Monday, March 8, 2010

KEPADA 'S' DAN 'S'

Dear ‘S’,
Mengapa seorang bapa tidak akan memberi ular beracun kepada anaknya yang meminta roti?


Aku mengenal seseorang yang tahu persis jawabannya. Seorang (anak) perempuan yang meminta roti kepada bapanya. Roti yang semasa hidupnya pernah menjadi satu-satunya permintaan yang ia miliki. Permintaan yang menahun pula sempat tidak dikabulkan dan membuat perempuan ini bertanya-tanya.

Sembilan tahun. Durasi yang bagi sebagian orang mungkin akan disebut terlalu lama untuk sebuah gelar sarjana. Rentang waktu yang bisa diasosiasikan dengan kebodohan dan kemalasan. Tapi, buatku tidak sesederhana itu.

Aku mengenal perempuan ini sebagai salah satu manusia paling cerdas yang pernah kujumpai seumur hidup. Memang, tidak ada standar baku yang bisa dipakai untuk mengukur seseorang cerdas atau tidak, tapi ketika mengenal seseorang yang dengannya kau bisa mengobrolkan topik apa saja, tidakkah itu cukup untuk menyebutnya cerdas? Sekali lagi, ini masalah siapa yang menilai, tapi bagiku, perempuan ini memang sangat cerdas. Kalau kemudian ia butuh waktu ‘lama’ untuk selembar ijazah sarjana, itu bukanlah ukuran untuk menyebutnya bodoh. Tak juga bisa dibilang malas, karena aku tahu ia tak pernah berhenti berusaha.

Di masa-masa akhir 9 tahun itu, aku menyaksikan bagaimana ia selalu tersenyum kepada setiap orang yang menanyainya ‘kapan lulus?’, bagaimana ia tak pernah merasa tersinggung dengan sindiran orang-orang yang mengatakan ‘katanya pintar, kok kuliahnya lama?’, dan bagaimana ia tak pernah mengeluh dan tetap menjalani hidupnya seolah-olah tidak ada masalah.

Ketika ancaman DO menunggu di depan matanya, tak sekalipun ia surut dan menyerah. Ketika berkali-kali mengganti topik skripsi yang berkali-kali pula ditolak dosen pembimbing, tak sekalipun ia kapok dan angkat tangan. Suatu malam, dalam himpitan kehidupan yang seperti itu, ia kemudian meneleponku. Bukan untuk sebuah sesi curhat panjang penuh air mata. Bukan untuk keluh kesah tentang roti yang diganti ular beracun. Tapi, untuk sebuah pertanyaan sederhana yang bermakna sangat dalam bagiku. “Bagaimana kabarmu?” Begitu ia bertanya.

Ini bukan sejenis pertanyaan standar sebagai pembuka perbincangan, tapi untuk sebuah cerita yang memang ia ingin dengar dariku. Kisah tentang sahabatnya yang terpisah daratan dan lautan demi mencari sebentuk hidup yang lebih bermakna. Saat itu, hidupku baik-baik saja, bahkan bisa dibilang jauh lebih baik setelah hampir dua tahun terdampar dan kehilangan arah hidup di pesisir timur Kalimantan. Berawal dari pertanyaan sederhana itu, kami kemudian mengobrol hingga subuh. Tentang kebersamaan kami di masa lalu, juga tentang hidupku selama dua tahun terakhir. Ketika aku kemudian balik bertanya, ia bilang bahwa ia baik-baik saja. “Aku hanya ingin memastikan hidupmu juga baik-baik saja.” Begitu ia menjawab kemudian.

Satu hal yang kemudian aku sadari adalah bahwa perempuan ini memiliki empati, ketulusan, dan kerendahan hati yang tak tertandingi. Ketika hidupnya menjadi abu-abu dan penuh ketidakjelasan, ia masih sempat menanyakan hidupku. Ketika cobaan hidup seakan tak berhenti menimpanya, ia masih punya waktu untuk mencari tahu apakah aku baik-baik saja. Masih punya energi untuk berbagi keceriaan hidup dan canda tawa dengan kami, sahabat-sahabatnya, yang kerap datang merecoki. Aku kemudian mengukur diri sendiri dan mendapati sosok yang tidak ada apa-apanya. Manusia yang tak pernah berhenti mengeluh pada hidup yang sesungguhnya baik-baik saja. Manusia yang begitu kikir mengucap syukur pada hidup yang telah banyak memberi.

Ah… Sepertinya aku mulai melantur. Tapi begitulah yang selalu terjadi ketika aku mengisahkan perempuan ini. Selalu saja tak ada yang pernah cukup untuk diceritakan.

“Menurutmu, kira-kira masalahnya di mana?” Aku bertanya ketika mengunjunginya suatu kali, sekaligus untuk sebuah ‘reuni’ kecil-kecilan dengan sahabat-sahabat lama di kampus. Aku tahu dia cerdas. Semua teman yang mengenalnya dengan baik kurasa akan sependapat denganku. Tapi, ketika hanya cerdas saja menjadi tidak cukup, lalu apa? Malas? Tidak juga. Aku tahu dia bukan tipe orang yang gampang menyerah. Bahkan untuk sekadar mengeluh pun sangat jarang.

Ia menghela napas kemudian menjawab. “Mungkin aku salah jurusan.” Sedikit tersenyum ia sesudahnya. Sama sekali tidak bermaksud untuk mencari kambing hitam atas masalah yang ia hadapi. Tapi barangkali, itulah jawaban terbaik yang ia punya. Mungkin sama halnya ketika seorang pelukis hebat mendadak kesulitan berekspresi ketika beralih profesi menjadi penyanyi. Sama-sama seni, tapi beda media. Jadi, sepertinya ini soal talenta. Jika pelukis itu masih punya pilihan untuk kembali ke dunia di mana ia bisa berekspresi dengan baik, perempuan ini tidak memiliki pilihan seperti itu. Ada kondisi-kondisi di mana kita tidak bisa begitu saja meninggalkan pilihan yang sudah kita buat, bukan?

Begitulah. Perempuan ini kemudian memilih untuk bertahan. Menggali semakin jauh ke dalam dirinya sendiri. Mencari tahu misteri apa yang menunggu untuk disingkap, mengikisi satu demi satu selaput yang menyelubungi sebuah rahasia entah apa. Apa yang salah? Kenapa bapa tak kunjung memberiku roti yang tak pernah luput menjadi doa?

Dalam kondisi seperti itu, muncul sebuah masalah baru. Masalah klasik yang tak bisa ditutupkan mata: uang. Ia membutuhkannya untuk membeli sejumlah alat penelitian yang mau tidak mau harus ada. Sementara, uang di rekeningnya tak lagi seberapa. Hanya cukup untuk biaya hidup sejumlah hari ke depan. Ia menimbang-nimbang dan akhirnya memutuskan untuk tidak lagi membebani siapapun. Tak juga ia mencari pinjaman dengan niat tidak ingin merepotkan siapa-siapa. Satu kata yang kemudian ia resapi hingga ke atom-atom penyusun tubuhnya adalah ‘kepasrahan’. Berbeda tipis dengan kemenyerahan, tapi sangat berbeda motivasi dan aplikasinya. Iseng, ia mengecek saldo di ATM-nya. Dengan ekspresi bahagia yang tak terbahasakan, ia seakan tak percaya melihat saldo rekeningnya yang ternyata sudah bertambah. Sebuah kabar kemudian datang dari kakaknya, “Dek, ada sedikit uang aku transfer. Mudah-mudahan bisa bermanfaat.” Sejumlah uang yang membuat perempuan ini terberangus dalam perasaan haru yang hanya sanggup terbahasa lewat air mata. Ia tahu dari mana kakak perempuannya mendapatkan uang itu. Sejumlah rupiah sebagai hadiah dari para tetamu untuk pernikahan kakaknya di kampung halaman sana. Sejumlah rupiah milik sepasang pengantin baru sebagai bekal untuk memulai kehidupan rumah tangga, namun berubah prioritas ketika ‘menduga’ adiknya lebih membutuhkan. Dugaan yang merupakan bentuk lain dari cinta seorang kakak perempuan kepada adiknya yang membuatnya sanggup menomorduakan keperluan rumah tangga barunya demi seorang adik yang barangkali sedang membutuhkan.

Alam berbahasa. Bapa menyahuti doa. Bermodalkan uang kiriman yang ‘tidak diminta’ itu, perempuan ini kemudian berhasil menyelesaikan skripsi hingga lulus ujian. Saat kebaktian syukur atas kelulusannya, ia menyampaikan bahwa pengalaman selama 9 tahun itu telah memberinya kesempatan untuk lebih mengenal bapanya. (Anak) perempuan yang menggumuli perbedaan roti dengan ular beracun.

Setelah kata-kata sambutan itu, ia kemudian mengajak kami yang hadir untuk menyanyikan sebuah kidung yang indah.

“Apa yang kau alami kini mungkin tak dapat engkau mengerti.
Satu hal tanamkan di hati indah semua yang Tuhan b’ri.
Tuhanmu tak akan memberi ular beracun pada yang minta roti.
Cobaan yang engkau alami tak melebihi kekuatanmu.
Tangan Tuhan sedang merenda suatu karya yang agung mulia
Saatnya kan tiba nanti, kau lihat pelangi kasih-Nya.”



====================================


Dear ‘S’,
Apa yang mewujud setelah gelap memekatkan subuh dan dingin membekukan dini hari? Apa yang menampak sesudah hujan badai membasahkan sore hari dan menyisakan gerimis?


Aku mengenal seseorang yang tahu persis jawabannya. Seorang laki-laki yang mengakrabi gelap-dinginnya dini hari dan mencumbui hujan-badai sore hari.

Di usianya yang ke-19, yang bagi sebagian orang adalah masa-masa awal menjadi mahasiswa, ia berpamitan kepada ibunya untuk merantau, memenuhi tantangan hidup untuk segera bekerja. Sebuah pilihan yang sulit ketika harus menggelengkan kepala kepada tawaran kuliah demi niat untuk bisa segera menghasilkan duit dari keringat sendiri. Waktu itu, ia baru saja lulus dari sebuah program diploma jurnalistik.

Aku mengenal laki-laki ini sebagai salah satu manusia paling tangguh yang pernah kujumpai seumur hidup. Berpindah dari satu cobaan ke cobaan yang lain, untuk kemudian menjadi pemenang dari satu ujian ke ujian yang lain.

Di perantauan pertamanya, ia mendapat pekerjaan sebagai wartawan. Selama bertahun-tahun, ia tinggal di tempat yang sekaligus merupakan kantor dari sebuah perusahaan surat kabar di mana ia bekerja. Tidur beralaskan koran bekas, makan seadanya dari gaji yang tidak seberapa, dan menunggui kamar mayat hampir setiap malam demi berita-berita kematian yang harus segera dijadikan artikel. Ketika selesai dengan berita-berita yang harus segera dimuat, ia merelakan waktu tidurnya untuk mengetik naskah-naskah cerita yang ada di kepalanya, kadang di komputer kantor kadang di tempat persewaan.

5 tahun sesudahnya, ia memutuskan untuk menikahi teman kuliahnya. Sebuah keputusan yang bisa dibilang nekat karena tak ada cukup uang sebagai bekal menjalani kehidupan berumah tangga. Namun, ia meyakini bahwa setiap keputusan yang dilandasi niat baik dan ketulusan akan mendapatkan kemudahan. Saat itu, ia sudah dipindahkan ke kota lain dengan pekerjaan yang masih sama. Di kota yang baru, ia pun tetap tinggal di kantor surat kabar tempatnya bekerja bersama dengan beberapa rekan kerjanya yang masih bujang. Setiap akhir pekan, ia menempuh perjalanan dengan bis selama 4 jam untuk pulang ke rumah istrinya yang saat itu masih tinggal dengan ibunya di kota lain. Jatah libur yang cuma setiap hari Sabtu dimanfaatkan sebisa mungkin untuk tidur dan menghabiskan waktu dengan istrinya.

Hidup dengan ritme seperti itu selama bertahun-tahun membuatnya berpikiran untuk membawa istrinya ke kota di mana ia bekerja. Masalahnya adalah… rumah. Dengan kebutuhan yang semakin meningkat setelah menikah, tentu tidak sedikit dana yang dibutuhkan untuk hidup di sebuah kota besar. Boro-boro membeli rumah, untuk mengontrak saja sepertinya tidak memungkinkan.

Dalam masa itu, ia mulai mencoba-coba menjadi penulis fiksi. Tak ada peluang lain baginya untuk mencari uang tambahan selain dari menulis. Alasan ekonomi memang kemudian menjadi motivasi terbesarnya dalam menulis. Motivasi yang jujur dan apa adanya melampaui keinginan menjadi penulis idealis yang berkarakter. Ia pernah bilang padaku bahwa motivasi apapun yang kaupunya untuk menulis tidaklah menjadi masalah selama kau berusaha menghasilkan karya yang jujur dan bagus.

Ada sesuatu yang langsung membekas di kepalaku ketika pertama kali mengenal laki-laki ini. Sebagai seorang penulis yang sudah ‘punya nama’, ia tetap dengan ramah dan rendah hati membalasi setiap pesanku yang masuk ke akun facebook-nya di tengah-tengah kesibukannya yang padat. Begitu pula kepada orang-orang lain. “Pujian dan caci maki sudah saya terima dalam porsi yang sama. Tidak berarti bahwa keduanya tidak berpengaruh lagi, namun ada tidaknya pujian dan caci maki itu, saya tetap akan menulis.” Begitu ia pernah bilang padaku.

Suatu kali, di bulan Ramadhan tahun lalu, aku menyaksikan bagaimana ia menjadi pribadi yang begitu patut diteladani. Bagaimana ia mengawali puasanya dengan ‘hanya’ segelas air putih, lalu bekerja seharian tanpa kekurangan energi dan tidak bersungut-sungut, kemudian berbuka dengan makanan seadanya. Bagaimana setiap akhir pekan ia harus menempuh perjalanan selama 4 jam dengan bis ekonomi ke rumah mertuanya di kota lain untuk menjenguk istrinya yang sedang mengandung, kemudian kembali lagi ke rutinitasnya setiap Minggu dini hari. Sementara di saat yang sama, ia sedang menyiapkan sebuah buku tentang Muhammad yang tentu saja tak mudah untuk dituliskan. Aku menyaksikan bagaimana ia tak pernah kehilangan senyum dan keceriaan hidup di dalam kondisi yang serba sempit dan terbatas seperti itu. Aku kemudian menimbang diri sendiri dan mendapati sosok yang tidak ada apa-apanya. Manusia yang begitu mudah bersungut-sungut pada hidup yang sesungguhnya baik-baik saja. Manusia yang begitu gemar menyerah pada hidup yang begitu banyak memberi kesempatan.

Ah… lagi-lagi aku melantur. Tapi begitulah yang selalu terjadi ketika aku mengisahkan laki-laki ini. Selalu saja tak ada yang pernah cukup untuk diceritakan.

Ketika mulai berpikir-pikir untuk mengajukan kredit rumah, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa memiliki rumah memang bukan perkara mudah. Harus ada sejumlah uang muka, belum lagi cicilan setiap bulan yang harus dibayarkan ke bank. Namun, berbekal niat tulus untuk mendekatkan diri kepada Sang Empunya Hidup, ia meyakini bahwa kemudahan akan membanjiri kemudian. Dan, beberapa hari sebelum ia menandatangani akad kredit pemilikan rumah, seseorang mengirimkan SMS yang berisi ucapan selamat buat novelnya yang menjadi pemenang pertama di sebuah lomba penulisan berskala nasional. Dengan uang hadiah dari lomba itu, ia kemudian bisa membayar uang muka yang disyaratkan oleh bank untuk sebuah rumah mungil di atas bukit di luar kota dengan pemandangan yang menakjubkan. Selama bertahun-tahun kemudian, laki-laki ini hidup bersama istrinya di rumah mungil itu. Berangkat setiap pagi dengan angkutan kota yang berkali-kali ganti trayek. Menghemat rupiah demi rupiah yang bisa ditabung agar kelak bisa membeli motor.

Cobaan tak kunjung selesai. Dua tahun berturut-turut, istrinya mengalami keguguran. Dua kali pula harus menjalani kuretase yang sakitnya tak tertahankan. Di suatu subuh yang membekukan tulang, ia harus berjuang menahan air matanya agar tak tumpah keluar demi menyaksikan istrinya yang kesakitan karena pil penggugur kandungan yang harus diminumnya. “Akang puterin tilawah, ya” Ucapnya dengan segenap kekuatan yang ia punya. Segenap cinta yang ia miliki pada perempuan yang sedang diringkus rasa sakit luar biasa agar tidak takluk pada kemenyerahan. Ia tersenyum, berusaha meyakinkan istrinya bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya.

Setahun sesudahnya, di tahun ke-5 pernikahan mereka, seorang bayi cemerlang hadir di rumah mungil itu. Seorang bayi yang lahir dari perjuangan tak kenal menyerah orangtuanya, dari ketulusan cinta ayah-ibunya. Anak laki-laki yang kemudian mengantarkan ayahnya mencapai posisi penting di sebuah perusahaan penerbitan di usianya yang belum lagi 30 tahun.

Sebab fajar akan menyingsing setelah gelap memekatkan subuh dan dingin membekukan dini hari. Dan, pelangi akan melengkungi langit sesudah hujan badai membasahkan sore hari yang menyisakan gerimis.


====================================


Dear ‘S’ dan ‘S’,


Kelak, ketika hidup mengantarkan kalian ke tempat yang lebih luas dan beraneka rupa, mungkin akan kalian temui orang-orang hebat yang mengagumkan. Orang-orang yang tak pernah lekang menumbuhkan semangat dalam diri kalian untuk bisa menjadi serupa dengan mereka.


Aku mengenal dua manusia yang seperti itu. Manusia yang menjadi sumber kekuatan ketika hidup melemahkan, manusia yang melimpah dengan ketulusan dan kerendahan hati, manusia yang didekati kemewahan hidup namun memilih untuk menjadi sederhana, manusia yang tak pernah kehabisan kasih sayang untuk ditaburkan dan ditebarkan. Dua manusia yang tak akan pernah berada jauh, yang akan membesarkanmu dengan penuh cinta.



Kutuliskan dengan mata yang berkaca-kaca kepada dua anak kembar beda rahim, tentang dua manusia terhebat yang pernah kukenal. Cinta, terkadang ingin berbahasa lewat air mata.




Rantepao, 24-28 Februari 2010

Sunday, March 7, 2010

?

To those who asked me what I did, I would have liked to say I’m a dreamer. Dreaming for nothing, for every single breath called happiness.

And for all happiness I’ve been achieving so far, I would like to confess that the more you give the more you will get, that unleashing is much more satisfying than possessing. And in the end, that happiness doesn’t spread somewhere out there. It exists uncountable inside of you.

To those who asked me who I was, I would prefer to say I’m a seeker. Seeking for emptiness, for every single step called journey.

And for all journeys I’ve been doing so far, I would like to admit that the more places you go, the more you will find yourself being trapped in a cycle. And in the end, that you will realize you’re not going anywhere.

Keep on dreaming, keep on seeking. The more you dream, the more you seek, the more questions and curiosity you will have.