aneh” seperti Dalai Lama yang sepertinya kontradiktif dengan kebanyakan orang. Dia lebih terfokus pada urusan jiwa yang sangat abstrak, namun kehidupannya lebih berkualitas dari segi penerimaan diri dan kepuasan hidup. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa orang-orang tidak meniru jalan hidup Dalai Lama dan apakah semua orang memang harus seperti dia untuk mencapai hidup yang “berkualitas”?

Apabila dianalogikan, pembagian raga dan jiwa ibarat gunung es yang terapung di laut. Hampir sembilan puluh persen bagiannya berada di bawah permukaan air. Ini disebabkan karena gunung es dan air laut memiliki massa jenis yang sama tapi berada dalam fase yang berbeda, air laut pada fase cair sementara gunung es pada fase padat. Raga adalah bagian gunung es yang muncul di permukaan sementara jiwa adalah bagian gunung es di bawah permukaan air laut. Sangat manusiawi jadinya apabila kebanyakan orang lebih gampang melihat bagian yang muncul daripada yang tersembunyi di bawah permukaan air. Namun, dari analogi gunung es, aku jadi berpikir bahwa kebanyakan orang baru mengexplore sepuluh persen tubuhnya, sepertinya termasuk aku.

Akhirnya, waktu menunjukkan pukul 01:00 dini hari. Satu setengah jam dibutuhkan bis itu untuk sampai di Salatiga. Dengan menjejakkan kaki kiriku terlebih dahulu ke jalan, sampailah aku di tempat untuk mencari bagian jiwaku yang hilang. Tersembul sekelumit harapan untuk menemukannya di sini, sebuah kota kecil di kaki gunung Merbabu yang lima tahun lalu membentukku menjadi sebuah pribadi yang sekarang.

Pagerungan, November 2006

Catatan:
Tulisan ini dibuat di Pagerungan tepat setahun yang lalu. Merupakan tulisan pertama saya, hasil ajakan seorang sahabat yang entah terinspirasi dari mana mengadakan sebuah kompetisi menulis saat itu. Sahabat yang juga mengajak saya ke Salatiga dalam tulisan ini.

Setahun, kurun waktu yang sangat tak terasa. Sebuah masa yang bagi saya pribadi cukup untuk mengklaim sesuatu sebagai hobi.
And here I come with my new world, writing. Sebuah dunia yang sudah saya huni setahun terakhir ini. Indah dengan beragam warna dan nuansa.
Posting “Bis Semarang-Solo” ini adalah sebuah monumen bagi saya. Pertanda sebuah komitmen untuk hidup dengan setia dalam dunia baru ini. Juga, adalah simbol ungkapan terima kasih bagi seorang sahabat yang dengan caranya yang unik membuka pintu masuk ke dunia menulis.

Friday, November 9, 2007

JARI MANIS

Hari ini, salah satu sahabatku menikah. Ada sukacita dan antusiasme saat pagi-pagi bangun untuk persiapan menghadiri pemberkatan nikah di gereja dan resepsi pernikahan. Aku menikmati saat-saat di mana aku kebingungan memilih baju dan celana yang pas. Bolak-balik ke depan cermin, sekedar menyisir rambut agar selalu tampak rapi. Menyemprotkan parfum ke segala penjuru tubuh. Dan, akhirnya berangkat dengan keyakinan penampilan sudah dalam kondisi prima.

Sebenarnya, ini di luar kebiasaanku. Belum pernah gairah seperti ini muncul saat akan menghadiri sebuah acara pernikahan. Biasanya, kehadiran di acara semacam ini hanyalah sebuah formalitas untuk menghargai undangan yang punya hajatan. Entah kenapa, suasana di acara pernikahan tak pernah menarik minatku. Aku lebih suka datang ke acara pemakaman yang dikemas dalam ritual adat Toraja. Namun, kali ini suasana hatiku terasa berbeda. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu yang bergejolak. Tapi, jangan berpikir bahwa ini adalah dorongan untuk segera ikut menikah. Sama sekali bukan.

Aku mengikuti proses pemberkatan nikah dengan khidmat. Saat mengucapkan janji pernikahan, kulihat kesungguhan di mata sahabatku. Entah karena tegang atau benar-benar kesungguhan sejati. Terkadang, lucu juga membayangkan teman yang satu ini bisa seserius itu. Mengingat kekonyolannya saat masih tinggal satu kost semasa kuliah dulu. Pernah, kami menghabiskan malam hingga subuh selama seminggu untuk membahas soal pernikahan. Saat itu, tujuh tahun yang lalu, kami sedang sama-sama jatuh cinta. Untungnya, bukan pada perempuan yang sama. Dari obrolan itu, kami sepakat bahwa kami sudah siap secara mental untuk menikah. Aku tersenyum mengenang masa itu. Bukan karena obrolannya yang “ngawur”, melainkan karena kami sama-sama tidak mendapatkan kedua perempuan tadi.

Pak pendeta turun dari mimbar dan berjalan ke hadapan kedua mempelai. Saatnya meresmikan hubungan mereka di hadapan Tuhan dan jemaat. Sahabatku dan calon istrinya berlutut di lantai di hadapan pendeta. Anggota jemaat berdiri dan menyanyikan Mazmur 134 : 3, “Kiranya Khalik dunia, Allahmu beranugerah, b’ri dari Sion yang teguh, berkatNya pada jalanmu”. Pak pendeta menumpangkan kedua tangan di atas kepala kedua mempelai dan memberkati mereka dalam sebuah pernikahan kudus. Satu pesan yang menurutku sangat berat disampaikan oleh pendeta sebanyak dua kali. “Apa yang dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia”.

Dari seluruh rangkaian prosesi ini, acara pemasangan cincin menjadi bagian yang paling menarik perhatianku. Kunikmati setiap detik saat sahabatku mengambil cincin dari tangan pendeta lalu secara perlahan memasangkannya pada jari manis istrinya. Aku menghabiskan beberapa menit setelah itu untuk merenungkan makna di balik prosesi pemasangan cincin ini. Ada lima jari di tangan kanan yang memiliki peluang yang sama untuk dipasangi cincin, tapi mengapa harus di jari manis? Tradisi ini tentu punya makna seperti halnya dengan cincin yang tak berujung tak berpangkal sebagai perlambang kontinuitas.

Aku meremas-remas jemari tanganku sambil menerawang. Tiba-tiba saja, aku teringat sebuah artikel yang secara tak sengaja kutemukan di data komputer di lokasi kerja beberapa tahun yang lalu. Aku lalu memainkan jemari tanganku seperti dalam artikel itu. Seketika, darahku berdesir. Sungguh, sebuah permainan sederhana yang mengandung makna yang sangat dalam. Dengan antusias, aku menceritakannya kepada sahabatku yang lain yang duduk di sebelahku.

Ini adalah artikel yang membuatku mengerti mengapa cincin pernikahan harus dipasang di jari manis.

Mengapa Cincin Pernikahan Harus Ditaruh di Jari Manis??


Ikuti langkah berikut ini, Tuhan benar2 membuat keajaiban (ini berasal dari kutipan Cina)

1. Pertama, tunjukkan telapak tangan anda, jari tengah ditekuk ke dalam (lihat gambar).
2. Kemudian, 4 jari yang lain pertemukan ujungnya.
3. Permainan dimulai, 5 pasang jari tetapi hanya 1 pasang yang tidak terpisahkan.
4. Cobalah membuka ibu jari anda, ibu jari mewakili orang tua, ibu jari bisa dibuka karena semua manusia mengalami sakit dan mati. Dengan demikian orang tua kita akan meninggalkan kita suatu hari nanti.
5. Tutup kembali ibu jari anda, kemudian buka jari telunjuk anda, jari telunjuk mewakili kakak dan adik anda, mereka memiliki keluarga sendiri, sehingga mereka juga akan meninggalkan kita.
6. Sekarang tutup kembali jari telunjuk anda, buka jari kelingking, yang mewakili anak2. Cepat atau lambat anak2 juga akan meninggalkan kita.
7. Selanjutnya, tutup jari kelingking anda, bukalah jari manis anda tempat dimana kita menaruh cincin perkawinan anda, anda akan heran karena jari tersebut tidak akan bisa dibuka. Karena jari manis mewakili suami dan istri, selama hidup anda dan pasangan anda akan terus melekat satu sama lain.



Real love will stick together ever and forever

Thumb represent parents
Second finger represent brothers & sisters
Centre finger represent own self
Fourth finger represent your partner
Last finger represent your children

Rantepao, 9 November 2007

Saturday, November 3, 2007

PULAU IMPAIN

“Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di bandara Hasanuddin, Makassar. Silahkan mengencangkan sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi dan melipat meja di depan anda”.

Nusie terbangun dari tidur siangnya. Tak terasa sudah hampir sejam ia berada dalam penerbangan dari Balikpapan menuju Makassar. Untuk alasan keamanan, ia mengikuti anjuran pramugari tadi. Mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Ia tak perlu melipat meja di depannya karena tadi melewatkan jatah makan siang.

Lewat jendela kecil di samping kanannya, Nusie menyaksikan selat Makassar yang biru ditaburi dengan puluhan pulau kecil berwarna hijau. Meskipun bukan untuk kali pertama, Nusie selalu merasa kagum dengan pemandangan seperti ini. Hasil karya Tuhan yang tak tersentuh logika manusia secara utuh.

Puluhan rumah kecil tampak seperti balok-balok mainan anak kecil yang disusun dengan teratur. Tersebar di tepian pulau yang menghadap ke laut. Pohon-pohon kelapa tersembul di antaranya, melambai-lambai ditiup angin seolah memanggil para nelayan untuk pulang makan siang. Beberapa perahu penangkap ikan bergerak perlahan di sekitar pulau-pulau kecil tersebut.

Nusie membayangkan para penduduk yang tinggal di pulau-pulau itu. Meskipun jauh dari peradaban modern, ia yakin mereka hidup dengan damai. Jauh dari asap pabrik dan kendaraan bermotor. Jauh dari kemacetan lalu lintas yang sangat menyebalkan bagi orang-orang metropolitan. Namun, Nusie juga tak habis pikir bagaimana mereka bisa hidup di tempat terpencil seperti itu. Untuk orang-orang dengan tingkat mobilitas yang tinggi seperti dirinya, tentu akan bingung menghabiskan waktu di pulau tersebut.

Nusie menoleh ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Ukurannya mungkin tak lebih dari 50 m2. Letaknya agak jauh dari pulau-pulau lain yang berukuran lebih besar. Sepertinya masih perawan. Tak tampak sebuah rumah pun di sana. Perahu nelayan juga tak ada yang berseliweran di sekitarnya. Ia mengamati pulau mungil itu dengan seksama. Darahnya terasa mengalir lebih cepat. Adrenalinnya berpacu. Tak ada yang aneh dengan pulau itu. Juga, tak ada sejenis ikan hiu raksasa di sana yang bisa membuat mata terbelalak. Namun, ada sesuatu yang membuat matanya tak mau lepas memandangi pulau itu.

Sejak mendalami dunia selam semasa kuliah, Nusie menjadi jatuh cinta kepada laut. Keindahan pemandangan alam bawah air yang tak tampak dari permukaan laut menjadi sebuah sumber kekagumannya kepada Tuhan. Sungguh tak tercapai oleh logika. Hanya bisa dikagumi. Sensasi “bebas” saat melayang di dalam air laut sungguh tak tertandingi dan tak bisa ditemuinya di mana pun. Tak ada beban pikiran, tak ada kecemasan dan kekhawatiran. Yang ada hanya bebas, seolah jiwa terlepas dari raga (baca: tak ada beban hidup).

Aneka biota laut yang eksotis turut menyempurnakan kebahagiaan saat menyelam. Berbagai jenis porifera dengan aneka bentuk menjadi pemandangan khas bawah laut. Ikan-ikan anemon yang berwarna hijau, biru dan oranye bergerombol seperti dalam film Finding Nemo. Berenang bebas di sela-sela karang. Sesekali ia melihat Scorpion fish dengan kombinasi warna merah, putih dan hitam yang berukuran sejengkal tangan orang dewasa. Beracun namun tak akan membahayakan bila tak diganggu. Saat melakukan ekspedisi ke Derawan, Berau, Kalimantan Timur, ia pernah melihat seekor ular laut sepanjang 1,5 m yang bercorak garis-garis hitam dan putih dengan mahkota berbentuk segitiga berwarna kuning. Itulah penghuni laut tercantik yang pernah disaksikannya hingga saat ini.

Sejak berurusan dengan BCD (Buoyancy Compensator Devise) alias pelampung, weight belt, fins (sepatu katak), tabung udara, baju selam dan berbagai alat selam lainnya, Nusie menjadi lebih mencintai hidup. Ia merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Keindahan alam bawah laut dengan keagungannya membuatnya merasa sangat kecil di hadapan Tuhan. Telanjang. Tak punya apa-apa.

Ia kemudian punya impian memiliki sebuah pulau sendiri, lengkap dengan fasilitas selam. Mungkin, impian itu hanya lah sebuah bentuk pelarian dari kejenuhan hidup di kota besar yang menjemukan. Namun, impian itu pula yang membuatnya tetap merasa hidup. Membuatnya merasa berarti sebagai manusia. Punya hasrat dan gairah untuk berusaha. Tidak sekedar hidup mengikuti arus yang terkadang monoton dan membosankan.

Sayang, badan pesawat semakin mendekati permukaan tanah. Pulau impian di selat Makassar yang biru kini berganti dengan atap-atap rumah di kawasan Mandai, Makassar. Nusie mengalihkan pandangan ke depan. Membiarkan impiannya larut bersama deru pesawat yang akan mendarat. Beberapa detik yang lalu, Nusie mengalami salah satu bagian terindah dalam hidupnya. Berada dalam dunia impian yang membuatnya merasa menjadi manusia utuh.

~ Dedicated to a new best friend, the “Wilden Pump Guy”. Thanks for inspiring me to keep on dreaming. It’s wonderful and so passionate. Just 5 seconds on the plane, but it was so unspeakable ~

Rantepao, 3 November 2007.