Friday, April 30, 2010

ABU-ABU

Apa hakmu menyebut Euglena viridis sebagai binatang?
Hanya karena selembar flagel di ujung anteriornya hingga ia motil?
Lalu kau sebut apa kloroplasnya?
Sekadar pelengkap?
Sejak kapan binatang bisa berfotosintesis?
Mungkin kita sama-sama sok tahunya, tapi aku lebih memilih menyebutnya makhluk hidup saja.
Entah binatang entah tumbuhan.

Apa kuasamu mengatakan virus sebagai benda hidup?
Hanya karena ia bisa berkembang biak atau kawin-mawin dalam istilah spesiesmu?
Lalu kau apakan kemampuannya dipanaskan hingga ratusan derajat Celcius?
Sejak kapan benda hidup sanggup dikristalkan?
Mungkin kita memang sok tahu, tapi aku lebih memilih menyebutnya benda saja.
Entah benda hidup entah benda mati.

Pilih satu! Abu-abu. Hitam atau putih?
Kau bilang dua-duanya sekaligus tidak keduanya.
Itu dia!
Bukan hitam bukan putih tapi abu-abu.
Dan, dia ada.



MUTIARA #129, 29 April 2010

Monday, April 19, 2010

ROMANSA SIKLUS

Semua masih sama rupanya, Kawan!

Jalanan ini masih 5 warna: merah, kuning, ungu, coklat, dan hitam yang saling menindih dan berdempet satu dengan yang lain. Seperti yang dulu, kelimanya masih 3 unsur: lempung, pasir, dan batubara. Licin dan berlumpur di waktu hujan, kering dan berdebu kalau kemarau. Pipa-pipa panjang masih kokoh melintang di sana, meliuk-liuk menjejeri jalanan 5 warna tadi, membelah nipah, jati, ulin, dan entah apa lagi namanya. 5 tahun dan semuanya masih sama.

Delta Mahakam masih bernyamuk, bermonyet, dan berbuaya. Seperti yang dulu, menara-menara rig masih berdiri angkuh di tengah belantara Borneo. Menjejalkan pipa-pipa besi hinga ribuan kaki menembus bumi lalu pindah ke tempat lain untuk tujuan yang sama. Bising mesin-mesin sekian desibel masih memekakkan telinga, lumpur-lumpur Kimia masih gatal dan panas. 5 tahun, Kawan! dan masih sama.

Ranger putih bergaris merah masih rutin mengantar-jemput kita setiap 2 minggu sekali, kadang kurang lebih sering lebih. Tas-tas besar masih setia menemani kita melewati rute yang sama tanpa pernah bertanya, ‘ngapain sih kamu bolak-balik melulu?’ Dan, seperti yang dulu juga, pertanyaan favorit mereka masih yang itu-itu juga, “berapa berat lumpur sekarang?”

Kawan,
Kita serupa molekul air yang terjerat dalam siklus abadi. Mengalir ke tempat yang lebih rendah, menguap ke atmosfer, berkumpul menjadi kumulus, lalu tercurah ke bumi menjadi hujan. Dan barangkali, serupa pula dengan elektron yang ajeg mengedari inti atom dalam orbitalnya masing-masing. Membosankan, bukan?

Aku bertanya kepada air. Adakah ia ingin keluar dari siklusnya menjadi hujan? Adakah ia memilih ketika ikan-ikan ‘meminumnya’ hingga menyatu dengan dagingnya lalu tertangkap oleh jala nelayan untuk kemudian terhidang di meja makan? Sayangnya, aku tak mengerti bahasa air.

Aku lalu bertanya kepada elektron. Adakah ia ingin melompat dari orbitalnya? Adakah ia memilih ketika sejumlah energi membuatnya tereksitasi ke orbital yang lain? Sayangnya lagi, suaranya terlalu mikro hingga aku tak mendengarnya bahkan ketika ia berteriak sekalipun.

Tapi Kawan,
Entahkah air dan elektron itu bosan atau tidak, memilih kah atau tidak, aku percaya selalu ada pilihan untuk direnungkan. Pilihan-pilihan yang barangali tak perlu konsep lompatan kuantum untuk menjelaskannya, namun selalu disediakan oleh hidup.

Dan di sinilah aku berada, pada sebuah titik dalam siklus hidup ketika matahari sedang menuju ke kematian semunya. Larut ke dalam euforia jingga yang kemilau di antara ratusan manusia yang entah datang dari mana dan pergi ke mana. Mencoba mencumbui hidup yang gemar berteka-teki.

Kawan,
Dalam setiap menit yang kita habiskan melintasi stratosfer, setiap kilometer yang kita lewati melindasi pesisir timur Kalimantan, setiap kesempatan yang hilang bersama orang-orang tercinta, dan setiap peluh yang kita teteskan untuk membuka-tutup katup-katup dan menuangkan ribuan pon butiran bahan Kimia ke dalam tangki, ada keindahan yang ditawarkan hidup untuk kita nikmati. Keindahan berwujud siklus dengan 360 sisi untuk diselami.

Bandung, 19 April 2010.



Thursday, April 8, 2010

HITAM


Semua monokrom kauserap musnah.
Maumu apa?
Dominasi?
Kekuasaaan absolut?
Entah!
Namun, tetap saja aku takluk. Bukan kalah, tapi karena aku mau.

Lambda merah taklagi beda dengan biru.
Inginmu apa?
Kepunahan mejikuhibiniu?
Kekasipan pelangi?
Aku tak tahu.
Namun, tetap saja aku manut. Bukan kemenyerahan, tapi karena bianglala memang punya durasi.

Kautangkapi semua sinar menjelma kegelapan.
Apa yang kausembunyikan?
Intan berlian?
Atau malah taik penuh belatung?
Persetan!
Namun, tetap saja aku ingin tahu. Kuakui, gelapmu memesona.

Hadirmu mengokohkan relativitas.
Kaunisbikan batasan stereotipe.
Siapa kau sebenarnya?
Platonik?
Eros?
Philea?
Agape?
Aku taklagi peduli
Anjing! Tetap saja aku cinta.


Salatiga, 8 April 2010; 00:00 ketika hitam begitu memesona

UNTUK SEPENGGAL MALAM

Untuk sepenggal malam ditemani serbuk tembakau yang terbakar menjadi asap yang menghancurkan paru-paru, ketika hati mewujud aksara dan dunia menjelma kata-kata.

Kaubilang cinta tak butuh alasan. “Cinta ya… cinta aja. Pokoknya gitu lah.” Wajahmu kebingungan mencari ekspresi, sedikit malu-malu, dan salah tingkah. Kepalamu menggeleng, barangkali untuk menafikan rasa yang taksanggup kaujamah dengan logika. Senyummu melengkung, mungkin untuk menertawai ‘kebodohan’-mu sendiri.

Aku melarut dalam rasa ingin tahu. Gesturmu misterius entah ingin menjelaskan apa. Ketika cinta takbutuh dijelaskan, lalu apa? Titik. Selesai. Takada lagi penjelasan. Kaupaham ya syukur, nggak ngerti pun ya terserah. Begitu mungkin arti senyummu.

Kaubilang kisahnya sudah selesai. “Sudah ah! Kenapa sih tanya-tanya?” Bibirmu manyun membahasakan ketaknyamanan. Kaumerasa terintimidasi. Seperti ada desakan dalam setiap pertanyaanku yang membuatmu mengerutkan kening.

‘Kebodohan’-mu menulariku. Aku pun tak punya penjelasan untuk apa aku bertanya. Seperti cinta yang kaubilang tak butuh alasan, pertanyaan pun barangkali juga tak butuh alasan. Bukan bahwa kemudian cinta menjadi sama dengan pertanyaan, namun seberapa kontekstualkah alasanku bertanya? Mungkin cukup jika kubilang ‘ingin tahu aja’.

Untuk sepenggal malam yang ditelusupi angin dingin yang menusuk tulang, ketika memori diputar kembali dan masa lalu berjumpa kekinian.

Kaubilang cinta tak berbanding lurus dengan kebersamaan. Mengisahkan masa lalu tentangnya sama saja dengan mengorek luka lama yang telah susah payah kautransformasi menjadi keikhlasan. Luka yang kausembunyikan di sebalik senyummu, yang juga masih menyemburatkan sisa-sisa rindumu padanya.

Aku bilang mencinta adalah melepaskan. Ketika rasa sakit sanggup terlisan, keikhlasan akan mengganti selapis demi selapis. Kau sepakat ketika kubilang menikmati sakit hati itu indah, khususnya bagi manusia yang katanya bertipe melankolis.

Kaubilang urusan hati bukan perkara mudah. Memahami sesuatu yang tak pernah gamblang terjelaskan hanya sanggup membuatmu membaca isyarat. Sesuatu yang memenjarakanmu dalam tanya yang takpernah sanggup kaujawab sendiri.

Aku protes. “Segitu doang perjuanganmu?” Bagiku, begitu bodohnya kau rela pasrah dalam sesuatu yang takpernah kautahu pasti apa, sementara jiwamu berteriak-teriak meminta jawaban.

“Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kuperjuangkan.” Kau bereaksi dengan mata mengawan. Tak ada kesedihan di sana, pun takada kemenyerahan. Sesuatu yang kemudian kupahami sungguh takmudah bagimu.

Untuk sepenggal malam yang diintipi ketakutan, ketika gelap semakin pekat dan dini hari mendekati ujung durasi. 

Ada yang bilang laki-laki hanya satu kali jatuh cinta. Yang sebelum dan sesudahnya hanyalah bayang-bayang. Aku taktahu sudahkah kaujatuh cinta untuk yang sekali itu, ataukah kelak kauakan jatuh cinta lagi hingga teori itu terpatahkan. Ada ketakutan dalam pandangan matamu.

Suara adzan dari masjid mulai menggema. Seperti subuh yang segera akan terganti pagi, barangkali durasimu dengannya memang telah selesai.

Untuk sebuah jiwa yang terperangkap dalam kerangkeng indah bernama cinta.


Salatiga, 3 April 2010.