Friday, May 7, 2010

MENGAPA JINGGA

 
 
Mengapa jingga jika merah adalah spektrum dengan lambda terbesar?

Aku tak pernah tahu apa yang mereka sebut ‘hidup yang berwarna’. Kecuali jika hidup yang terus berganti – kadang senang, sedih, atau biasa-biasa saja – yang mereka maksud, maka barangkali aku tahu sedikit seperti apa hidup yang berwarna itu. Bahwa hidup tak melulu bahagia, tak juga selalu menderita. Keduanya datang bergantian atau kadang bersamaan hingga hidup menjadi biasa-biasa saja.

Namun, ketika warna-warna menjadi representasi hidup, aku benar-benar tak paham lagi. Mereka menyebut hitam ketika menunjuk kepada hidup yang menurut mereka tidak sejalan dengan norma hidup yang baik. Ilmu hitam, golongan hitam, dan entah apa lagi. Sementara, mereka juga bilang kalau hitam adalah simbol untuk sesuatu yang elegan dan berprinsip. Jadi, apakah ilmu dan golongan hitam kemudian menjadi sama dengan sesuatu yang elegan dan berprinsip? Barangkali iya. Karena ini bukan tentang baik-buruk atau benar-salah.

Ada juga yang mengatakan biru sebagai warna hati yang sedih padahal setahuku hati berwarna merah kecoklatan. Mengharu biru, katanya. Sementara, ia berkali-kali bilang bahwa biru itu seksi dan romantis. Apakah ia mau bilang kalau sedih itu seksi dan romantis? Bisa jadi. Lagi-lagi karena ini bukan tentang baik-buruk atau benar-salah.

Lalu, adakah hidup yang disebut jingga?


∞∞∞∞∞


Mengapa jingga menjadi warna matahari tiap kali siang mengawali dan mengakhiri durasinya?

Aku tak pernah tahu apa yang menunggu di setiap ujung perjalanan. Sama tak tahunya berapa besaran jarak dan waktu untuk setiap perjalanan itu. Kecuali bahwa setiap perjalanan punya awal dan akhir, aku tak benar-benar paham ada misteri apa di dalam setiap perjalanan.

Jangan bertanya padaku ‘tinggal di mana?’. Bukan karena aku tak mau memberi tahu atau khawatir suatu saat kau mendatangiku, tapi sungguh aku bingung bagaimana harus menjawabmu. Dalam 5 tahun terakhir, aku menjadi bias dengan definisi ‘tempat tinggal’. Setidaknya, ada 4 nama tempat berbeda yang akan aku sebutkan untuk menjawab pertanyaanmu tadi. Itupun bergantung pada pengertianmu tentang tempat tinggal. Jika yang kaumaksud adalah tempat di mana harta bendaku – yang kupahami sebagai pakaian dan buku-buku – berada, maka Toraja, Balikpapan, dan Bandung adalah jawabannya. Jika tempat tinggal bagimu adalah tempat di mana kau kerap melewatkan malam-malammu untuk tidur, maka Salatiga akan menambah ketiga nama tempat tadi. Namun, jika kau bertanya tentang tempat yang selalu membuatku ingin kembali, maka Toraja, Salatiga, dan Bandung adalah jawabannya. Memilih satu di antara keempat tempat tadi selalu membuatku bingung. Dan, barangkali akan aneh jika kujawab keempat-empatnya sekaligus tanpa memberimu sedikit penjelasan.

Tak pernah aku menyengaja untuk menjadi ‘nomad’ seperti itu. Bukan pula untuk gagah-gagahan biar dibilang keren. Sama sekali tidak. Bukankah sejarah peradaban manusia bergerak dari nomaden menjadi menetap? Yang kalau boleh disimpulkan bahwa menetap adalah lebih baik daripada berpindah-pindah? Hidup serupa ini adalah konsekuensi dari perkawinan antara mimpi dan realita. Tentu saja ada pilihan-pilihan di dalamnya, namun bukankah pilihan selalu disertai konsekuensi? Dan hingga detik ini, aku tak tahu pasti pilihan mana yang berkonsekuensi paling ‘menguntungkan’.


∞∞∞∞∞


Mengapa jingga dipilih sebagai warna baju pelampung dan tanda penunjuk jalan pengganti lampu?

Dulu, aku tak pernah suka dengan perjalanan. Duduk berjam-jam di dalam bis atau mobil melintasi jalan darat adalah serupa neraka bagiku. Aku (dulu) sangat bermasalah dengan aroma solar dan bensin. Kau tahulah maksudku. Kadang, ingin rasanya bis yang kutumpangi mengalami tabrakan atau kerusakan parah hingga perjalanan bisa segera berakhir. Untungnya, harapan sintingku itu tak pernah terwujud. Berjam-jam sebelum memulai perjalanan pun, rasanya sudah ingin muntah mengeluarkan semua isi perut. Tentu saja tidak termasuk organ-organ tubuh di dalamnya. Dan, aku masih harus tersiksa berhari-hari sesudah perjalanan itu benar-benar berakhir untuk memulihkan lambung yang mendadak tak mau kompromi menerima sembarang makanan dan minuman.

Kini, perjalanan darat adalah serupa surga. Kesempatan bagiku untuk menciptakan dunia sendiri, entah kaubilang mengkhayal, merenung, atau mencari inspirasi. Intinya, aku (kini) sangat menikmati setiap kali memandangi pepohonan yang seolah berlarian di sepanjang tepi jalan, apalagi jika diiringi hujan yang bermarathon.

Aku tak pernah tahu ke mana perjalanan ini akhirnya akan membawaku. Selain bahwa rute yang kutempuh bolak-balik itu selalu hampir sama, aku tak benar-benar paham mengapa setiap perjalanan itu selalu berbeda.


∞∞∞∞∞


Puluhan – bahkan mungkin ratusan – jingga telah dan akan kusaksikan dalam setiap perjalanan. Jingga penanda fajar dan petang, jingga yang seberkas dan yang bertumpuk-tumpuk, jingga yang tertusuk puncak-puncak gunung, yang menyelimuti pepohonan atau gemawan, dan jingga dalam rupa-rupa yang lain. Selalu tak pernah kongruen, namun selalu pula ia ada. Seolah ingin berbahasa bahwa ia lah warna yang terlihat paling terang dalam kegelapan, seperti alasan mengapa baju pelampung dan tanda penunjuk jalan memilihnya. Dan untuk alasan yang sama pula matahari memilih jingga untuk fajar dan petang.


Bandung, 7 Mei 2010

Friday, April 30, 2010

ABU-ABU

Apa hakmu menyebut Euglena viridis sebagai binatang?
Hanya karena selembar flagel di ujung anteriornya hingga ia motil?
Lalu kau sebut apa kloroplasnya?
Sekadar pelengkap?
Sejak kapan binatang bisa berfotosintesis?
Mungkin kita sama-sama sok tahunya, tapi aku lebih memilih menyebutnya makhluk hidup saja.
Entah binatang entah tumbuhan.

Apa kuasamu mengatakan virus sebagai benda hidup?
Hanya karena ia bisa berkembang biak atau kawin-mawin dalam istilah spesiesmu?
Lalu kau apakan kemampuannya dipanaskan hingga ratusan derajat Celcius?
Sejak kapan benda hidup sanggup dikristalkan?
Mungkin kita memang sok tahu, tapi aku lebih memilih menyebutnya benda saja.
Entah benda hidup entah benda mati.

Pilih satu! Abu-abu. Hitam atau putih?
Kau bilang dua-duanya sekaligus tidak keduanya.
Itu dia!
Bukan hitam bukan putih tapi abu-abu.
Dan, dia ada.



MUTIARA #129, 29 April 2010

Monday, April 19, 2010

ROMANSA SIKLUS

Semua masih sama rupanya, Kawan!

Jalanan ini masih 5 warna: merah, kuning, ungu, coklat, dan hitam yang saling menindih dan berdempet satu dengan yang lain. Seperti yang dulu, kelimanya masih 3 unsur: lempung, pasir, dan batubara. Licin dan berlumpur di waktu hujan, kering dan berdebu kalau kemarau. Pipa-pipa panjang masih kokoh melintang di sana, meliuk-liuk menjejeri jalanan 5 warna tadi, membelah nipah, jati, ulin, dan entah apa lagi namanya. 5 tahun dan semuanya masih sama.

Delta Mahakam masih bernyamuk, bermonyet, dan berbuaya. Seperti yang dulu, menara-menara rig masih berdiri angkuh di tengah belantara Borneo. Menjejalkan pipa-pipa besi hinga ribuan kaki menembus bumi lalu pindah ke tempat lain untuk tujuan yang sama. Bising mesin-mesin sekian desibel masih memekakkan telinga, lumpur-lumpur Kimia masih gatal dan panas. 5 tahun, Kawan! dan masih sama.

Ranger putih bergaris merah masih rutin mengantar-jemput kita setiap 2 minggu sekali, kadang kurang lebih sering lebih. Tas-tas besar masih setia menemani kita melewati rute yang sama tanpa pernah bertanya, ‘ngapain sih kamu bolak-balik melulu?’ Dan, seperti yang dulu juga, pertanyaan favorit mereka masih yang itu-itu juga, “berapa berat lumpur sekarang?”

Kawan,
Kita serupa molekul air yang terjerat dalam siklus abadi. Mengalir ke tempat yang lebih rendah, menguap ke atmosfer, berkumpul menjadi kumulus, lalu tercurah ke bumi menjadi hujan. Dan barangkali, serupa pula dengan elektron yang ajeg mengedari inti atom dalam orbitalnya masing-masing. Membosankan, bukan?

Aku bertanya kepada air. Adakah ia ingin keluar dari siklusnya menjadi hujan? Adakah ia memilih ketika ikan-ikan ‘meminumnya’ hingga menyatu dengan dagingnya lalu tertangkap oleh jala nelayan untuk kemudian terhidang di meja makan? Sayangnya, aku tak mengerti bahasa air.

Aku lalu bertanya kepada elektron. Adakah ia ingin melompat dari orbitalnya? Adakah ia memilih ketika sejumlah energi membuatnya tereksitasi ke orbital yang lain? Sayangnya lagi, suaranya terlalu mikro hingga aku tak mendengarnya bahkan ketika ia berteriak sekalipun.

Tapi Kawan,
Entahkah air dan elektron itu bosan atau tidak, memilih kah atau tidak, aku percaya selalu ada pilihan untuk direnungkan. Pilihan-pilihan yang barangali tak perlu konsep lompatan kuantum untuk menjelaskannya, namun selalu disediakan oleh hidup.

Dan di sinilah aku berada, pada sebuah titik dalam siklus hidup ketika matahari sedang menuju ke kematian semunya. Larut ke dalam euforia jingga yang kemilau di antara ratusan manusia yang entah datang dari mana dan pergi ke mana. Mencoba mencumbui hidup yang gemar berteka-teki.

Kawan,
Dalam setiap menit yang kita habiskan melintasi stratosfer, setiap kilometer yang kita lewati melindasi pesisir timur Kalimantan, setiap kesempatan yang hilang bersama orang-orang tercinta, dan setiap peluh yang kita teteskan untuk membuka-tutup katup-katup dan menuangkan ribuan pon butiran bahan Kimia ke dalam tangki, ada keindahan yang ditawarkan hidup untuk kita nikmati. Keindahan berwujud siklus dengan 360 sisi untuk diselami.

Bandung, 19 April 2010.



Thursday, April 8, 2010

HITAM


Semua monokrom kauserap musnah.
Maumu apa?
Dominasi?
Kekuasaaan absolut?
Entah!
Namun, tetap saja aku takluk. Bukan kalah, tapi karena aku mau.

Lambda merah taklagi beda dengan biru.
Inginmu apa?
Kepunahan mejikuhibiniu?
Kekasipan pelangi?
Aku tak tahu.
Namun, tetap saja aku manut. Bukan kemenyerahan, tapi karena bianglala memang punya durasi.

Kautangkapi semua sinar menjelma kegelapan.
Apa yang kausembunyikan?
Intan berlian?
Atau malah taik penuh belatung?
Persetan!
Namun, tetap saja aku ingin tahu. Kuakui, gelapmu memesona.

Hadirmu mengokohkan relativitas.
Kaunisbikan batasan stereotipe.
Siapa kau sebenarnya?
Platonik?
Eros?
Philea?
Agape?
Aku taklagi peduli
Anjing! Tetap saja aku cinta.


Salatiga, 8 April 2010; 00:00 ketika hitam begitu memesona

UNTUK SEPENGGAL MALAM

Untuk sepenggal malam ditemani serbuk tembakau yang terbakar menjadi asap yang menghancurkan paru-paru, ketika hati mewujud aksara dan dunia menjelma kata-kata.

Kaubilang cinta tak butuh alasan. “Cinta ya… cinta aja. Pokoknya gitu lah.” Wajahmu kebingungan mencari ekspresi, sedikit malu-malu, dan salah tingkah. Kepalamu menggeleng, barangkali untuk menafikan rasa yang taksanggup kaujamah dengan logika. Senyummu melengkung, mungkin untuk menertawai ‘kebodohan’-mu sendiri.

Aku melarut dalam rasa ingin tahu. Gesturmu misterius entah ingin menjelaskan apa. Ketika cinta takbutuh dijelaskan, lalu apa? Titik. Selesai. Takada lagi penjelasan. Kaupaham ya syukur, nggak ngerti pun ya terserah. Begitu mungkin arti senyummu.

Kaubilang kisahnya sudah selesai. “Sudah ah! Kenapa sih tanya-tanya?” Bibirmu manyun membahasakan ketaknyamanan. Kaumerasa terintimidasi. Seperti ada desakan dalam setiap pertanyaanku yang membuatmu mengerutkan kening.

‘Kebodohan’-mu menulariku. Aku pun tak punya penjelasan untuk apa aku bertanya. Seperti cinta yang kaubilang tak butuh alasan, pertanyaan pun barangkali juga tak butuh alasan. Bukan bahwa kemudian cinta menjadi sama dengan pertanyaan, namun seberapa kontekstualkah alasanku bertanya? Mungkin cukup jika kubilang ‘ingin tahu aja’.

Untuk sepenggal malam yang ditelusupi angin dingin yang menusuk tulang, ketika memori diputar kembali dan masa lalu berjumpa kekinian.

Kaubilang cinta tak berbanding lurus dengan kebersamaan. Mengisahkan masa lalu tentangnya sama saja dengan mengorek luka lama yang telah susah payah kautransformasi menjadi keikhlasan. Luka yang kausembunyikan di sebalik senyummu, yang juga masih menyemburatkan sisa-sisa rindumu padanya.

Aku bilang mencinta adalah melepaskan. Ketika rasa sakit sanggup terlisan, keikhlasan akan mengganti selapis demi selapis. Kau sepakat ketika kubilang menikmati sakit hati itu indah, khususnya bagi manusia yang katanya bertipe melankolis.

Kaubilang urusan hati bukan perkara mudah. Memahami sesuatu yang tak pernah gamblang terjelaskan hanya sanggup membuatmu membaca isyarat. Sesuatu yang memenjarakanmu dalam tanya yang takpernah sanggup kaujawab sendiri.

Aku protes. “Segitu doang perjuanganmu?” Bagiku, begitu bodohnya kau rela pasrah dalam sesuatu yang takpernah kautahu pasti apa, sementara jiwamu berteriak-teriak meminta jawaban.

“Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kuperjuangkan.” Kau bereaksi dengan mata mengawan. Tak ada kesedihan di sana, pun takada kemenyerahan. Sesuatu yang kemudian kupahami sungguh takmudah bagimu.

Untuk sepenggal malam yang diintipi ketakutan, ketika gelap semakin pekat dan dini hari mendekati ujung durasi. 

Ada yang bilang laki-laki hanya satu kali jatuh cinta. Yang sebelum dan sesudahnya hanyalah bayang-bayang. Aku taktahu sudahkah kaujatuh cinta untuk yang sekali itu, ataukah kelak kauakan jatuh cinta lagi hingga teori itu terpatahkan. Ada ketakutan dalam pandangan matamu.

Suara adzan dari masjid mulai menggema. Seperti subuh yang segera akan terganti pagi, barangkali durasimu dengannya memang telah selesai.

Untuk sebuah jiwa yang terperangkap dalam kerangkeng indah bernama cinta.


Salatiga, 3 April 2010.









Monday, March 8, 2010

KEPADA 'S' DAN 'S'

Dear ‘S’,
Mengapa seorang bapa tidak akan memberi ular beracun kepada anaknya yang meminta roti?


Aku mengenal seseorang yang tahu persis jawabannya. Seorang (anak) perempuan yang meminta roti kepada bapanya. Roti yang semasa hidupnya pernah menjadi satu-satunya permintaan yang ia miliki. Permintaan yang menahun pula sempat tidak dikabulkan dan membuat perempuan ini bertanya-tanya.

Sembilan tahun. Durasi yang bagi sebagian orang mungkin akan disebut terlalu lama untuk sebuah gelar sarjana. Rentang waktu yang bisa diasosiasikan dengan kebodohan dan kemalasan. Tapi, buatku tidak sesederhana itu.

Aku mengenal perempuan ini sebagai salah satu manusia paling cerdas yang pernah kujumpai seumur hidup. Memang, tidak ada standar baku yang bisa dipakai untuk mengukur seseorang cerdas atau tidak, tapi ketika mengenal seseorang yang dengannya kau bisa mengobrolkan topik apa saja, tidakkah itu cukup untuk menyebutnya cerdas? Sekali lagi, ini masalah siapa yang menilai, tapi bagiku, perempuan ini memang sangat cerdas. Kalau kemudian ia butuh waktu ‘lama’ untuk selembar ijazah sarjana, itu bukanlah ukuran untuk menyebutnya bodoh. Tak juga bisa dibilang malas, karena aku tahu ia tak pernah berhenti berusaha.

Di masa-masa akhir 9 tahun itu, aku menyaksikan bagaimana ia selalu tersenyum kepada setiap orang yang menanyainya ‘kapan lulus?’, bagaimana ia tak pernah merasa tersinggung dengan sindiran orang-orang yang mengatakan ‘katanya pintar, kok kuliahnya lama?’, dan bagaimana ia tak pernah mengeluh dan tetap menjalani hidupnya seolah-olah tidak ada masalah.

Ketika ancaman DO menunggu di depan matanya, tak sekalipun ia surut dan menyerah. Ketika berkali-kali mengganti topik skripsi yang berkali-kali pula ditolak dosen pembimbing, tak sekalipun ia kapok dan angkat tangan. Suatu malam, dalam himpitan kehidupan yang seperti itu, ia kemudian meneleponku. Bukan untuk sebuah sesi curhat panjang penuh air mata. Bukan untuk keluh kesah tentang roti yang diganti ular beracun. Tapi, untuk sebuah pertanyaan sederhana yang bermakna sangat dalam bagiku. “Bagaimana kabarmu?” Begitu ia bertanya.

Ini bukan sejenis pertanyaan standar sebagai pembuka perbincangan, tapi untuk sebuah cerita yang memang ia ingin dengar dariku. Kisah tentang sahabatnya yang terpisah daratan dan lautan demi mencari sebentuk hidup yang lebih bermakna. Saat itu, hidupku baik-baik saja, bahkan bisa dibilang jauh lebih baik setelah hampir dua tahun terdampar dan kehilangan arah hidup di pesisir timur Kalimantan. Berawal dari pertanyaan sederhana itu, kami kemudian mengobrol hingga subuh. Tentang kebersamaan kami di masa lalu, juga tentang hidupku selama dua tahun terakhir. Ketika aku kemudian balik bertanya, ia bilang bahwa ia baik-baik saja. “Aku hanya ingin memastikan hidupmu juga baik-baik saja.” Begitu ia menjawab kemudian.

Satu hal yang kemudian aku sadari adalah bahwa perempuan ini memiliki empati, ketulusan, dan kerendahan hati yang tak tertandingi. Ketika hidupnya menjadi abu-abu dan penuh ketidakjelasan, ia masih sempat menanyakan hidupku. Ketika cobaan hidup seakan tak berhenti menimpanya, ia masih punya waktu untuk mencari tahu apakah aku baik-baik saja. Masih punya energi untuk berbagi keceriaan hidup dan canda tawa dengan kami, sahabat-sahabatnya, yang kerap datang merecoki. Aku kemudian mengukur diri sendiri dan mendapati sosok yang tidak ada apa-apanya. Manusia yang tak pernah berhenti mengeluh pada hidup yang sesungguhnya baik-baik saja. Manusia yang begitu kikir mengucap syukur pada hidup yang telah banyak memberi.

Ah… Sepertinya aku mulai melantur. Tapi begitulah yang selalu terjadi ketika aku mengisahkan perempuan ini. Selalu saja tak ada yang pernah cukup untuk diceritakan.

“Menurutmu, kira-kira masalahnya di mana?” Aku bertanya ketika mengunjunginya suatu kali, sekaligus untuk sebuah ‘reuni’ kecil-kecilan dengan sahabat-sahabat lama di kampus. Aku tahu dia cerdas. Semua teman yang mengenalnya dengan baik kurasa akan sependapat denganku. Tapi, ketika hanya cerdas saja menjadi tidak cukup, lalu apa? Malas? Tidak juga. Aku tahu dia bukan tipe orang yang gampang menyerah. Bahkan untuk sekadar mengeluh pun sangat jarang.

Ia menghela napas kemudian menjawab. “Mungkin aku salah jurusan.” Sedikit tersenyum ia sesudahnya. Sama sekali tidak bermaksud untuk mencari kambing hitam atas masalah yang ia hadapi. Tapi barangkali, itulah jawaban terbaik yang ia punya. Mungkin sama halnya ketika seorang pelukis hebat mendadak kesulitan berekspresi ketika beralih profesi menjadi penyanyi. Sama-sama seni, tapi beda media. Jadi, sepertinya ini soal talenta. Jika pelukis itu masih punya pilihan untuk kembali ke dunia di mana ia bisa berekspresi dengan baik, perempuan ini tidak memiliki pilihan seperti itu. Ada kondisi-kondisi di mana kita tidak bisa begitu saja meninggalkan pilihan yang sudah kita buat, bukan?

Begitulah. Perempuan ini kemudian memilih untuk bertahan. Menggali semakin jauh ke dalam dirinya sendiri. Mencari tahu misteri apa yang menunggu untuk disingkap, mengikisi satu demi satu selaput yang menyelubungi sebuah rahasia entah apa. Apa yang salah? Kenapa bapa tak kunjung memberiku roti yang tak pernah luput menjadi doa?

Dalam kondisi seperti itu, muncul sebuah masalah baru. Masalah klasik yang tak bisa ditutupkan mata: uang. Ia membutuhkannya untuk membeli sejumlah alat penelitian yang mau tidak mau harus ada. Sementara, uang di rekeningnya tak lagi seberapa. Hanya cukup untuk biaya hidup sejumlah hari ke depan. Ia menimbang-nimbang dan akhirnya memutuskan untuk tidak lagi membebani siapapun. Tak juga ia mencari pinjaman dengan niat tidak ingin merepotkan siapa-siapa. Satu kata yang kemudian ia resapi hingga ke atom-atom penyusun tubuhnya adalah ‘kepasrahan’. Berbeda tipis dengan kemenyerahan, tapi sangat berbeda motivasi dan aplikasinya. Iseng, ia mengecek saldo di ATM-nya. Dengan ekspresi bahagia yang tak terbahasakan, ia seakan tak percaya melihat saldo rekeningnya yang ternyata sudah bertambah. Sebuah kabar kemudian datang dari kakaknya, “Dek, ada sedikit uang aku transfer. Mudah-mudahan bisa bermanfaat.” Sejumlah uang yang membuat perempuan ini terberangus dalam perasaan haru yang hanya sanggup terbahasa lewat air mata. Ia tahu dari mana kakak perempuannya mendapatkan uang itu. Sejumlah rupiah sebagai hadiah dari para tetamu untuk pernikahan kakaknya di kampung halaman sana. Sejumlah rupiah milik sepasang pengantin baru sebagai bekal untuk memulai kehidupan rumah tangga, namun berubah prioritas ketika ‘menduga’ adiknya lebih membutuhkan. Dugaan yang merupakan bentuk lain dari cinta seorang kakak perempuan kepada adiknya yang membuatnya sanggup menomorduakan keperluan rumah tangga barunya demi seorang adik yang barangkali sedang membutuhkan.

Alam berbahasa. Bapa menyahuti doa. Bermodalkan uang kiriman yang ‘tidak diminta’ itu, perempuan ini kemudian berhasil menyelesaikan skripsi hingga lulus ujian. Saat kebaktian syukur atas kelulusannya, ia menyampaikan bahwa pengalaman selama 9 tahun itu telah memberinya kesempatan untuk lebih mengenal bapanya. (Anak) perempuan yang menggumuli perbedaan roti dengan ular beracun.

Setelah kata-kata sambutan itu, ia kemudian mengajak kami yang hadir untuk menyanyikan sebuah kidung yang indah.

“Apa yang kau alami kini mungkin tak dapat engkau mengerti.
Satu hal tanamkan di hati indah semua yang Tuhan b’ri.
Tuhanmu tak akan memberi ular beracun pada yang minta roti.
Cobaan yang engkau alami tak melebihi kekuatanmu.
Tangan Tuhan sedang merenda suatu karya yang agung mulia
Saatnya kan tiba nanti, kau lihat pelangi kasih-Nya.”



====================================


Dear ‘S’,
Apa yang mewujud setelah gelap memekatkan subuh dan dingin membekukan dini hari? Apa yang menampak sesudah hujan badai membasahkan sore hari dan menyisakan gerimis?


Aku mengenal seseorang yang tahu persis jawabannya. Seorang laki-laki yang mengakrabi gelap-dinginnya dini hari dan mencumbui hujan-badai sore hari.

Di usianya yang ke-19, yang bagi sebagian orang adalah masa-masa awal menjadi mahasiswa, ia berpamitan kepada ibunya untuk merantau, memenuhi tantangan hidup untuk segera bekerja. Sebuah pilihan yang sulit ketika harus menggelengkan kepala kepada tawaran kuliah demi niat untuk bisa segera menghasilkan duit dari keringat sendiri. Waktu itu, ia baru saja lulus dari sebuah program diploma jurnalistik.

Aku mengenal laki-laki ini sebagai salah satu manusia paling tangguh yang pernah kujumpai seumur hidup. Berpindah dari satu cobaan ke cobaan yang lain, untuk kemudian menjadi pemenang dari satu ujian ke ujian yang lain.

Di perantauan pertamanya, ia mendapat pekerjaan sebagai wartawan. Selama bertahun-tahun, ia tinggal di tempat yang sekaligus merupakan kantor dari sebuah perusahaan surat kabar di mana ia bekerja. Tidur beralaskan koran bekas, makan seadanya dari gaji yang tidak seberapa, dan menunggui kamar mayat hampir setiap malam demi berita-berita kematian yang harus segera dijadikan artikel. Ketika selesai dengan berita-berita yang harus segera dimuat, ia merelakan waktu tidurnya untuk mengetik naskah-naskah cerita yang ada di kepalanya, kadang di komputer kantor kadang di tempat persewaan.

5 tahun sesudahnya, ia memutuskan untuk menikahi teman kuliahnya. Sebuah keputusan yang bisa dibilang nekat karena tak ada cukup uang sebagai bekal menjalani kehidupan berumah tangga. Namun, ia meyakini bahwa setiap keputusan yang dilandasi niat baik dan ketulusan akan mendapatkan kemudahan. Saat itu, ia sudah dipindahkan ke kota lain dengan pekerjaan yang masih sama. Di kota yang baru, ia pun tetap tinggal di kantor surat kabar tempatnya bekerja bersama dengan beberapa rekan kerjanya yang masih bujang. Setiap akhir pekan, ia menempuh perjalanan dengan bis selama 4 jam untuk pulang ke rumah istrinya yang saat itu masih tinggal dengan ibunya di kota lain. Jatah libur yang cuma setiap hari Sabtu dimanfaatkan sebisa mungkin untuk tidur dan menghabiskan waktu dengan istrinya.

Hidup dengan ritme seperti itu selama bertahun-tahun membuatnya berpikiran untuk membawa istrinya ke kota di mana ia bekerja. Masalahnya adalah… rumah. Dengan kebutuhan yang semakin meningkat setelah menikah, tentu tidak sedikit dana yang dibutuhkan untuk hidup di sebuah kota besar. Boro-boro membeli rumah, untuk mengontrak saja sepertinya tidak memungkinkan.

Dalam masa itu, ia mulai mencoba-coba menjadi penulis fiksi. Tak ada peluang lain baginya untuk mencari uang tambahan selain dari menulis. Alasan ekonomi memang kemudian menjadi motivasi terbesarnya dalam menulis. Motivasi yang jujur dan apa adanya melampaui keinginan menjadi penulis idealis yang berkarakter. Ia pernah bilang padaku bahwa motivasi apapun yang kaupunya untuk menulis tidaklah menjadi masalah selama kau berusaha menghasilkan karya yang jujur dan bagus.

Ada sesuatu yang langsung membekas di kepalaku ketika pertama kali mengenal laki-laki ini. Sebagai seorang penulis yang sudah ‘punya nama’, ia tetap dengan ramah dan rendah hati membalasi setiap pesanku yang masuk ke akun facebook-nya di tengah-tengah kesibukannya yang padat. Begitu pula kepada orang-orang lain. “Pujian dan caci maki sudah saya terima dalam porsi yang sama. Tidak berarti bahwa keduanya tidak berpengaruh lagi, namun ada tidaknya pujian dan caci maki itu, saya tetap akan menulis.” Begitu ia pernah bilang padaku.

Suatu kali, di bulan Ramadhan tahun lalu, aku menyaksikan bagaimana ia menjadi pribadi yang begitu patut diteladani. Bagaimana ia mengawali puasanya dengan ‘hanya’ segelas air putih, lalu bekerja seharian tanpa kekurangan energi dan tidak bersungut-sungut, kemudian berbuka dengan makanan seadanya. Bagaimana setiap akhir pekan ia harus menempuh perjalanan selama 4 jam dengan bis ekonomi ke rumah mertuanya di kota lain untuk menjenguk istrinya yang sedang mengandung, kemudian kembali lagi ke rutinitasnya setiap Minggu dini hari. Sementara di saat yang sama, ia sedang menyiapkan sebuah buku tentang Muhammad yang tentu saja tak mudah untuk dituliskan. Aku menyaksikan bagaimana ia tak pernah kehilangan senyum dan keceriaan hidup di dalam kondisi yang serba sempit dan terbatas seperti itu. Aku kemudian menimbang diri sendiri dan mendapati sosok yang tidak ada apa-apanya. Manusia yang begitu mudah bersungut-sungut pada hidup yang sesungguhnya baik-baik saja. Manusia yang begitu gemar menyerah pada hidup yang begitu banyak memberi kesempatan.

Ah… lagi-lagi aku melantur. Tapi begitulah yang selalu terjadi ketika aku mengisahkan laki-laki ini. Selalu saja tak ada yang pernah cukup untuk diceritakan.

Ketika mulai berpikir-pikir untuk mengajukan kredit rumah, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa memiliki rumah memang bukan perkara mudah. Harus ada sejumlah uang muka, belum lagi cicilan setiap bulan yang harus dibayarkan ke bank. Namun, berbekal niat tulus untuk mendekatkan diri kepada Sang Empunya Hidup, ia meyakini bahwa kemudahan akan membanjiri kemudian. Dan, beberapa hari sebelum ia menandatangani akad kredit pemilikan rumah, seseorang mengirimkan SMS yang berisi ucapan selamat buat novelnya yang menjadi pemenang pertama di sebuah lomba penulisan berskala nasional. Dengan uang hadiah dari lomba itu, ia kemudian bisa membayar uang muka yang disyaratkan oleh bank untuk sebuah rumah mungil di atas bukit di luar kota dengan pemandangan yang menakjubkan. Selama bertahun-tahun kemudian, laki-laki ini hidup bersama istrinya di rumah mungil itu. Berangkat setiap pagi dengan angkutan kota yang berkali-kali ganti trayek. Menghemat rupiah demi rupiah yang bisa ditabung agar kelak bisa membeli motor.

Cobaan tak kunjung selesai. Dua tahun berturut-turut, istrinya mengalami keguguran. Dua kali pula harus menjalani kuretase yang sakitnya tak tertahankan. Di suatu subuh yang membekukan tulang, ia harus berjuang menahan air matanya agar tak tumpah keluar demi menyaksikan istrinya yang kesakitan karena pil penggugur kandungan yang harus diminumnya. “Akang puterin tilawah, ya” Ucapnya dengan segenap kekuatan yang ia punya. Segenap cinta yang ia miliki pada perempuan yang sedang diringkus rasa sakit luar biasa agar tidak takluk pada kemenyerahan. Ia tersenyum, berusaha meyakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya.

Setahun sesudahnya, di tahun ke-5 pernikahan mereka, seorang bayi cemerlang hadir di rumah mungil itu. Seorang bayi yang lahir dari perjuangan tak kenal menyerah orangtuanya, dari ketulusan cinta ayah-ibunya. Anak laki-laki yang kemudian mengantarkan ayahnya mencapai posisi penting di sebuah perusahaan penerbitan di usianya yang belum lagi 30 tahun.

Sebab fajar akan menyingsing setelah gelap memekatkan subuh dan dingin membekukan dini hari. Dan, pelangi akan melengkungi langit sesudah hujan badai membasahkan sore hari yang menyisakan gerimis.


====================================


Dear ‘S’ dan ‘S’,


Kelak, ketika hidup mengantarkan kalian ke tempat yang lebih luas dan beraneka rupa, mungkin akan kalian temui orang-orang hebat yang mengagumkan. Orang-orang yang tak pernah lekang menumbuhkan semangat dalam diri kalian untuk bisa menjadi serupa dengan mereka.


Aku mengenal dua manusia yang seperti itu. Manusia yang menjadi sumber kekuatan ketika hidup melemahkan, manusia yang melimpah dengan ketulusan dan kerendahan hati, manusia yang didekati kemewahan hidup namun memilih untuk menjadi sederhana, manusia yang tak pernah kehabisan kasih sayang untuk ditaburkan dan ditebarkan. Dua manusia yang tak akan pernah berada jauh, yang akan membesarkanmu dengan penuh cinta.



Kutuliskan dengan mata yang berkaca-kaca kepada dua anak kembar beda rahim, tentang dua manusia terhebat yang pernah kukenal. Cinta, terkadang ingin berbahasa lewat air mata.




Rantepao, 24-28 Februari 2010

Sunday, March 7, 2010

?

To those who asked me what I did, I would have liked to say I’m a dreamer. Dreaming for nothing, for every single breath called happiness.

And for all happiness I’ve been achieving so far, I would like to confess that the more you give the more you will get, that unleashing is much more satisfying than possessing. And in the end, that happiness doesn’t spread somewhere out there. It exists uncountable inside of you.

To those who asked me who I was, I would prefer to say I’m a seeker. Seeking for emptiness, for every single step called journey.

And for all journeys I’ve been doing so far, I would like to admit that the more places you go, the more you will find yourself being trapped in a cycle. And in the end, that you will realize you’re not going anywhere.

Keep on dreaming, keep on seeking. The more you dream, the more you seek, the more questions and curiosity you will have.

Sunday, February 28, 2010

HANDPHONE

Seorang laki-laki tiba-tiba muncul di depanku. Kaos, jeans, dan sepatu sporty masa kini. Badannya tegap, kira-kira sedikit lebih tinggi dariku. Ia membawa ransel hitam di punggungnya dan sebuah travelling bag besar yang kemudian ia letakkan ke lantai. “Hai, kenalkan…” Ia berjalan ke arahku, mengulurkan tangan lalu menyebutkan nama dengan mantap. Aku membalas sambil tersenyum.

“Yang itu masih kosong kah?” Ia bertanya sambil menunjuk salah satu dari 3 ‘sub-kamar’ yang ada dalam ruangan ini. Sebuah kamar luas dengan sofa empuk di depan TV, meja makan bundar 4 kursi, dapur mini lengkap dengan kitchen set, dan 3 ‘sub-kamar’ berisi kasur paling empuk yang pernah kutiduri. Kamar dengan nomor pintu 513 di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta Selatan.

Aku mengiyakan. Ia kemudian pamit untuk menaruh tas di ‘sub-kamar’ paling besar dalam kamar itu lalu kembali ke sampingku di depan TV yang tengah menayangkan sebuah iklan handphone dengan tag line yang sangat populer. Kami mengobrol sebentar kemudian ia mengajakku ke kamar depan untuk berkenalan dengan beberapa orang.

Laki-laki ini adalah satu dari 15 orang yang hari itu bertemu untuk pertama kalinya sebagai rekan sekerja. 6 minggu sesudahnya, kami, berlima belas, tinggal di hotel yang sebagian besar dihuni oleh ekspatriat itu. Setiap hari kerja, kadang bahkan Sabtu dan Minggu, kami akan seharian berada di sebuah kantor tak jauh dari hotel itu, berkutat dengan teori-teori pengeboran minyak, cara menghitung volume lubang sumur, dan mencampur-campur segala macam jenis bahan Kimia untuk sesuatu yang kemudian disebut ‘lumpur’. Malamnya, kami sibuk dengan PR yang bertumpuk-tumpuk. Saling mencontek satu sama lain, tanpa dibumbui aroma kompetisi. Begitu juga saat ujian tertulis di setiap akhir pekan.

Masa-masa awal training yang disebut ‘mud school’ itu adalah rentang waktu di mana aku tak pernah berhenti terperangah. Bagaimana tidak? Dalam beberapa hari pertama, aku berkenalan dan tinggal bersama sarjana-sarjana hebat jebolan universitas ternama negeri ini. Setidaknya di dunia pengeboran minyak. Sebutlah ITB dan UNPAD Bandung, kemudian UGM dan UPN Jogja, lalu ada Trisakti Jakarta. Bahkan, ada yang lulusan S2 dari Rusia. Tak sedikit yang kemudian mengernyitkan kening dan bertanya ‘di mana itu?’ ketika aku mengatakan ‘Satya Wacana, Salatiga’. Untung, ada salah satu yang kemudian nyeletuk, ‘Elektro, yah?’ Ah, kawan! Satya Wacana tak hanya Elektro. Tapi tidak apa-apalah, minimal kau tahu ada kampus yang bernama Satya Wacana.

Keterperangahan selanjutnya adalah ketika berada dalam kelas training. Setiap hari, kami dijejali dengan sesuatu entah apa yang sama sekali tak kupahami. Bagaimana tidak? Instrukturnya seorang American berusia sekitar 60-an tahun dengan bahasa Inggris yang hampir tak satu kalimat pun kupahami maksudnya. Apalagi isinya. Aku mengamati kawan-kawan baruku itu sesekali manggut-manggut. Entah karena paham atau sekadar bahasa tubuh untuk tujuan tata-krama. Saat istrahat, aku menanyakannya kepada beberapa di antara mereka dan ternyata mereka pun sama tidak pahamnya denganku. Ah, lega rasanya. Paling tidak, aku punya kawan senasib.

Dulu, aku berpikir bahwa kecerdasan akademik berbanding terbalik dengan kemampuan bergaul. Mereka yang pintar biasanya tidak gaul, demikian sebaliknya. Memang tidak seluruhnya benar, cuma begitulah fenomena yang pernah kuamati dari SMP hingga Perguruan Tinggi. Begitu mengenal kawan-kawan baruku ini, berantakanlah anggapanku tadi. Bahwa ternyata banyak manusia yang mendekati ‘sempurna’: pintar, kaya, baik, berwajah menarik, dan gaul. Ah, aku menjadi merasa tidak ada apa-apanya. Sungguh, tak ada sesuatu yang bisa kubanggakan padaku dibanding mereka. Pintar tidak, gaul apalagi. Ini bukan soal rendah diri, tapi tentang sesuatu yang sifatnya lebih realistis. Ibarat sebutir pasir menjumpa gurun, atau air sungai mendapati samudera. Sama-sama pasir tapi kalah jumlah, sama-sama air tapi kalah volume.

Waktu itu, beberapa bulan sebelum tahun 2004 berakhir, handphone sudah bukan lagi barang mewah. Hampir semua orang sudah memilikinya. Sebuah iklan bahkan dengan ‘tega’ menciptakan tag line yang berbunyi, ‘hari gini… nggak punya henpon!’ Iklan yang sering sekali muncul di televisi dan bagiku terdengar sangat menyebalkan. Ini (lagi-lagi) bukan soal rendah diri, tapi tentang realita yang tak bisa kututup-tutupi. Saat itu, pertengahan Oktober 2004, aku belum memiliki benda bernama handphone itu. Ketika resmi diterima sebagai karyawan melalui serangkaian tes di Balikpapan, salah satu bos-nya menanyakan bagaimana cara menghubungiku jika ada dokumen-dokumen atau urusan lain yang harus kuselesaikan sebelum berangkat ke Jakarta. Dengan malu-malu, aku memberikan nomor handphone kakakku yang saat itu juga sedang mencari pekerjaan di Balikpapan. Kabar gembira bahwa aku diterima di perusahaan itu pun aku terima dari kakakku yang dihubungi oleh orang kantor. Berita paling merdu yang pernah terdengar di kupingku sejak hampir dua tahun menjadi pengangguran di Kalimantan. Berpindah-pindah dari Balikpapan, Bontang, hingga Sangatta demi setiap kesempatan yang ada. Hidup menumpang di rumah sanak famili yang mau berbaik hati menampungku.

Sebagai manusia yang sudah menyandang gelar sarjana saat itu, yang kata orang sudah siap terjun ke dunia kerja, tentu saja aku malu meminta uang kepada orangtua untuk membeli handphone. Bukan hanya malu, bahkan orangtuaku pun tak memilikinya. Resmilah aku menjadi ‘korban’ iklan tadi. Aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan iklan itu, hanya saja kebutuhan akan handphone memang sudah mulai terasa.

Beruntung, kawan-kawan kerjaku sama sekali tidak bermasalah dengan itu. Lagi-lagi, kusaksikan kebesaran hati mereka yang tak sampai hati mengolok-olokku. Tak pernah sekalipun mereka ikut-ikutan mengucapkan tag line iklan yang sangat kurang ajar itu. Salah satu di antara mereka bahkan menawarkan diri untuk menemaniku membeli handphone ketika gajian pertama nanti.

Beberapa minggu kemudian, minggu terakhir Oktober 2004, di salah satu hari bersejarah dalam hidupku, aku seolah tak percaya memandangi sejumlah rupiah yang tertera di layar ATM. Kali pertama dalam hidupku, ada 6 digit angka di saldo rekening itu. Seumur hidup, belum pernah jumlahnya lebih dari sekian ratus ribu. Itu pun sangat jarang bertahan lama.

Singkat cerita, aku akhirnya memiliki barang ‘mewah’ pertama dalam hidupku. Handphone. Kubeli dari hasil keringat sendiri, setelah sekian tahun hanya bisa menyentuh dan sesekali menggunakannya. Handphone milik orang-orang yang berbaik hati mau meminjamkannya kepadaku.

Meski tidak tergolong yang paling bagus saat itu, memilikinya tetap saja tidak terbahasakan. Seperti anak kecil ketika mendapat hadiah robot-robotan atau mobil-mobilan ber-remote control.

Kenalkan! Handphone legendarisku, Sony Ericsson seri T230 yang ketika di kelas training harus selalu kumatikan karena tidak tahu cara mengaturnya menjadi silent mode. Ah… sedikit norak barangkali. Tapi tidak apa-apa.


Rantepao, 22 Februari 2010, 7:54 pm

Tuesday, February 23, 2010

MEMOAR BIRU-AIR*


Biru. Mayapada berubah monokrom. Laut lepas menari dipayungi langit polos. Seakan tak ada ruang bagi warna lain untuk mewujud. Bahkan, horizon pun tergaris samar dalam nuansa biru.

Aku berdiri di atas ‘atap’. Pada sebuah titik di atas kumpulan air mahaluas bernama Teluk Thailand. Di sebuah rig berjenis jack-up yang ketiga kakinya menancap dengan kokoh ke dasar lautan. Di ‘atap’ datar bernama heliped di mana helikopter menurunkan dan membawa pergi orang-orang, seperti aku, dalam satuan waktu tertentu. Ada yang setiap 2 minggu, ada yang sebulan sekali.

Selepas siang menjelang sore hari di tempat ini, retinamu akan bosan menangkapi panjang gelombang biru. Bukan karena organ matamu mulai memilih-milih, melainkan karena hanya warna itulah yang dominan ada. Ketika awan enggan menampak dan lautan tak menjumpa daratan. Sejauh mata memandang, hanya biru yang sanggup kau kenali.

Tak pernah sebelumnya kubayangkan akan bekerja di tempat seperti ini. Tempat di mana kau hanya bisa ke mana-mana sejauh lempengan-lempengan logam menjelma rig ini masih memiliki dimensi. Bekerja untuk sejumlah hari tertentu setiap 12 jam sekali. Kadang, ketika kau sedang tidur terlelap sambil memeluk istrimu atau bantal guling, aku justru sedang bersiap-siap untuk memulai giliran kerja; tepat jam 12 tengah malam. Dan, ketika kau barangkali sedang bercengkerama dengan anakmu di sore hari atau berjalan-jalan dengan pacar tercintamu di taman kota, aku malah sedang tidur terlelap. Sendirian. Di dalam ruangan sempit yang nyaman dan gelap gulita berukuran 2 x 5 meter atau sedikit lebih besar dari itu.
Aku lebih suka hijau. Melihat helai daun atau rerumputan lebih menyejukkan mata. Tentu saja ini soal selera. Ada yang bahkan tak suka biru atau hijau sekalipun, bukan?

Dulu, aku membayangkan akan bekerja di sebuah kantor di pusat kota. Tempat di mana kau bisa ke mana-mana. Tempat tak berbatas dimensi di mana segala peradaban manusia bisa kau rengkuh. Bangun pagi ketika matahari masih bersemu kemerahan lalu pulang ke rumah ketika jingga petang mulai membayang. Dan di akhir pekan, kau bebas melakukan apa pun yang kau suka. Jalan-jalan ke pantai atau taman hiburan bersama anak-istrimu atau malam mingguan dengan belahan jiwamu.

Entah biru entah hijau. Aku tak lagi tahu mana yang lebih menarik.

Hidup memberondongkan pilihan-pilihan yang kadang tak pernah terduga. Aku tak pernah menyangka ketika bertahun-tahun lalu diterima bekerja di sebuah perusahaan yang mengurusi pekerjaan seperti ini. Bahkan, ketika menandatangani surat kesepakatan kerja pun, aku tak tahu persis jenis pekerjaan apa yang akan kujalani sesudahnya.

Setelah dibekali dengan sejumlah teori selama 6 minggu, aku dikirim ke tempat-tempat terpencil di mana minyak dan gas bumi tersembunyi di dalam tanah. Perjalanan melintasi pulau dan lautan, dari rawa-rawa Kalimantan, belantara Sumatera, hingga ke lautan yang menyatu dengan Laut China Selatan ini. Aku bersyukur bahwa dengan begitu aku bisa mengunjungi banyak tempat. Kata orang, semakin banyak perjalanan akan semakin bagus buat hidupmu.

Jadi, aku tak tahu lagi. Entah biru entah hijau. Sebab biru akan menjadi hijau bila bersenyawa dengan kuning.

----------------------------------------------------------
Air. Bumi menjelma lautan. Seakan tak ada tempat bagi sesuatu bernama daratan. Puluhan meter di bawah sana pun hanya ada air. Melambai-lambai tak kenal lelah sepanjang waktu dalam tarian ombak yang abadi.

Setiap hari, aku berkutat dengan sesuatu yang bernama ‘drilling fluid’; lumpur pemboran. Mencampur-campur ratusan hingga ribuan barel senyawa Kimia menjadi satu jenis fluida yang lebih lazim disebut ‘mud’. Kemudian mengetesnya dengan sejumlah piranti agar sifat-sifat fisika dan kimianya tetap terjaga dengan baik.

Kecuali bahwa pekerjaan ini tidak jauh-jauh dari anasir berbau Kimia, rutinitasku adalah sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Menjejalkan ratusan pipa besi satu demi satu menembus permukaan bumi ke tempat di mana sumber energi berbahan hidrokarbon terperangkap. Bersiaga agar tekanan di bawah sana tidak menjadi liar dan memuntahkan isi perutnya. Sekaligus berjaga-jaga agar tidak terjadi yang sebaliknya; ketika lumpur-lumpur tadi menyelusup ke dalam pori-pori batuan, lalu hilang dan tak muncul kembali ke permukaan.

Aku menyukai air. Bermain-main dengannya mengingatkanku pada masa kecil yang bahagia.

Dulu, aku berpikir bahwa aku akan menjadi seorang ilmuwan. Menyibukkan diri di laboratorium demi penemuan-penemuan baru. Menghadiri seminar-seminar dan berkutat dengan jurnal-jurnal ilmiah. Meneliti pigmen-pigmen tumbuhan yang berwarna-warni, mengakrabi hijaunya klorofil dan kuningnya karotenoid atau mengekstraksi senyawa-senyawa tak berwarna golongan alkaloid yang sanggup membunuh hama keong emas. Paling tidak menjadi dosen.
Entah Hidrogen entah Oksigen. Aku tak pernah tahu mana yang membuat air bisa diminum.

Hidup selalu menawarkan pilihan-pilihan. Aku tak pernah menduga bahwa pilihanku merantau ke Balikpapan akan membawaku ke tempat seperti ini. Pada saat teman-teman sealmamaterku mulai menyebar di berbagai pabrik Kimia dan kampus-kampus, tidak satu pun lamaran kerjaku yang ditanggapi oleh pihak kampus atau produsen bahan-bahan alam itu.

Ketika kau tak lagi tahu membedakan utopia dengan realitas, apa yang kemudian akan kau lakukan? Mempertanyakan lagi batasan-batasanmu tentang keduanya atau berusaha menisbikan batas di antara keduanya?

Aku memang tak pernah tahu. Entah Hidrogen entah Oksigen. Sebab, molekul air akan terbentuk ketika dua atom Hidrogen bersenyawa dengan satu atom Oksigen.


*Kenangan tentang sebuah sore yang biru di Rig Trident 15, Gulf of Thailand, Desember 2006

Rantepao, 23 Februari 2010; 2:46 am.



Friday, February 19, 2010

EMPIRE

Ratusan pasukan berkuda berbaris rapi dalam format setengah lingkaran. Perwira-perwira pilih tanding menunggang dengan gagah di punggung tunggangan masing-masing. Mata menyala, mengobarkan semangat perang yang membara. Paladin. Momok dunia peperangan yang sanggup meluluhlantakkan apa pun. Tak jauh di depannya, Mameluke, pasukan elit khusus kerajaan Saracens siaga dalam konsentrasi penuh. Senjata andalan berupa parang mematikan siap dilemparkan kepada siapapun yang berani mendekat. Di barisan paling belakang, puluhan Trebuchet siap melontarkan bola-bola api untuk meruntuhkan gerbang depan kerajaan musuh.

Tak sabar menunggu lebih lama lagi, sang panglima perang memerintahkan untuk segera menyerbu. Bola-bola api beterbangan di udara. Parang-parang Mameluke berseliweran melibas apapun di yang ada di dekatnya. Paladin datang menyempurnakan keberingasan pasukan kerajaan Saracens. Benteng pertahanan terdepan kerajaan China hancur, rata dengan tanah. Sejumlah kecil pasukan China yang ditempatkan di gerbang depan tak berkutik sedikit pun menghadapi keganasan pasukan Saracens. Kemenangan menyambut di depan mata.

Pasukan Saracens bergerak maju. Mayat dan puing-puing reruntuhan berserakan di mana-mana. Entah ke mana pasukan China bersembunyi hingga hanya menempatkan sejumlah kecil pasukannya di gerbang depan. Nama besar pasukan elit Paladin dan Mameluke mungkin sudah mengerdilkan nyali mereka untuk melawan. Di kejauhan, tampak kastil utama kerajaan China menjulang di balik pepohonan. Jalan masuk yang diapit oleh belantara yang pekat tak mengurungkan niat pasukan Saracens untuk segera menaklukan musuh. Mereka mendekati kastil utama dengan kepercayaan diri yang berkobar-kobar.

Di jalan masuk yang sempit itu, tampak beberapa penduduk sedang menebang pohon. Tanpa ampun, pasukan Mameluke melemparkan parang ke arah mereka. Nyawa-nyawa tak berdosa melayang dalam hitungan detik. Pasukan Saracens bergerak semakin mendekati kastil utama. Namun tiba-tiba saja, ratusan pasukan infantri datang seperti aliran air bah. Pasukan Saracens sontak kelabakan. Di jalan setapak yang sempit itu, Paladin dan Mameluke menjadi kehilangan kedigdayaan. Ruang gerak yang sempit menyulitkan mereka. Ketika para Paladin dan Mameluke sibuk meladeni tombak-tombak para infantri, ratusan anak panah melayang di udara. Barisan pemanah andalan kerajaan China ternyata telah menyambut mereka. Trebuchet-trebuchet Saracens tak berkutik sama sekali. Mereka hanya ampuh merobohkan bangunan namun tak berdaya sama sekali menghadapi para infantri yang makin lama datang semakin banyak.

Jalan sempit itu menjadi saksi bagaimana pasukan elit Saracens takluk menghadapai pasukan China yang hanya bermodalkan pasukan panah dan infantri kelas rendahan. Strategi jitu yang kemudian menjadi faktor penentu kemenangan.

#####

“Anjiiiiiiiing...” Sebuah umpatan tiba-tiba terdengar. Seseorang dengan ekspresi wajah yang kesal luar biasa bangkit dari kursinya sambil menggebrak meja.

Aku menengok ke arahnya sambil tertawa terbahak-bahak. “Ah… Cupu lo. Mana pasukan yang lo bangga-banggakan itu?” Aku mengolok-oloknya agar dia semakin kesal. Entah kenapa aku begitu menikmati tiap kali melihat raut mukanya yang menjadi begitu ‘eksotis’ tiap kali ia kesal.

“Iya neh. Segitu doang kemampuannya?” Sebuah suara lain menimpali. Baru saja kami memainkan sebuah game strategi bernama Empire. Berempat, kami bermain berpasangan dalam permainan yang sudah ‘ketinggalan zaman’ itu. Aku berpasangan dengan si pemilik suara terakhir (sebut saja namanya A), sementara si pemilik wajah eksotis itu (sebut saja namanya R) berpasangan dengan komputer.

“Sekali lagi! Ganti pasangan tapi.” R mengancam. Ia berjalan ke arahku, mengambil sebatang rokok kemudian menyulutnya. Beberapa kalimat masih meluncur dengan lancar dari bibirnya. Isinya masih tentang kekesalannya. Aku dan A kemudian tak berhenti mengolok-oloknya lagi. Beberapa menit kemudian, kami kembali ‘berperang’ hingga cahaya matahari pagi menerobos masuk ke ruangan di sebuah game centre di Salatiga yang dingin.

Empire adalah semacam reuni bagi kami bertiga. Bertahun-tahun lalu, kami sering sekali memainkan game ini ketika aku masih bersama mereka. Tinggal di rumah kos yang sama, makan bersama-sama, kelaparan bersama-sama pula. Malam-malam, kami kerap menikmati segelas susu murni dan indomie goreng di warung pinggir jalan sambil bercerita. Kadang tentang teman-teman, keluarga masing-masing, kadang pula tentang mimpi dan cita-cita.

Ah… Mimpi dan cita-cita. Aku adalah salah satu manusia yang gemar betul membagikan mimpi dan cita-cita kepada orang-orang dekatku. Entahkah baik atau malah sebaliknya. Aku tak peduli. Aku hanya berharap bahwa setiap kali impian dan cita-cita itu aku bagikan, mereka akan berdoa untukku. Kata orang, semakin banyak doa semakin bagus, bukan?

Barangkali seperti kebanyakan orang, aku kerap membangun mimpi dan cita-cita yang menembus langit. Dari dulu. Ada yang mungkin akan menyebutnya ambisi, tapi buatku itu hanya soal sudut pandang. Namanya saja mimpi dan cita-cita. Bebas memilih apa saja, meski tak semua selalu bisa terwujud. Yang jelas, aku merasa tak merugikan siapa-siapa.

Aku mengenal A dan R sebagai pribadi yang sungguh bertolak belakang. A yang pendiam dan R yang ributnya minta ampun. R yang ekspresif dan A yang pandai menyembunyikan warna hati. Tapi aku menikmati kedekatan dengan keduanya. Barangkali karena aku berada di antara kedua tipe itu. Atau mungkin malah keduanya. Karena kadang aku diam seribu bahasa, kadang pula ramai seperti angin ribut. Entahlah. Ini bukan tentang baik-buruk, tapi lebih kepada pembawaan yang tak bisa ditawar-tawar. Yang pasti, A dan R sama-sama menyenangkannya.

Hidup kemudian menawariku pilihan untuk lebih dulu meninggalkan Salatiga. Sementara kepada A dan R, hidup masih memberi mereka kesempatan untuk berbetah-betah di sana. Salatiga, sepertinya, memang sangat posesif. Kota kecil di kaki gunung Merbabu itu seolah tak ingin melepaskan siapapun yang pernah datang dan tinggal di sana. Mungkin terdengar sedikit berlebihan, tapi cobalah bertanya kepada siapapun yang pernah menjadi mahasiswa perantau di sana. Aku jamin, mayoritas akan setuju denganku.

Ketika aku mulai mengakrabi belantara Kalimantan dan rawa-rawa delta Mahakam, A dan R masih mencumbui pohon-pohon rindang di taman kampus. Jarak kemudian menjadi sesuatu yang sanggup menyembunyikan mereka dari jangkauan pandanganku. Selentingan-selentingan mulai beredar mengisi udara, menyeruak diterbangkan angin. Kabar-kabar tak sedap mengalir dihanyutkan air. Tentu saja aku tak percaya.

Kepada A, aku titipkan pesanku kepada angin. Bahwa tak peduli aku pada kata-kata yang dibisikkannya. Bahwa aku lebih tahu daripada dirinya. Bahwa kau tak seperti yang diceritakannya. Belum pernah sepanjang hidupku, kutemukan manusia yang sepertimu. Sahabat yang tak pernah lelah memberi telinganya untuk mendengar. Sahabat yang tak pernah kekurangan untuk berbagi apa saja. Sahabat yang tak sedikitpun memiliki amarah untuk dilampiaskan. Keluarlah! Tunjukkan pada mereka bahwa kau tak seperti yang mereka pikirkan. Buktikan pada mereka bahwa jauh di dalam sana, di balik sanubarimu yang terdalam, ada mutiara yang siap untuk mengilaukan dunia. Aku menyayangimu dan kau pasti tahu, aku percaya padamu.

Kepada R, aku titipkan pesanku kepada air. Bahwa tak peduli aku pada kidung-kidung yang disenandungkannya. Bahwa aku lebih tahu daripada dirinya. Bahwa kau tak seperti yang dinyanyikannya. Belum pernah sepanjang hidupku, kutemukan manusia yang sepertimu. Sahabat yang selalu mengatakan hitam ketika aku hitam, putih ketika aku putih. Sahabat yang tak pernah berhenti memaki-maki namun tak pula pernah berhenti menyanjung-sanjung. Sahabat yang tak sediktpun memiliki dendam untuk disimpan. Berlarilah! Tunjukkan pada mereka bahwa kau tak seperti yang mereka pikirkan. Buktikan pada mereka bahwa jauh di dalam sana, di balik sanubarimu yang terdalam, ada intan berlian yang siap untuk mencengangkan dunia. Aku menyayangimu dan kau pasti tahu, aku percaya padamu.

Kepada A dan R, kutitipkan pesanku pada angin dan air. Bermimpilah untuk menggapai langit karena meskipun kau gagal, kau akan tetap berada di antara bintang-bintang*.

*dikutip dari sebuah buku motivasi yang judul dan nama pengarangnya tak saya ingat lagi.

19 Februari 2010; 07:00 pm.

Thursday, February 18, 2010

KENALKAN!

Kenalkan! Namaku panas. Aku seorang penipu. Ketika sejumlah energiku berubah bentuk, larut ke dalam molekul udara, kau akan mengenaliku dingin. Jangan tertipu! Aku seorang penipu.

Kenalkan! Namaku terang. Aku seorang pembohong. Ketika sekian kandela dicerabut dariku, hilang menjadi ketiadaan, kau akan memanggilku gelap. Jangan percaya! Aku seorang pembohong.

Kenalkan! Namaku hitam. Aku penuh tipu muslihat. Ketika seluruh sinar kupantulkan, tak menyisakan satu pun panjang gelombang, kau akan menyebutku putih. Jangan terperdaya! Aku licik.

Kenalkan! Namaku air. Aku inkonsisten. Ketika suhu tubuhku mencapai seratus derajat celcius, membuatku bergolak di dalam panci, kau tak akan melihatku lagi. Aku sudah berubah menjadi uap.

Kenalkan! Namaku karang. Aku tak setegar bayanganmu. Ketika ombak ajek menghantam tubuhku, mengikisi partikel demi partikel yang membuatku kurus, kau akan menginjak-injak aku. Aku kini hanyalah butiran pasir.

Kenalkan! Namaku tuhan. Aku ada aku tiada. Terasa panas terasa dingin. Menjadi terang menjadi gelap. Terlihat hitam terlihat putih. Berwujud cair berwujud gas. Sebesar karang sekecil pasir.


18 Februari 2010, 1:15 am

Wednesday, February 17, 2010

KEABADIAN

Kepada angin aku bertanya. Adakah udara yang menyapa wajahku kini adalah sosoknya yang silam? Ketika bunga tak lagi mekar dan dedaunan kehabisan klorofil. Angin yang sama kah yang dulu kerap menggigilkan tubuhku?

Kepada hujan aku bertanya. Adakah awan menyimpan kisahku? Ketika pepohonan tak lagi meranggas dan sore hari menjadi meriah oleh suara katak. Hujan yang sama kah yang dulu kerap membasahi badanku?

Kepada gunung aku bertanya. Adakah bebatuan masih mengenaliku? Ketika halimun tak lagi menyelimuti pagi dan bambu-bambu menjelma rumah. Gunung yang sama kah yang dulu kerap kudaki?

Kepada bintang aku bertanya. Adakah langit bersempadan? Ketika burung tak lagi bernyanyi dan kunang-kunang melampus raga. Bintang yang sama kah yang dulu kerap berkelap-kelip?

Kepada malam aku bertanya. Adakah siang akan kembali? Ketika gelap melenyapkan terang dan matahari diganti bulan. Malam yang sama kah yang dulu kerap mengerdilkan nyaliku?

Kepada diri aku bertanya. Adakah keabadian di dalam sana? Ketika hari ini tak lagi sama dengan kemarin dan tak sesiapa sanggup menduga hari esok. Diri yang sama kah yang dulu kuakrabi?


Toraja, 17 Februari 2010. 6:10 pm.

Tuesday, February 16, 2010

RUMAH MIMPI

“Pupuk, Pak.”

Aku menyodorkan selembar uang seratus ribu melalui sebuah lubang kaca kepada petugas taksi bandara. Bapak itu merobek selembar tiket dan menyerahkannya kepadaku beserta uang kembaliannya. Tak lama kemudian, aku duduk dengan nyaman di jok belakang taksi bercat biru tua dalam perjalanan ke sebuah kompleks perumahan yang disebut ‘pupuk’ oleh orang setempat.

Deretan rumah besar berbaris dengan rapi di sepanjang kiri kanan jalan. Pagar-pagar besi yang tinggi sedikit menghalangi pandanganku ke halaman-halaman asri yang ditumbuhi rumput dan tanaman hias yang terpelihara dengan baik. Tanpa perlu tahu dan mengenal pemiliknya, aku yakin mereka adalah golongan orang sukses, jika ukurannya adalah koleksi kekayaan bendawi.

Aku menjatuhkan pandangan pada sebuah rumah di sebelah kiri. Salah satu yang memiliki pos satpam di pintu masuknya. Hatiku tersenyum. Sesuatu tentang rumah ini pernah begitu akrab denganku beberapa tahun silam. Aku masih ingat persis. Lantainya putih dari keramik yang harganya pasti sangat mahal. Ruang tengahnya luas menghadap ke lembah dengan pemandangan kota yang terlihat indah di sore menjelang malam dengan lampu-lampu aneka warna.

~~~~~

“Ojek, Mas.”

Aku menolak dengan goyangan telapak tangan kanan. Sore yang gerah di salah satu terminal di kota yang panas. Dari atas dan dari bawah. Matahari menggantungi langit sore di kota tepi pantai itu sementara hidrokarbon yang kandungannya seolah tak terhingga membara di bawah permukaan tanahnya.

Aku beringsut di antara sekumpulan taksi bercat hijau tua yang sahut-menyahut membunyikan klakson mencari penumpang. “Sepinggan… Manggar… Batakan…” Aku meragu sejenak. Panas, gerah, dan keringatan. Teriakan kondektur itu hampir berhasil menggoda imanku. Aku menimbang-nimbang lagi. Tak sampai 10 menit, 2,500 rupiah akan melayang untuk sebuah perjalanan nyaman dalam taksi hijau tua itu untuk sebuah jarak yang tak seberapa jauh dan nantinya tetap harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Aku kembali menggoyangkan telapak tangan kanan. Kakiku melangkah menjauh. Oh, iya. Sekadar informasi, di kota yang kaya minyak dan gas bumi ini, mereka menyebut ‘taksi’ untuk angkot.

Alam kemudian bersimpati. Dikirimkannya angin semilir yang menemani setiap ayunan kakiku yang lebar. Tetap panas namun tak lagi terlalu gerah. Sebuah jalan menanjak kemudian menyambutku. Bagian yang paling kusuka dari perjalan rutin dua kali seminggu ini karena sebentar lagi aku akan masuk ke sebuah kompleks perumahan dengan deretan rumah mewah yang sungguh elok dipandang mata. Lumayan kan bisa lihat-lihat meski tak bisa memiliki?

Dengan berjalan beberapa ratus meter lagi, aku akan sampai di sebuah rumah yang pintu masuknya dijaga satpam. Setelah mengonfirmasi kedatanganku kepada tuan rumah lewat intercom, satpam itu kemudian membukakan pagar dan menyilakan aku masuk. Satu setengah jam berikutnya, aku akan berada di ruang tengah rumah itu bersama dua remaja belasan tahun. Bertiga, kami duduk di sebuah meja yang menghadap ke lembah yang dibatasi oleh jendela kaca besar. Kertas, buku-buku, dan pulpen memenuhi meja di hadapan kami. Tak lama kemudian, seorang perempuan muda datang dengan nampan berisi minuman dingin dan makanan kecil. Sesudahnya, kami akan sibuk dengan angka-angka, simbol, dan rumus-rumus.

Seperti yang mungkin sudah bisa kau tebak, aku adalah seorang guru les privat. Mengunjungi rumah-rumah mewah setiap sore menjelang malam setiap hari, kecuali Minggu. Berbagi ilmu dengan remaja belasan tahun yang sedang belajar merajut mimpi. Anak-anak SMA yang sungguh beruntung lahir dan tumbuh dalam keluarga yang serba berkecukupan materi dan (mungkin) kasih sayang.

Dari kegiatan mengajar itu pula, aku kemudian mengenali satu demi satu sudut kota minyak ini. Bermodalkan taksi yang tarif jauh dekatnya dipukul rata 2,500 rupiah dan sesekali berjalan kaki, aku berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain setiap sore. Menyaksikan paradoks yang kerap mengernyitkan keningku dan membuatku harus sering-sering mengurut dada memanggil ketabahan. Aku menumpang tinggal di sebuah rumah kontrakan kayu sederhana yang tersembunyi di belakang gedung-gedung besar. Jalan masuknya berupa gang sempit berkelok-kelok dengan got berbau tak sedap yang penuh dengan kotoran yang sudah hitam dibusukkan mikroorganisme. Sementara, tiap hari aku menyatroni rumah-rumah mewah berpagar besi berlantai keramik yang mengilat beraroma mawar, cemara, atau jeruk dengan jalan masuk yang lebar-lebar. Paradoks yang indah. Karena dengan begitu aku masih bisa bermimpi.

Aku kadang bertanya-tanya. Tak cukupkah pelajaran di sekolah formal yang anak-anak muridku ini dapatkan sehingga mereka harus mengambil les lagi di luar jam pelajaran sekolah? Lalu bagaimana dengan anak-anak yang hidup dalam keluarga yang tak sanggup membayar guru les? Kemungkinan besar mereka akan semakin tertinggal. Yang kaya semakin pandai, yang miskin semakin bodoh. Tapi, sudahlah. Aku bukan siapa-siapa untuk menjawab pertanyaan itu.

Yang jelas, aku sangat menikmati setiap sore menjelang malam itu. Bukan karena kemewahan semu dan temporer yang bisa aku dapatkan dari rumah-rumah mewah itu, namun untuk kesempatan di mana aku bisa bermimpi. Ya. Aku ingat betul. Malam-malam sepulang mengajar, aku akan menarik jendela kaca taksi dan membiarkan angin malam menyapa wajahku. Membayangkan kelak di suatu hari sebentuk hidup yang indah akan menjadi milikku. Kadang, aku sengaja turun beberapa ratus meter dari tempat di mana aku seharusnya turun sekadar untuk memperpanjang durasi bermimpi dalam taksi. Sesudahnya, aku harus membayar ratusan meter itu dengan berjalan kaki menyusuri trotoar untuk kemudian masuk ke gang sempit di sebelah gedung besar.

Selain bermimpi, banyak kebahagiaan lain menjadi seorang guru les privat. Untuk yang ini, bergantung pada siapa muridnya. Begini beberapa kisahnya.

1. Salah satu muridku namanya Icha. Dia anak perempuan satu-satunya dari pemilik jaringan apotek ternama di kota ini. Mungkin karena itu pula dia sedikit agak manja. Ia sering sekali merajuk ketika penjelasanku malah semakin membuatnya bingung. Ia kemudian akan memintaku dengan gayanya yang khas untuk mengulangi penjelasanku. Ketika ia akhirnya paham, ia akan menghadiahiku sebatang Toblerone yang memang selalu ada di meja belajarnya. Kemudian ia akan bercerita tentang banyak hal. Tentang guru dan teman sekolahnya yang menyebalkan, juga tentang cowok yang sedang ditaksirnya. Agenda berubah menjadi sesi curhat. Aku tak punya pilihan lain selain menanggapinya sebisaku. Berkali-kali kucoba mengalihkan topik pembicaraan kembali kepada pelajaran, tapi ia malah menutup buku-bukunya kemudian menatapku dengan ancaman matanya. Aku menyerah. Kami kemudian akan mengobrol tentang cowok incarannya itu. Guru-murid bertransformasi menjadi teman. Ini dia kebahagiannya. Ketika ada murid yang menganggap guru sebagai teman, bukan sosok angker yang murka ketika muridnya tidak tahu. Di kesempatan lain, kami membahas beberapa novel yang sudah pernah kami baca. Aku bahkan sempat meminjam Harry Potter and The Order of The Phoenix miliknya karena saat itu gajiku sayang ‘disia-siakan’ untuk membeli buku semahal itu.

2. Muridku yang lain bernama David dan Gilang. Mereka mengambil paket les privat untuk berdua di lembaga tempat aku mengajar. Ayah David salah satu pejabat penting di departemen entah apa sementara ayah Gilang seorang Lurah. Di pertemuan pertama kami, mereka menceritakan keinginannya untuk masuk jurusan IPA saat kenaikan kelas nanti. “Tolong diajarin yah, Mas.” Begitu kata mereka. Tak ada hadiah Toblerone, namun sesi curhat tetap ada. Kali ini tentang pacar yang terlalu posesif dan melulu curiga. Ah, anak muda. Begitu dinamis hidup yang kalian jalani. Mengetahui kalau aku pergi pulang mengajar dengan naik taksi, ibu Gilang menaruh kasihan padaku kemudian meminta kakak laki-laki Gilang mengantarku pulang sehabis mengajar di rumahnya. Bahkan, aku selalu disuguhi bermacam-macam makanan dan minuman setiap kali mengajar. Beliau bahkan memintaku untuk menganggap anaknya itu sebagai adik sendiri. Satu semester kemudian, ketika saatnya kenaikan kelas, beliau menelepon dan mengucapkan terima kasih karena Gilang dan juga David berhasil masuk IPA. Peringkatnya pun naik ke dua puluh besar yang sebelumnya terpuruk di peringkat akhir pada semester pertama. Aku terharu. Begini rupanya kebahagiaan menjadi seorang guru. Ketika muridmu berhasil, ketika muridmu menggapai impiannya.

3. Dari David dan Gilang ini aku kemudian mendapatkan murid lain bernama Nona dan Christy. Mereka teman sekelas. Orang dari kantor ‘agen guru les privat’ menghubungiku dan mengatakan ada calon murid yang menelepon minta guru les, tapi harus diajar sama ‘Mas R’. Aku bangga. Setidaknya karena aku tidak mengecewakan mereka yang sudah membayarku. Dengan kedua murid ini, kami kebanyakan tertawa. Anaknya lucu dan berselera humor yang sangat baik. Paling tidak karena topik pelajaran pun bisa menjadi bahan tertawaan. Mereka pun sangat pandai. Satu kali penjelasan saja sudah cukup membuat mereka paham. Di hari yang sama ketika ibu Gilang meneleponku, ibu Nona juga meneleponku dengan berita yang sama. Ucapan terima kasih karena sudah mengajar anaknya dengan baik. Nona dan Christy berhasil masuk 5 besar di kelasnya. Aku terharu (lagi). Lagi-lagi aku menemukan kebahagiaan menjadi seorang guru. Kebahagiaan yang nilainya sungguh tak bisa diukur dengan materi apapun namun menjadi sesuatu yang abadi untuk dirasakan.

~~~~~

“Lurus, Pak?”

Sopir taksi membuyarkan lamunanku. Aku mengiyakan dan segera berkemas. Ah, masih banyak yang ingin kukisahkan sebenarnya, namun sudah hampir sampai rupanya. Sebuah rumah bercat kuning terang berdiri kokoh dan anggun menyambutku. Bukan milikku, tapi dari sini aku akan berangkat menuju ke rimba Borneo esok harinya, di mana minyak dan gas bumi bersembunyi di bawah permukaan tanah. Perjalanan rutin dua minggu sekali – bukan lagi 2 kali seminggu – yang kujalani dalam lima tahun terakhir.

Persembahan bagi semua guru. Pahlawan tanpa tanda jasa bukanlah sekadar kata-kata. Namun, ada kebahagiaan di sebaliknya yang tak tersentuh benda duniawi apapun.



16 Februari 2010, 4:04 pm.




Sunday, February 7, 2010

| SOLILOKUI |

– Bukan Kebetulan –


Barangkali, ini adalah catatan ternarsis yang pernah kutulis.
“Apanya yang narsis?” | | “Apanya yang tidak narsis?”

Barangkali, ini adalah catatan terumit yang pernah kutulis.
“Apanya yang rumit?” | | “Apanya yang tidak rumit?”

Barangkali, ini adalah catatan yang paling menguras energiku.
“Kenapa bisa begitu?” | | “Kenapa tidak bisa begitu?”

Barangkali, ini adalah catatan paling membosankan yang pernah kutulis.
“Kok bisa?” | | “Kok tidak bisa?”

Barangkali, ini adalah catatan terakhir dengan tema seperti ini yang akan kutulis.
“hahaha | | ahahah”

Tak usah tertawa! Aku sedang bercakap-cakap dengan diriku sendiri.

Ada sesuatu yang ‘tak biasa’ belakangan ini; rasanya dalam sebulan terakhir. Karena bertahun-tahun tak pernah lagi mengenakan jam tangan, maka media paling praktis untuk mengecek jam adalah handphone. Tanpa kusengaja, sangat sering angka digital di layar handphone-ku menunjukkan kombinasi yang ‘tak biasa’. Setidaknya buatku yang memang suka iseng memerhatikan hal-hal ‘sederhana’ seperti itu. Beberapa kali, konfigurasi angka seperti 05:50, 07:07, atau 11:11 muncul di layar handphone-ku saat melakukan aktivitas pertama di pagi hari – mengecek handphone. Berjam-jam sesudahnya, konfigurasi serupa muncul lagi ketika aku mengecek SMS masuk atau panggilan tak terjawab. Memang tidak setiap saat dan setiap hari, namun kejadiannya terlalu sering untuk disebut kebetulan. Dan, rasanya aku tak terlalu percaya dengan sesuatu yang bernama kebetulan.

Kejadian tak sederhana dan tak kebetulan ini kemudian melontarkanku ke masa beberapa bulan terakhir. Tepatnya, 9 bulan kurang sedikit. Durasi bumi dan sistem perhitungan tahun Masehi barangkali akan menyebutnya singkat, tapi atas nama kualitas dan kuantitas, sama sekali tidak singkat apalagi sederhana.

| |

Sebuah buku bersampul hijau tergolek sembarangan di meja pajang sebuah toko buku di pinggiran Jogja. Tak ada yang istimewa pada judul, apalagi nama penulisnya. Setidaknya karena belum sekalipun aku mendengar namanya. Penulis baru yang ingin mendongkrak penjualan bukunya dengan menyertakan sederet prestasi pada biografi singkatnya. Aku meletakkan kembali buku ‘narsis’ itu lalu berkutat dengan tumpukan buku lain, ngotot mencari lanjutan serial Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi meskipun pelayan toko buku sudah mengatakan stoknya habis dan sementara dipesan. Database-nya pun menunjukkan angka ‘0’ untuk buku Gajah Mada; Perang Bubat. Setelah lelah mencari dan akhirnya percaya bahwa database dan pelayan toko itu berkata jujur, aku kembali ke meja tadi dan meraih buku bersamnpul hijau itu. ‘Catatan kecil’ Dewi Lestari yang di kemudian hari kuketahui disebut endorsement di sampul depannya menggelitik rasa penasaranku hingga akhirnya memutuskan untuk membelinya. Ambil aja lah, toh tidak setiap hari aku punya kesempatan mengunjungi toko buku. Lumayan buat cadangan kalau sudah tidak ada bahan bacaan.

Beberapa hari kemudian, pada sebuah sore yang mendung di Salatiga, aku benar-benar kehabisan buku bacaan. Dengan setengah hati, aku mengambil buku bersampul hijau tadi, merobek sampul plastiknya kemudian membuka halaman pertamanya.

“Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta; Engkau bertemu seseorang lalu perlahan-lahan merasa nyaman di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa ia memerhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.”

Aku terpana. Paragraf pertamanya sekaan punya daya hipnotis yang sanggup memerangkap mataku untuk tidak melewatkan satu kata pun sesudahnya. Dan tanpa terasa, sudah lewat tengah malam ketika aku sampai pada halaman terakhir buku itu. Selesai dalam sekali baca. Aku bahkan masih merinding dalam sensasi yang luar biasa ketika meletakkan buku itu. Sensasi yang kurang lebih sama ketika menuntaskan beberapa novel lain sebelumnya. Sebutlah Saman-nya Ayu Utami, Supernova: Akar-nya Dewi Lestari, atau Mahasati-nya Qaris Tajudin.

Namun, ada yang berbeda ketika aku membaca lagi data singkat penulisnya di sampul belakang buku itu. Gunung Kidul. Tempat yang pernah kudengar bertahun-tahun sebelumnya sebagai daerah gersang yang hanya bisa ditumbuhi singkong. Déjà vu. Mungkin begitu kurang lebih. Aku belum pernah ke Gunung Kidul sebelumnya, merencanakan pun tidak, namun tiba-tiba saja tempat itu terasa begitu akrab di benakku. Barangkali, deskripsi Gunung Kidul yang begitu detail dalam buku itu yang membuatmu merasa seperti itu. Nggak usah lebay!

Beberapa menit sesudahnya, aku mencari penulis buku itu di jejaring facebook dan ternyata dia memang ada di sana. Sebaris pesan tentang rasa kagumku pada buku itu kusertakan. Bukan basa-basi agar dia mau mengonfirmasi undangan pertemananku, tapi memang apresiasi yang berdasarkan pada sebentuk sensasi yang baru saja kurasakan saat itu. Esok harinya, tanpa harapan apa-apa, aku terkejut mendapati undangan pertemanan itu sudah dikonfirmasi, bahkan dengan beberapa kalimat tambahan yang jujur saja kuanggap basa-basi seorang penulis bagi penyuka bukunya. Tapi tidak lagi sesudahnya ketika ia menanyakan letak Rantepao, kota kecil tempat lahirku yang kuduga kuat baru pertama kali didengarnya saat itu.

“Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa orang yang kau cintai. Karena dengan atau tanpa orang itu, hidup harus terus berjalan.” Tepat sehari sebelum aku membaca buku itu, aku menulis sebuah catatan pendek yang esensinya persis sama. Mencintai untuk melepas. Konfirmasi yang kemudian justru datang dari sang penulis buku bersampul hijau berjudul Galaksi Kinanthi itu setelah membacanya di blogku beberapa hari kemudian.

| |

Gunung Kidul, ‘ribuan’ tahun sebelumnya.

Musim kemarau mengembuskan angin kering; tanah merekah kekurangan air. Tumbuhan meranggas kekurangan klorofil, menyajikan pepohonan yang tampak seperti manusia kekurangan darah; pucat dan tak sejuk. Seorang anak lelaki belasan tahun meringkuk di dalam bak penampungan air yang kosong. Puluhan buku berserakan di sekitarnya. Sambil menyender ke dinding bak, anak kecil itu – dari segi usia dan ukuran badan – melahap satu demi satu buku yang kemudian akan menjadi penghuni lemari perpustakaan di sekolahnya. Mendadak, bak berbentuk silinder itu berubah menjadi sebuah dunia yang baru. Dunia fantasi yang tercipta dari imajinasi seorang anak bungsu dari guru SD di pelosok Gunung Kidul. Dunia penuh warna dan nuansa seperti yang dibayangkannya ketika membuka halaman demi halaman buku di tangan rampingnya. Wajahnya mengaurakan harapan akan hidup di masa depan yang lebih hijau, lebih damai, dan lebih bermakna.

Sambil memandangi langit biru yang didominasi cirrus, ia bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Tanpa suara, tanpa kata-kata.

Rantepao, ‘ribuan’ tahun yang sama sebelumnya.

Angin semilir bertiup menggoyangkan dedaunan. Bunyi lembutnya meningkahi teriakan anak-anak kecil yang bermain di kejauhan. Tak lama kemudian, suara-suara gembira itu berhenti ketika panggilan tidur siang diteriakkan oleh ibu masing-masing. Hening menyambut. Seorang anak belasan tahun dengan tumpukan majalah dan buku cerita di tangannya memanjat sebuah pohon cengkih di pekarangan rumahnya. Tak ada ruang baca di rumahnya, pun kamar sendiri untuk membaca buku dan majalah itu. Jadilah pohon cengkih yang rimbun menjadi pilihannya setiap siang. Anak bungsu dari seorang guru SD itu kemudian akan menghabiskan berjam-jam sesudahnya di dahan cengkih yang kokoh dalam dunianya sendiri. Dunia imajinasi yang penuh harapan dan cita-cita. Dunia imajinasi yang jauh melintasi bukit, gunung, dan lautan serupa kisah yang dibacanya di majalah dan buku-buku itu. Wajahnya tersenyum penuh harapan ketika kemudian menuliskan impian-impian itu pada dahan-dahan cengkih dengan kukunya.

Sambil memandangi deretan bukit yang tampak dari sela dedauan cengkih, ia bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Tanpa aksara, tanpa kata-kata.

| |

Stagnan. Aku tak tahu apa lagi yang akan kutulis. Ketik. Hapus. Ketik. Edit. Hapus lagi. Blank pages. Kata orang bijak, sesuatu yang kelebihan – pada titik tertentu – akan membuat kita lupa pada hal-hal kecil dan sederhana yang sejatinya merupakan sesuatu yang sangat berharga. Rasanya, itu yang sedang kualami. Kata-kata melenyap, pergi entah ke mana. Tak persis begitu sesungguhnya. Aku justru kebingungan merangkainya, mana yang layak, mana yang harus duluan, atau mana yang perlu. Ketiadaan dalam kemelimpahan.

Aku selalu ingat tak ada yang pernah cukup dalam setiap perbincangan kita. Ketika menemukanmu kembali (atau malah sebaliknya?) aku tak pernah berhenti terkejut mendapati dirimu yang rasanya telah menahun kuakrabi. Sesosok manusia dari dunia cyber yang isi kepalanya mampu kutebak bahkan ketika aku belum pernah bertemu dengannya. Dan, aku pun tak kalah terkejutnya mendapati dirimu yang sanggup membaca hatiku. Otakku bekerja keras menelusuri kepingan-kepingan memori yang masih sangup kuputar kembali, namun tak sepotong pun yang memuat memori tentangmu. Kita memang tak saling mengenal sebelumnya. Gunung Kidul dan Rantepao terpisah ribuan kilometer oleh daratan dan lautan. Kau lahir dari rahim perempuan Jawa oleh benih laki-laki Jawa, sementara aku berasal dari rahim dan benih orang Toraja. Ide tentang anak kembar yang terpisah waktu lahir otomatis menjadi sangat tidak masuk akal. Dikuatkan lagi ketika ummi dan ibu mengaku tak pernah memiliki anak kembar. Memimpikan pun tidak. Ah, sudahlah! Kembar toh tak melulu soal kemiripan faktor genetis ataupun sumber ovum yang sama, bukan?

“Lihatlah! Narsis, rumit, dan membosankan, bukan?” | | “Bukan membosankan, rumit, dan narsis. Lihatlah!”

Tak usah membantah! Aku (lagi-lagi) sedang bercakap-cakap dengan diriku sendiri.

Kali ini dengarkan aku. Bukan saatnya mendebatkan hal-hal yang tak akan pernah ada habisnya. Aku menumpuk berbagai teori tentang cinta, Tuhan, dan persahabatan yang kemudian berjumpa dengan realitasnya ketika aku mengenalmu. Kau – dengan kesejatianmu – adalah konfirmasi. Tahukah kau apa yang kemudian menjadi ‘penderitaanku’? Aku tak mungkin bisa berbohong kepadamu. Telah berkali-kali kucoba, sengaja maupun tidak, namun berkali-kali pula kau buktikan bahwa aku kadang bahkan tak mengenali diriku sendiri. Namun, jangan kemudian berpikir bahwa kau bisa melakukan yang sebaliknya: berbohong kepadaku. Pada beberapa kejadian, aku bahkan lebih (sok) tahu tentang dirimu daripada kau sendiri, bukan?

Aku membaca satu demi satu catatan yang kau tulis di situs pribadimu. Tak ada beda dengan hidupmu yang kubaca langsung dengan mata dan hadirku. Ada perjuangan dan kemenangan di sana. Nadir dan zenit seolah adalah hal yang sangat biasa bagimu. Menjadikanmu pribadi yang tangguh, penuh percaya diri, dan kadang sangat menyebalkan. Maaf, kau memang seperti yang terakhir itu sesekali.

Aku sesungguhnya tak tahu untuk apa catatan ini kutulis. Aku hanya percaya bahwa waktu kadang sanggup mengaratkan esensi perlahan-lahan dan selapis demi selapis. Banyak hal berharga yang berlalu begitu saja tanpa kita sadari. Dan aku tak ingin mutiara-mutiara hidup yang kutemukan dengan mengenalmu kelak akan menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Aku ingin ia tetap menjadi mutiara meskipun wujudnya barangkali sudah akan berubah. Kita memang tak pernah sepakat soal durasi dan keabadian, tapi hidup bukanlah perkara mudah untuk ditebak, bukan?

Aku belum selesai. Tolong jangan menginterupsi!

Tepat jam 21:12. Bukan kebetulan jika kombinasi angka itu muncul (lagi) di layar handphone-ku. Bukan kebetulan jika kita sama-sama lahir sebagai anak bungsu, menangis untuk pertama kalinya di tahun yang sama, pada tanggal dan bulan berbeda yang memiliki hubungan matematis. Bukan kebetulan jika ummi(mu) dulu adalah seorang guru SD dan ayah(ku) juga adalah mantan guru SD. Bukan kebetulan jika kita sama-sama dibesarkan dalam keluarga yang kondisi ekonominya biasa-biasa saja, kemudian bertumbuh jauh dari kemegahan dan kemewahan kota besar. Bukan kebetulan jika aku adalah penyuka novel dan kau adalah penulis novel. Bukan kebetulan jika kau keras kepala dan aku kepala batu. Bukan kebetulan jika kau Islam dan aku Kristen. Bukan kebetulan jika ‘kau’ dan ‘aku’ tersusun dari tiga huruf yang sama. Dan, bukan kebetulan jika…

… sudah jam 22:22.


Delta Mahakam, 6 Februari 2010

Saturday, January 23, 2010

BF

Jangan berpikir aneh-aneh dulu! Yang jelas bukan singkatan dari Blue Film, bukan pula Boy Friend. Aku lupa persisnya apa tapi seingatku, awalnya diinspirasi dari ‘Boncis Family’. Boncis, kata dalam bahasa Toraja yang berarti buncis. Aku selalu tersenyum acap kali mendengar kata ini disebutkan orang, sekalipun memang untuk maksud yang sebenarnya; sejenis kacang-kacangan berbentuk batangan berwarna hijau yang katanya lebih enak kalau dipotong serong jika hendak dibuat sayur. Phaseolus vulgaris, begitu nama kerennya.

Jangan pula terlalu penasaran dengan ‘boncis’! Nanti akan kuberitahu artinya. Dan, kusarankan untuk tidak terburu-buru menanyakan artinya kepada generasi muda Toraja zaman sekarang. Kujamin, mereka akan tersenyum bahkan mungkin tertawa. Bersabarlah sedikit!

10 tahun lampau, kata ini begitu populer di kalangan para mahasiswa Toraja di Salatiga. Pula bagi kawan-kawan kami dari daerah lain saking seringnya aku dan kawan Toraja-ku saling memanggil ‘boncis’ ketika bertemu di kampus. Seorang kawan Sumba pernah bertanya, “Kok semua orang Toraja dipanggil boncis? Nama panggilan kah?” Ah, kawan! Agar kau tak berpikir macam-macam anggap saja begitu. Kutambahkan pula, itu panggilan akrab. Sejak itu, resmilah semua mahasiswa Toraja di kampusku, termasuk aku, dipanggil boncis. Aku pun memanggil kawan-kawan akrab non-Torajaku dengan panggilan serupa.

Dalam rentang waktu yang sama, beragam kata dan dialek aneh pun mulai mengakrabi telingaku. Saat membeli rokok edisi paket hemat alias ketengan di warung, ibu penjualnya bertanya, “pinten, Mas?” yang kujawab dengan, “Sampoerna Mild, Bu.” Kurasa mukaku memerah sesudahnya karena ternyata si ibu menanyakan berapa batang yang mau kubeli. Kali lain ketika hendak meminjam hekter pada kawan tetangga kamarku dari Kupang, ia bilang “Son’ ada”. Tidak ada. Sesudahnya kata itu menjadi favoritku hingga sekarang, sonde. Sejak itu pula, aku kemudian tahu bahwa di tempat lain hekter disebut staples. Ada pula yang hampir di setiap kalimatnya selalu menyebut ‘ngana’ atau ‘ngoni’. Kalau yang menyebutkannya perempuan, biasanya selalu berwajah cantik dan berkulit putih.

Setahun setelah boncis resmi jadi nama panggilan, beberapa orang kemudian menjadi kawan keseharianku. Selain karena tinggal bersama di asrama yang otomatis setiap hari hampir selalu bertemu, beberapa di antaranya merupakan rekan sefakultas yang sering berangkat bareng ke kampus. Mengikuti prinsip survival of the fittest ala Charles Darwin, terkumpullah kami, 13 orang dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Kami menamai kelompok kami ‘BF’. Singkatan dari Big Family yang akhirnya kami sepakati bersama kemudian. Bukan lagi Boncis Family.

BF punya acara rutin tak teragenda. Kadang tanpa dikomando siapa-siapa, tahu-tahu kami sudah berkumpul di bak cuci di belakang asrama untuk sekadar mengobrol atau menemani yang sedang mencuci pakaian. Kadang pula, kami duduk di kursi tembok di bawah pohon besar untuk bernyanyi dan bercerita. Tak selalu lengkap, tapi perlahan-lahan sesuatu mulai tumbuh dalam hati kami masing-masing. Semacam perasaan membutuhkan dan mencari bila tidak bertemu seharian. Bahkan ketika beberapa di antaranya memilih untuk keluar dari asrama dan tinggal di kos-kosan, termasuk aku, kami masih sering berkumpul. Kini, tak hanya di asrama atau di kampus tapi lebih sering di rumah kontrakan salah satu anggota BF. Selain menyewa CD Film untuk ditonton ramai-ramai, kami kerap memasak bareng untuk makan siang. Tentu saja menu seadanya ala mahasiswa perantau yang tak banyak uang. Tahu-Tempe sambal dan sup. Kadang ada ayam goreng dan es buah jika awal bulan. Di dalam kamar kawan kami yang tak terlalu luas itu, kami kemudian akan berdempet-dempetan memenuhi ranjang dan lantai untuk menonton film sewaan yang diputar di komputer. Kawan kami yang satu ini merupakan salah satu dari dua yang memiliki komputer di antara kami ber-tigabelas. Salah satu di antara kami - si sonde – sangat sering mendapat protes dan lemparan bantal bahkan tepukan di bahunya karena mulutnya tak berhenti mengomentari film yang sedang kami tonton.

Begitulah. Masa-masa itu sungguh indah dan membahagiakan. Jika aku tak salah, tak satu pun di antara kami yang sedang berpacaran saat itu sehingga pertemanan kami menjadi begitu eksklusif. Kalau pun ada sepertinya tak terlalu serius karena kurasa kami lebih menikmati kebersamaan kami. Tiga belas orang dari seberang pulau yang berbeda-beda yang tak sengaja bertemu di tempat dan tujuan yang sama. Menuntut ilmu demi masa depan yang lebih baik dan hidup yang lebih bermakna. 8 perempuan dan 5 lelaki dengan uang kiriman yang tak seberapa banyak meski tak juga bisa dibilang sangat kurang. Yang jelas tidak mungkin untuk hidup foya-foya dan membeli barang sesuka hati. Jika kehabisan uang – biasanya di akhir bulan – tak jarang kami saling meminjami agar tak sampai kelaparan demi mengurangi jatah makan yang dua kali sehari. Entah aku yang amnesia atau sok tahu, tapi seingatku dulu kami memang tak pernah sarapan. Bangun pagi jam 6, mengantri mandi kemudian berangkat ke kampus untuk kuliah pagi jam 7. Selain untuk menghemat uang bulanan, masih sangat jarang warung yang buka pada jam segitu. Sarapan pun baru bisa sekitar jam 10 atau 11, sekalian makan siang.

Lazimnya setiap pertemanan, konflik pun kadang menghiasi persahabatan kami. Ada yang tersinggung dengan guyonan yang keterlaluan, ada pula yang tanpa alasan jelas. Namun, tentu saja detailnya tak mungkin kuceritakan di sini. Selain karena tidak perlu, jujur saja, aku sudah lupa. Yang menyisa dalam benakku hingga kini hanyalah persahabatan dalam kebersamaan. Ketika berada jauh dari rumah dan keluarga, siapakah lagi keluarga selain sahabat-sahabat? Ketika dukamu adalah duka mereka, tangismu adalah tangis mereka dan bahagiamu juga adalah bahagia mereka, tak cukupkah itu menjadikan mereka saudaramu?

Malam 25 Desember tahun ‘99 (atau ‘00?), layaknya sebuah organisasi resmi, kami mengadakan kebaktian Natal BF. 'Dresscode'-nya, ‘bebas tapi harus ada penjelasan.’ Dengan sebatang lilin besar karena tak cukup banyak uang untuk membeli lebih, kami merayakan kelahiran Yesus Kristus di rumah kontrakan salah satu kawan yang punya komputer tadi. Natal yang syahdu tak rusak hanya karena si pengkhotbah terlalu boros menggunakan kata ‘bukan’ dalam intonasi yang ragu-ragu di setiap akhir pertanyaan retoriknya. Khususnya buatku karena akulah si pengkhotbah dadakan malam itu. Salah seorang perempuan datang dengan gaun berwarna merah jambu yang sangat indah. Ketika gilirannya menjelaskan alasannya mengenakan gaun itu, ia bilang begini. “Kalian adalah hal terindah dalam hidupku dan mungkin saja malam ini adalah malam terakhirku bersama kalian, jadi kupilih baju terbaik yang pernah kupunya.” Ada yang kemudian menghangat di kedua sudut mataku. Dari puluhan Natal yang pernah kualami, malam itu salah satu yang terindah. Mudah-mudahan begitu pula dengan mereka. Puji Tuhan, malam itu bukan pula malam terakhir perempuan bergaun merah jambu itu bersama kami.

Di malam yang lain bertahun-tahun kemudian, mungkin malam terakhir kami bersama-sama, kami berkumpul lagi. Entah siapa yang mengusulkan, kami kemudian saling membuka hati. Masing-masing berkomentar tentang kesan dan pesan bagi yang lain. Banyak pengakuan terungkap saat itu: kesal yang terpendam, amarah yang tak terkespresi, dan kekaguman yang disembunyikan. Ada yang bahkan bertestimoni seraya menahan isak tangis. Ah, betapa aku merindukan kebersamaan itu lagi, sahabat-sahabatku.

Ijinkan aku mengenalkan mereka satu demi satu.

1. ‘Papi’ Apong. Orang Menado yang sebetulnya tak cukup layak diangkat jadi ‘papi’ namun karena tampangnya boros akhirnya kami ikhlas memanggilnya ‘papi’. Selain itu, di antara 4 lelaki lain dalam BF, tidak ada yang lebih pantas menyandang gelar itu. Ingatkah ketika malam sebelum ujian skripsi kita malah asyik bermain game di kamar kosmu? Kemudian paginya kita pergi berdoa di kuburan di bukit Bugel, hanya karena tak ada tempat lain yang lebih sepi dari pandangan orang-orang untuk berdoa?

2. 'Mami' Hetty. Perempuan Sumba yang disepakati secara aklamasi untuk menjadi ‘mami’. Dewasa, tutur katanya lembut dan bijkasana. Kau masih utang sebuah cerita padaku!

3. Nila. Orang Jawa tapi besar di Kendari. Kandidat kedua yang sebenarnya juga layak jadi ‘mami’ namun karena keseringan tertawa sehingga tidak jadi dicalonkan. Bicaranya bak puteri Solo dengan cara tertawa yang khas; melengking tinggi dalam tempo yang agak lambat. Pernah membuat kami terbahak dengan kalimatnya yang memuat kata ‘global’ di tengah topik perbincangan yang sangat tidak serius.

4. Vone. Dara Menado dengan kulit seputih kertas. Agak tomboy dan sangat ringan tangan. Perempuan bergaun merah jambu di Malam Natal.

5. Rani. ‘Cabe rawit’ imut dari Toli-toli. Jangan coba-coba mendebatnya kalau tak punya konsep yang jelas. Sangat tegas dan teguh pendirian tapi lucu kalau lagi manja.

6. Ata. Si hitam manis asal Ternate. Tipikal ibu rumah tangga idaman banyak pria; sangat feminin, sabar dan sepertinya tidak pernah marah. Beberapa tahun lalu, ia meninggal ketika berjuang melahirkan anaknya yang pertama. Saudaraku, you’re always in our heart.

7. Iman. ‘Provokator’ dari Toli-toli. Sangat lihai memancing obrolan untuk ‘mencela’ kami, khususnya si sonde. Ingatkah tingkah ‘gila’mu ketika berbicara kepada lampu merah di perempatan depan penjara? Yang membuatku ikutan ‘gila’?

8. Yunda. Si cantik dari Poso, pemilik rambut terindah yang pernah kulihat langsung. Pipinya bersemu merah muda ketika malu-malu. Tak pernah marah dan sangat baik hati.

9. Elly. Si pintar yang penuh kejutan dari Kendari. Aku selalu ingat dengan resep tempe gorengmu. Ketumbar ditumbuk halus di cobek lalu diberi sedikit air untuk merendam tempe sebelum digoreng.

10. Fitri. Perempuan lincah dari Sumba. Penuh canda dan tawa. Juga kepercayaan diri yang ‘berlebihan’. Ingatkah ketika kita – kau diapit aku dan Iman – berjalan melewati koridor gedung C yang di bawah tangga lalu kau ikutan merunduk agar kepalamu tak terbentur, padahal tangganya masih puluhan sentimeter di atas kepalamu? Kau masih utang menginapkanku di rumahmu kelak jika aku ke Sumba, yah!

11. Frans. Si Batak yang Jawanya medok karena lahir-besar di Surabaya. Selalu setuju dengan ide apapun dan siapapun.

12. Theo. Si Sonde dari Kupang. Yang satu ini sengaja kutulis terakhir karena di antara anggota keluarga BF yang lain, dia lah yang paling lama dan paling sering berinteraksi denganku. Tinggal di unit asrama yang sama, dengan kamar yang berhadapan. Sama-sama memilih jurusan yang sama di tahun pertama, kemudian sama-sama pula pindah ke jurusan yang sama tahun berikutnya. Memilih mayor yang sama, topik penelitian yang sama, kemudia lulus bersamaan. Berdua, kami ikut dalam Paduan Suara kampus meski kuakui suaranya jauh lebih bagus. Kami pun pernah membentuk grup vokal bersama 3 teman yang lain dengan prestasi tertinggi menjadi wedding singer di pernikahan salah satu kenalan. Jika ada persahabatan yang kuawali dengan melulu ketidakcocokan, maka ‘si kribo’ inilah orangnya. Awal perkenalan kami dipenuhi selisih pendapat bahkan kadang sengit. Karena kebersamaan yang terus menerus, selapis demi selapis ‘beda’ itu meluruh. Menyisakan pribadi yang kemudian justru sangat hangat dan menyenangkan. Ingatkah ketika kita mengerjakan laporan praktikum di bawah remang lampu cafe ketika sedang kecanduan berkaraoke dengan tarif yang sangat terjangkau? Ingatkah ketika hari pengumuman hasil ujian skripsi, kita saling memeluk tanpa peduli pada hujan yang sedang mengguyur deras sambil membisikkan ucapan selamat? Aku yakin kau ingat karena kita berdua menitikkan air mata bahagia saat itu.

*‘boncis’ dalam pengertian anak muda Toraja sekarang artinya perempuan nakal, bispak alias bisa pake.

**Untuk anggota BF, kapan kita reuni?


Belantara Borneo, 23 Januari 2010.