Monday, November 30, 2009

CERMIN

Seandainya kau bisa bicara, mungkin kau akan bilang betapa aku menyenangkan. Atau malah antonimnya; begitu aku menyebalkan. Namun, kau memang tak bisa bicara. Setengah mati aku membaca isyarat, tak kunjung bersua simpulan. Entah menyenangkan entah menyebalkan.

Andai saja kau bisa menulis, barangkali akan kau tulis puluhan puisi dan prosa yang kuinspirasi. Atau justru sebaliknya; deretan kekecewaan dan caci maki karena membuatmu hilang harapann. Tapi, kau memang tak bisa menulis. Putus asa aku mereka-reka, tak juga berjumpa aksara. Entah inspiratif entah pematah semangat.

Dan kini, kau memang bicara. Kau menulis. Kau bilang aku luar biasa padahal setahuku aku biasa-biasa saja. Kadang kau menyebutku setan sementara aku yakin malaikat menitis dalam diriku. Kau menulis bagaimana aku menginspirasimu namun aku malah merasa tak pernah memberimu apa-apa. Pernah kau menuliskan Herodes: Si pembantai bayi di Betlehem sebagai diriku padahal aku menganggap diriku adalah reinkarnasi Simon dari Kirene: Si pemikul salib Yesus. Aku lelah menerka. Entah setan entah malaikat.

Ada cermin. Entah aku, kau, atau ruang di antara kedua sosok itu. Sayangnya, cermin itu tak tersentuh panca-indra; anti-retak, pecah, apalagi diganti. Entah siapa objek entah siapa bayangan. Aku, kau, atau malah tidak keduanya.


Akhir November 2009 di tepi gerimis