Friday, May 7, 2010

MENGAPA JINGGA

 
 
Mengapa jingga jika merah adalah spektrum dengan lambda terbesar?

Aku tak pernah tahu apa yang mereka sebut ‘hidup yang berwarna’. Kecuali jika hidup yang terus berganti – kadang senang, sedih, atau biasa-biasa saja – yang mereka maksud, maka barangkali aku tahu sedikit seperti apa hidup yang berwarna itu. Bahwa hidup tak melulu bahagia, tak juga selalu menderita. Keduanya datang bergantian atau kadang bersamaan hingga hidup menjadi biasa-biasa saja.

Namun, ketika warna-warna menjadi representasi hidup, aku benar-benar tak paham lagi. Mereka menyebut hitam ketika menunjuk kepada hidup yang menurut mereka tidak sejalan dengan norma hidup yang baik. Ilmu hitam, golongan hitam, dan entah apa lagi. Sementara, mereka juga bilang kalau hitam adalah simbol untuk sesuatu yang elegan dan berprinsip. Jadi, apakah ilmu dan golongan hitam kemudian menjadi sama dengan sesuatu yang elegan dan berprinsip? Barangkali iya. Karena ini bukan tentang baik-buruk atau benar-salah.

Ada juga yang mengatakan biru sebagai warna hati yang sedih padahal setahuku hati berwarna merah kecoklatan. Mengharu biru, katanya. Sementara, ia berkali-kali bilang bahwa biru itu seksi dan romantis. Apakah ia mau bilang kalau sedih itu seksi dan romantis? Bisa jadi. Lagi-lagi karena ini bukan tentang baik-buruk atau benar-salah.

Lalu, adakah hidup yang disebut jingga?


∞∞∞∞∞


Mengapa jingga menjadi warna matahari tiap kali siang mengawali dan mengakhiri durasinya?

Aku tak pernah tahu apa yang menunggu di setiap ujung perjalanan. Sama tak tahunya berapa besaran jarak dan waktu untuk setiap perjalanan itu. Kecuali bahwa setiap perjalanan punya awal dan akhir, aku tak benar-benar paham ada misteri apa di dalam setiap perjalanan.

Jangan bertanya padaku ‘tinggal di mana?’. Bukan karena aku tak mau memberi tahu atau khawatir suatu saat kau mendatangiku, tapi sungguh aku bingung bagaimana harus menjawabmu. Dalam 5 tahun terakhir, aku menjadi bias dengan definisi ‘tempat tinggal’. Setidaknya, ada 4 nama tempat berbeda yang akan aku sebutkan untuk menjawab pertanyaanmu tadi. Itupun bergantung pada pengertianmu tentang tempat tinggal. Jika yang kaumaksud adalah tempat di mana harta bendaku – yang kupahami sebagai pakaian dan buku-buku – berada, maka Toraja, Balikpapan, dan Bandung adalah jawabannya. Jika tempat tinggal bagimu adalah tempat di mana kau kerap melewatkan malam-malammu untuk tidur, maka Salatiga akan menambah ketiga nama tempat tadi. Namun, jika kau bertanya tentang tempat yang selalu membuatku ingin kembali, maka Toraja, Salatiga, dan Bandung adalah jawabannya. Memilih satu di antara keempat tempat tadi selalu membuatku bingung. Dan, barangkali akan aneh jika kujawab keempat-empatnya sekaligus tanpa memberimu sedikit penjelasan.

Tak pernah aku menyengaja untuk menjadi ‘nomad’ seperti itu. Bukan pula untuk gagah-gagahan biar dibilang keren. Sama sekali tidak. Bukankah sejarah peradaban manusia bergerak dari nomaden menjadi menetap? Yang kalau boleh disimpulkan bahwa menetap adalah lebih baik daripada berpindah-pindah? Hidup serupa ini adalah konsekuensi dari perkawinan antara mimpi dan realita. Tentu saja ada pilihan-pilihan di dalamnya, namun bukankah pilihan selalu disertai konsekuensi? Dan hingga detik ini, aku tak tahu pasti pilihan mana yang berkonsekuensi paling ‘menguntungkan’.


∞∞∞∞∞


Mengapa jingga dipilih sebagai warna baju pelampung dan tanda penunjuk jalan pengganti lampu?

Dulu, aku tak pernah suka dengan perjalanan. Duduk berjam-jam di dalam bis atau mobil melintasi jalan darat adalah serupa neraka bagiku. Aku (dulu) sangat bermasalah dengan aroma solar dan bensin. Kau tahulah maksudku. Kadang, ingin rasanya bis yang kutumpangi mengalami tabrakan atau kerusakan parah hingga perjalanan bisa segera berakhir. Untungnya, harapan sintingku itu tak pernah terwujud. Berjam-jam sebelum memulai perjalanan pun, rasanya sudah ingin muntah mengeluarkan semua isi perut. Tentu saja tidak termasuk organ-organ tubuh di dalamnya. Dan, aku masih harus tersiksa berhari-hari sesudah perjalanan itu benar-benar berakhir untuk memulihkan lambung yang mendadak tak mau kompromi menerima sembarang makanan dan minuman.

Kini, perjalanan darat adalah serupa surga. Kesempatan bagiku untuk menciptakan dunia sendiri, entah kaubilang mengkhayal, merenung, atau mencari inspirasi. Intinya, aku (kini) sangat menikmati setiap kali memandangi pepohonan yang seolah berlarian di sepanjang tepi jalan, apalagi jika diiringi hujan yang bermarathon.

Aku tak pernah tahu ke mana perjalanan ini akhirnya akan membawaku. Selain bahwa rute yang kutempuh bolak-balik itu selalu hampir sama, aku tak benar-benar paham mengapa setiap perjalanan itu selalu berbeda.


∞∞∞∞∞


Puluhan – bahkan mungkin ratusan – jingga telah dan akan kusaksikan dalam setiap perjalanan. Jingga penanda fajar dan petang, jingga yang seberkas dan yang bertumpuk-tumpuk, jingga yang tertusuk puncak-puncak gunung, yang menyelimuti pepohonan atau gemawan, dan jingga dalam rupa-rupa yang lain. Selalu tak pernah kongruen, namun selalu pula ia ada. Seolah ingin berbahasa bahwa ia lah warna yang terlihat paling terang dalam kegelapan, seperti alasan mengapa baju pelampung dan tanda penunjuk jalan memilihnya. Dan untuk alasan yang sama pula matahari memilih jingga untuk fajar dan petang.


Bandung, 7 Mei 2010