Thursday, September 27, 2007

UNIVERSITAS KEHIDUPAN

Hidup tak pernah berhenti menghadirkan sesuatu yang tak terduga. Berbagai kejadian, orang, benda dan entah apa lagi bentuknya muncul sesuka hatinya. Mungkin kebetulan. Tapi, yang kualami kali ini sepertinya bukan sekedar kebetulan.

Sebuah cerpen sederhana (dilihat dari aspek jumlah kata yang menyusunnya) berhasil menggoda otakku untuk merenungkan isinya yang tak sesederhana jumlah kata-katanya.

Sudah beberapa bulan terakhir ini, aku berusaha berhenti mempertanyakan beberapa hal. Cinta, Tuhan, jati diri dan tujuan hidup. Aku berusaha menganggap bahwa semua itu sudah cukup. Tak perlu lagi dipertanyakan atau dicari jawabannya. Buang waktu, energi dan duit karena ternyata aku ‘tak mendapatkan apa-apa’.

Selama masa ‘berhenti’ tersebut, hidup yang kujalani menjadi lebih sederhana dan lebih ‘manusiawi’. Paling tidak, aku tak sering lagi tidur subuh karena pikiran yang tak mau berhenti mengembara. Tak kutemui lagi asbak rokok yang kepenuhan di lantai kamar ketika aku bangun siang harinya. Tak lagi kuhabiskan waktu setelah makan siang hingga sore hari di toko buku untuk mencari buku-buku meditasi dan spiritualitas, kemudian dilanjutkan dengan membolak balik setiap halamannya hingga larut malam. Dan, yang paling terasa adalah aku ‘merasa’ lebih menikmati hidup.

Kembali ke masalah cerpen. Pencarian cinta dan Tuhan dianalogikan dengan mengupas lembar demi lembar sebutir bawang merah. Ketika mata sudah memerah mengalirkan air mata ke pipi yang menghangat, jari-jari dan kuku merekah karena penetrasi minyak atsiri ke dalam sel-selnya dan lembaran terakhir bawang merah sudah terlalu kecil untuk bisa dikupas, ternyata tak ada yang tergenggam. Yang tersisa hanya mata yang perih, jari tangan yang terasa membara dan aroma menyengat. Singkat kata, cinta dan Tuhan bukanlah penjelasan, tapi pengalaman. Bukan pula tujuan, tapi perjalanan.

Sepintas lalu aku sangat setuju dengan kesimpulan tersebut. Sepanjang hidupku, belum kutemukan definisi sempurna tentang cinta dan Tuhan. Definisi hari ini bisa berbeda dengan lima hari yang lalu, meskipun keduanya sama-sama benar (tapi mungkin juga salah).

Aku lalu meyakini bahwa pengalaman dan perjalanan lah cinta dan Tuhan itu. Setiap orang bisa mengalaminya dengan cara yang berbeda. Penjelasan hanyalah usaha untuk menggambarkan pengalaman, namun tak cukup berhasil merepresentasi yang sesungguhnya. Pengarang cerpen itu sepertinya benar bahwa penjelasan dan pengalaman adalah dua hal yang berada pada ranah yang tak sama. Dengan kata lain, pengalaman tak bisa digambarkan melalui penjelasan (baca: kata-kata).

Keyakinan itu membuatku ‘berhenti’. Menganggap bahwa aku sudah paham. Tak perlu lagi bertanya dan mencari. Jika hidup (dalam hal ini pencarian cinta dan Tuhan) dianggap sebagai sebuah universitas, aku sudah lulus dengan nilai yang memuaskan.

Rasa nyaman yang ditimbulkan oleh anggapan bahwa aku sudah menjadi seorang ‘sarjana kehidupan’ berjalan menjadi rutinitas. Aku menjadi apatis terhadap hal-hal yang berbau pencarian dan perjalanan tadi. Seolah tak ingin lagi melakukan keduanya.

Setelah membaca cerpen tersebut, sebuah pemikiran baru merasuki otakku. Aku mulai meragukan keyakinan yang beberapa waktu terakhir ini mengkristal dalam pikiranku. Benarkah sudah waktunya berhenti bertanya dan mencari? Cukupkah pengalaman dan perjalanan yang telah kutempuh selama ini?

Dua pertanyaan ini berhasil merobohkan pertahananku (sepertinya dalam hal ini berbeda tipis dengan keangkuhan). Aku lalu mencoba bertanya jawab dengan diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya sudah kugumuli dan (menurutku) sudah ketemukan jawabannya. Namun, ternyata aku tak bisa menjawab sama sekali.

Insomnia kembali menjadi akibatnya. Puluhan batang rokok kembali menjadi teman setiaku. Buku-buku dan artikel filosofis tentang hidup kembali menjadi bacaan favorit. Keinginan untuk bertanya dan mencari bangkit lagi dalam diriku. Aku mulai meragukan seberapa besar pemahaman yang kuberikan kepada cinta dan Tuhan sebagai pengalaman dan perjalanan. Namun, ada yang berbeda kali ini. Aku merasa lebih tenang dan sabar menjalaninya. Tak lagi obsesif dan menggebu-gebu seperti dulu.`

Sepertinya, menuntut ilmu di universitas kehidupan memerlukan waktu yang tak terbatas. Selama jiwa masih terperangkap dalam realitas fisik, aku masih berstatus mahasiswa. Aku ingin mempelajari sebanyak mungkin materi kuliahnya dengan harapan pada saatnya nanti aku akan lulus dengan predikat cum laude.

~ Inspired by “Semangkok Acar untuk cinta dan Tuhan” (Dewi Lestari, www.dee-idea.blogspot.com) ~

Kutai Rig-3, Well Mutiara #90, 26-27 September 2007