Sunday, February 28, 2010

HANDPHONE

Seorang laki-laki tiba-tiba muncul di depanku. Kaos, jeans, dan sepatu sporty masa kini. Badannya tegap, kira-kira sedikit lebih tinggi dariku. Ia membawa ransel hitam di punggungnya dan sebuah travelling bag besar yang kemudian ia letakkan ke lantai. “Hai, kenalkan…” Ia berjalan ke arahku, mengulurkan tangan lalu menyebutkan nama dengan mantap. Aku membalas sambil tersenyum.

“Yang itu masih kosong kah?” Ia bertanya sambil menunjuk salah satu dari 3 ‘sub-kamar’ yang ada dalam ruangan ini. Sebuah kamar luas dengan sofa empuk di depan TV, meja makan bundar 4 kursi, dapur mini lengkap dengan kitchen set, dan 3 ‘sub-kamar’ berisi kasur paling empuk yang pernah kutiduri. Kamar dengan nomor pintu 513 di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta Selatan.

Aku mengiyakan. Ia kemudian pamit untuk menaruh tas di ‘sub-kamar’ paling besar dalam kamar itu lalu kembali ke sampingku di depan TV yang tengah menayangkan sebuah iklan handphone dengan tag line yang sangat populer. Kami mengobrol sebentar kemudian ia mengajakku ke kamar depan untuk berkenalan dengan beberapa orang.

Laki-laki ini adalah satu dari 15 orang yang hari itu bertemu untuk pertama kalinya sebagai rekan sekerja. 6 minggu sesudahnya, kami, berlima belas, tinggal di hotel yang sebagian besar dihuni oleh ekspatriat itu. Setiap hari kerja, kadang bahkan Sabtu dan Minggu, kami akan seharian berada di sebuah kantor tak jauh dari hotel itu, berkutat dengan teori-teori pengeboran minyak, cara menghitung volume lubang sumur, dan mencampur-campur segala macam jenis bahan Kimia untuk sesuatu yang kemudian disebut ‘lumpur’. Malamnya, kami sibuk dengan PR yang bertumpuk-tumpuk. Saling mencontek satu sama lain, tanpa dibumbui aroma kompetisi. Begitu juga saat ujian tertulis di setiap akhir pekan.

Masa-masa awal training yang disebut ‘mud school’ itu adalah rentang waktu di mana aku tak pernah berhenti terperangah. Bagaimana tidak? Dalam beberapa hari pertama, aku berkenalan dan tinggal bersama sarjana-sarjana hebat jebolan universitas ternama negeri ini. Setidaknya di dunia pengeboran minyak. Sebutlah ITB dan UNPAD Bandung, kemudian UGM dan UPN Jogja, lalu ada Trisakti Jakarta. Bahkan, ada yang lulusan S2 dari Rusia. Tak sedikit yang kemudian mengernyitkan kening dan bertanya ‘di mana itu?’ ketika aku mengatakan ‘Satya Wacana, Salatiga’. Untung, ada salah satu yang kemudian nyeletuk, ‘Elektro, yah?’ Ah, kawan! Satya Wacana tak hanya Elektro. Tapi tidak apa-apalah, minimal kau tahu ada kampus yang bernama Satya Wacana.

Keterperangahan selanjutnya adalah ketika berada dalam kelas training. Setiap hari, kami dijejali dengan sesuatu entah apa yang sama sekali tak kupahami. Bagaimana tidak? Instrukturnya seorang American berusia sekitar 60-an tahun dengan bahasa Inggris yang hampir tak satu kalimat pun kupahami maksudnya. Apalagi isinya. Aku mengamati kawan-kawan baruku itu sesekali manggut-manggut. Entah karena paham atau sekadar bahasa tubuh untuk tujuan tata-krama. Saat istrahat, aku menanyakannya kepada beberapa di antara mereka dan ternyata mereka pun sama tidak pahamnya denganku. Ah, lega rasanya. Paling tidak, aku punya kawan senasib.

Dulu, aku berpikir bahwa kecerdasan akademik berbanding terbalik dengan kemampuan bergaul. Mereka yang pintar biasanya tidak gaul, demikian sebaliknya. Memang tidak seluruhnya benar, cuma begitulah fenomena yang pernah kuamati dari SMP hingga Perguruan Tinggi. Begitu mengenal kawan-kawan baruku ini, berantakanlah anggapanku tadi. Bahwa ternyata banyak manusia yang mendekati ‘sempurna’: pintar, kaya, baik, berwajah menarik, dan gaul. Ah, aku menjadi merasa tidak ada apa-apanya. Sungguh, tak ada sesuatu yang bisa kubanggakan padaku dibanding mereka. Pintar tidak, gaul apalagi. Ini bukan soal rendah diri, tapi tentang sesuatu yang sifatnya lebih realistis. Ibarat sebutir pasir menjumpa gurun, atau air sungai mendapati samudera. Sama-sama pasir tapi kalah jumlah, sama-sama air tapi kalah volume.

Waktu itu, beberapa bulan sebelum tahun 2004 berakhir, handphone sudah bukan lagi barang mewah. Hampir semua orang sudah memilikinya. Sebuah iklan bahkan dengan ‘tega’ menciptakan tag line yang berbunyi, ‘hari gini… nggak punya henpon!’ Iklan yang sering sekali muncul di televisi dan bagiku terdengar sangat menyebalkan. Ini (lagi-lagi) bukan soal rendah diri, tapi tentang realita yang tak bisa kututup-tutupi. Saat itu, pertengahan Oktober 2004, aku belum memiliki benda bernama handphone itu. Ketika resmi diterima sebagai karyawan melalui serangkaian tes di Balikpapan, salah satu bos-nya menanyakan bagaimana cara menghubungiku jika ada dokumen-dokumen atau urusan lain yang harus kuselesaikan sebelum berangkat ke Jakarta. Dengan malu-malu, aku memberikan nomor handphone kakakku yang saat itu juga sedang mencari pekerjaan di Balikpapan. Kabar gembira bahwa aku diterima di perusahaan itu pun aku terima dari kakakku yang dihubungi oleh orang kantor. Berita paling merdu yang pernah terdengar di kupingku sejak hampir dua tahun menjadi pengangguran di Kalimantan. Berpindah-pindah dari Balikpapan, Bontang, hingga Sangatta demi setiap kesempatan yang ada. Hidup menumpang di rumah sanak famili yang mau berbaik hati menampungku.

Sebagai manusia yang sudah menyandang gelar sarjana saat itu, yang kata orang sudah siap terjun ke dunia kerja, tentu saja aku malu meminta uang kepada orangtua untuk membeli handphone. Bukan hanya malu, bahkan orangtuaku pun tak memilikinya. Resmilah aku menjadi ‘korban’ iklan tadi. Aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan iklan itu, hanya saja kebutuhan akan handphone memang sudah mulai terasa.

Beruntung, kawan-kawan kerjaku sama sekali tidak bermasalah dengan itu. Lagi-lagi, kusaksikan kebesaran hati mereka yang tak sampai hati mengolok-olokku. Tak pernah sekalipun mereka ikut-ikutan mengucapkan tag line iklan yang sangat kurang ajar itu. Salah satu di antara mereka bahkan menawarkan diri untuk menemaniku membeli handphone ketika gajian pertama nanti.

Beberapa minggu kemudian, minggu terakhir Oktober 2004, di salah satu hari bersejarah dalam hidupku, aku seolah tak percaya memandangi sejumlah rupiah yang tertera di layar ATM. Kali pertama dalam hidupku, ada 6 digit angka di saldo rekening itu. Seumur hidup, belum pernah jumlahnya lebih dari sekian ratus ribu. Itu pun sangat jarang bertahan lama.

Singkat cerita, aku akhirnya memiliki barang ‘mewah’ pertama dalam hidupku. Handphone. Kubeli dari hasil keringat sendiri, setelah sekian tahun hanya bisa menyentuh dan sesekali menggunakannya. Handphone milik orang-orang yang berbaik hati mau meminjamkannya kepadaku.

Meski tidak tergolong yang paling bagus saat itu, memilikinya tetap saja tidak terbahasakan. Seperti anak kecil ketika mendapat hadiah robot-robotan atau mobil-mobilan ber-remote control.

Kenalkan! Handphone legendarisku, Sony Ericsson seri T230 yang ketika di kelas training harus selalu kumatikan karena tidak tahu cara mengaturnya menjadi silent mode. Ah… sedikit norak barangkali. Tapi tidak apa-apa.


Rantepao, 22 Februari 2010, 7:54 pm

Tuesday, February 23, 2010

MEMOAR BIRU-AIR*


Biru. Mayapada berubah monokrom. Laut lepas menari dipayungi langit polos. Seakan tak ada ruang bagi warna lain untuk mewujud. Bahkan, horizon pun tergaris samar dalam nuansa biru.

Aku berdiri di atas ‘atap’. Pada sebuah titik di atas kumpulan air mahaluas bernama Teluk Thailand. Di sebuah rig berjenis jack-up yang ketiga kakinya menancap dengan kokoh ke dasar lautan. Di ‘atap’ datar bernama heliped di mana helikopter menurunkan dan membawa pergi orang-orang, seperti aku, dalam satuan waktu tertentu. Ada yang setiap 2 minggu, ada yang sebulan sekali.

Selepas siang menjelang sore hari di tempat ini, retinamu akan bosan menangkapi panjang gelombang biru. Bukan karena organ matamu mulai memilih-milih, melainkan karena hanya warna itulah yang dominan ada. Ketika awan enggan menampak dan lautan tak menjumpa daratan. Sejauh mata memandang, hanya biru yang sanggup kau kenali.

Tak pernah sebelumnya kubayangkan akan bekerja di tempat seperti ini. Tempat di mana kau hanya bisa ke mana-mana sejauh lempengan-lempengan logam menjelma rig ini masih memiliki dimensi. Bekerja untuk sejumlah hari tertentu setiap 12 jam sekali. Kadang, ketika kau sedang tidur terlelap sambil memeluk istrimu atau bantal guling, aku justru sedang bersiap-siap untuk memulai giliran kerja; tepat jam 12 tengah malam. Dan, ketika kau barangkali sedang bercengkerama dengan anakmu di sore hari atau berjalan-jalan dengan pacar tercintamu di taman kota, aku malah sedang tidur terlelap. Sendirian. Di dalam ruangan sempit yang nyaman dan gelap gulita berukuran 2 x 5 meter atau sedikit lebih besar dari itu.
Aku lebih suka hijau. Melihat helai daun atau rerumputan lebih menyejukkan mata. Tentu saja ini soal selera. Ada yang bahkan tak suka biru atau hijau sekalipun, bukan?

Dulu, aku membayangkan akan bekerja di sebuah kantor di pusat kota. Tempat di mana kau bisa ke mana-mana. Tempat tak berbatas dimensi di mana segala peradaban manusia bisa kau rengkuh. Bangun pagi ketika matahari masih bersemu kemerahan lalu pulang ke rumah ketika jingga petang mulai membayang. Dan di akhir pekan, kau bebas melakukan apa pun yang kau suka. Jalan-jalan ke pantai atau taman hiburan bersama anak-istrimu atau malam mingguan dengan belahan jiwamu.

Entah biru entah hijau. Aku tak lagi tahu mana yang lebih menarik.

Hidup memberondongkan pilihan-pilihan yang kadang tak pernah terduga. Aku tak pernah menyangka ketika bertahun-tahun lalu diterima bekerja di sebuah perusahaan yang mengurusi pekerjaan seperti ini. Bahkan, ketika menandatangani surat kesepakatan kerja pun, aku tak tahu persis jenis pekerjaan apa yang akan kujalani sesudahnya.

Setelah dibekali dengan sejumlah teori selama 6 minggu, aku dikirim ke tempat-tempat terpencil di mana minyak dan gas bumi tersembunyi di dalam tanah. Perjalanan melintasi pulau dan lautan, dari rawa-rawa Kalimantan, belantara Sumatera, hingga ke lautan yang menyatu dengan Laut China Selatan ini. Aku bersyukur bahwa dengan begitu aku bisa mengunjungi banyak tempat. Kata orang, semakin banyak perjalanan akan semakin bagus buat hidupmu.

Jadi, aku tak tahu lagi. Entah biru entah hijau. Sebab biru akan menjadi hijau bila bersenyawa dengan kuning.

----------------------------------------------------------
Air. Bumi menjelma lautan. Seakan tak ada tempat bagi sesuatu bernama daratan. Puluhan meter di bawah sana pun hanya ada air. Melambai-lambai tak kenal lelah sepanjang waktu dalam tarian ombak yang abadi.

Setiap hari, aku berkutat dengan sesuatu yang bernama ‘drilling fluid’; lumpur pemboran. Mencampur-campur ratusan hingga ribuan barel senyawa Kimia menjadi satu jenis fluida yang lebih lazim disebut ‘mud’. Kemudian mengetesnya dengan sejumlah piranti agar sifat-sifat fisika dan kimianya tetap terjaga dengan baik.

Kecuali bahwa pekerjaan ini tidak jauh-jauh dari anasir berbau Kimia, rutinitasku adalah sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Menjejalkan ratusan pipa besi satu demi satu menembus permukaan bumi ke tempat di mana sumber energi berbahan hidrokarbon terperangkap. Bersiaga agar tekanan di bawah sana tidak menjadi liar dan memuntahkan isi perutnya. Sekaligus berjaga-jaga agar tidak terjadi yang sebaliknya; ketika lumpur-lumpur tadi menyelusup ke dalam pori-pori batuan, lalu hilang dan tak muncul kembali ke permukaan.

Aku menyukai air. Bermain-main dengannya mengingatkanku pada masa kecil yang bahagia.

Dulu, aku berpikir bahwa aku akan menjadi seorang ilmuwan. Menyibukkan diri di laboratorium demi penemuan-penemuan baru. Menghadiri seminar-seminar dan berkutat dengan jurnal-jurnal ilmiah. Meneliti pigmen-pigmen tumbuhan yang berwarna-warni, mengakrabi hijaunya klorofil dan kuningnya karotenoid atau mengekstraksi senyawa-senyawa tak berwarna golongan alkaloid yang sanggup membunuh hama keong emas. Paling tidak menjadi dosen.
Entah Hidrogen entah Oksigen. Aku tak pernah tahu mana yang membuat air bisa diminum.

Hidup selalu menawarkan pilihan-pilihan. Aku tak pernah menduga bahwa pilihanku merantau ke Balikpapan akan membawaku ke tempat seperti ini. Pada saat teman-teman sealmamaterku mulai menyebar di berbagai pabrik Kimia dan kampus-kampus, tidak satu pun lamaran kerjaku yang ditanggapi oleh pihak kampus atau produsen bahan-bahan alam itu.

Ketika kau tak lagi tahu membedakan utopia dengan realitas, apa yang kemudian akan kau lakukan? Mempertanyakan lagi batasan-batasanmu tentang keduanya atau berusaha menisbikan batas di antara keduanya?

Aku memang tak pernah tahu. Entah Hidrogen entah Oksigen. Sebab, molekul air akan terbentuk ketika dua atom Hidrogen bersenyawa dengan satu atom Oksigen.


*Kenangan tentang sebuah sore yang biru di Rig Trident 15, Gulf of Thailand, Desember 2006

Rantepao, 23 Februari 2010; 2:46 am.



Friday, February 19, 2010

EMPIRE

Ratusan pasukan berkuda berbaris rapi dalam format setengah lingkaran. Perwira-perwira pilih tanding menunggang dengan gagah di punggung tunggangan masing-masing. Mata menyala, mengobarkan semangat perang yang membara. Paladin. Momok dunia peperangan yang sanggup meluluhlantakkan apa pun. Tak jauh di depannya, Mameluke, pasukan elit khusus kerajaan Saracens siaga dalam konsentrasi penuh. Senjata andalan berupa parang mematikan siap dilemparkan kepada siapapun yang berani mendekat. Di barisan paling belakang, puluhan Trebuchet siap melontarkan bola-bola api untuk meruntuhkan gerbang depan kerajaan musuh.

Tak sabar menunggu lebih lama lagi, sang panglima perang memerintahkan untuk segera menyerbu. Bola-bola api beterbangan di udara. Parang-parang Mameluke berseliweran melibas apapun di yang ada di dekatnya. Paladin datang menyempurnakan keberingasan pasukan kerajaan Saracens. Benteng pertahanan terdepan kerajaan China hancur, rata dengan tanah. Sejumlah kecil pasukan China yang ditempatkan di gerbang depan tak berkutik sedikit pun menghadapi keganasan pasukan Saracens. Kemenangan menyambut di depan mata.

Pasukan Saracens bergerak maju. Mayat dan puing-puing reruntuhan berserakan di mana-mana. Entah ke mana pasukan China bersembunyi hingga hanya menempatkan sejumlah kecil pasukannya di gerbang depan. Nama besar pasukan elit Paladin dan Mameluke mungkin sudah mengerdilkan nyali mereka untuk melawan. Di kejauhan, tampak kastil utama kerajaan China menjulang di balik pepohonan. Jalan masuk yang diapit oleh belantara yang pekat tak mengurungkan niat pasukan Saracens untuk segera menaklukan musuh. Mereka mendekati kastil utama dengan kepercayaan diri yang berkobar-kobar.

Di jalan masuk yang sempit itu, tampak beberapa penduduk sedang menebang pohon. Tanpa ampun, pasukan Mameluke melemparkan parang ke arah mereka. Nyawa-nyawa tak berdosa melayang dalam hitungan detik. Pasukan Saracens bergerak semakin mendekati kastil utama. Namun tiba-tiba saja, ratusan pasukan infantri datang seperti aliran air bah. Pasukan Saracens sontak kelabakan. Di jalan setapak yang sempit itu, Paladin dan Mameluke menjadi kehilangan kedigdayaan. Ruang gerak yang sempit menyulitkan mereka. Ketika para Paladin dan Mameluke sibuk meladeni tombak-tombak para infantri, ratusan anak panah melayang di udara. Barisan pemanah andalan kerajaan China ternyata telah menyambut mereka. Trebuchet-trebuchet Saracens tak berkutik sama sekali. Mereka hanya ampuh merobohkan bangunan namun tak berdaya sama sekali menghadapi para infantri yang makin lama datang semakin banyak.

Jalan sempit itu menjadi saksi bagaimana pasukan elit Saracens takluk menghadapai pasukan China yang hanya bermodalkan pasukan panah dan infantri kelas rendahan. Strategi jitu yang kemudian menjadi faktor penentu kemenangan.

#####

“Anjiiiiiiiing...” Sebuah umpatan tiba-tiba terdengar. Seseorang dengan ekspresi wajah yang kesal luar biasa bangkit dari kursinya sambil menggebrak meja.

Aku menengok ke arahnya sambil tertawa terbahak-bahak. “Ah… Cupu lo. Mana pasukan yang lo bangga-banggakan itu?” Aku mengolok-oloknya agar dia semakin kesal. Entah kenapa aku begitu menikmati tiap kali melihat raut mukanya yang menjadi begitu ‘eksotis’ tiap kali ia kesal.

“Iya neh. Segitu doang kemampuannya?” Sebuah suara lain menimpali. Baru saja kami memainkan sebuah game strategi bernama Empire. Berempat, kami bermain berpasangan dalam permainan yang sudah ‘ketinggalan zaman’ itu. Aku berpasangan dengan si pemilik suara terakhir (sebut saja namanya A), sementara si pemilik wajah eksotis itu (sebut saja namanya R) berpasangan dengan komputer.

“Sekali lagi! Ganti pasangan tapi.” R mengancam. Ia berjalan ke arahku, mengambil sebatang rokok kemudian menyulutnya. Beberapa kalimat masih meluncur dengan lancar dari bibirnya. Isinya masih tentang kekesalannya. Aku dan A kemudian tak berhenti mengolok-oloknya lagi. Beberapa menit kemudian, kami kembali ‘berperang’ hingga cahaya matahari pagi menerobos masuk ke ruangan di sebuah game centre di Salatiga yang dingin.

Empire adalah semacam reuni bagi kami bertiga. Bertahun-tahun lalu, kami sering sekali memainkan game ini ketika aku masih bersama mereka. Tinggal di rumah kos yang sama, makan bersama-sama, kelaparan bersama-sama pula. Malam-malam, kami kerap menikmati segelas susu murni dan indomie goreng di warung pinggir jalan sambil bercerita. Kadang tentang teman-teman, keluarga masing-masing, kadang pula tentang mimpi dan cita-cita.

Ah… Mimpi dan cita-cita. Aku adalah salah satu manusia yang gemar betul membagikan mimpi dan cita-cita kepada orang-orang dekatku. Entahkah baik atau malah sebaliknya. Aku tak peduli. Aku hanya berharap bahwa setiap kali impian dan cita-cita itu aku bagikan, mereka akan berdoa untukku. Kata orang, semakin banyak doa semakin bagus, bukan?

Barangkali seperti kebanyakan orang, aku kerap membangun mimpi dan cita-cita yang menembus langit. Dari dulu. Ada yang mungkin akan menyebutnya ambisi, tapi buatku itu hanya soal sudut pandang. Namanya saja mimpi dan cita-cita. Bebas memilih apa saja, meski tak semua selalu bisa terwujud. Yang jelas, aku merasa tak merugikan siapa-siapa.

Aku mengenal A dan R sebagai pribadi yang sungguh bertolak belakang. A yang pendiam dan R yang ributnya minta ampun. R yang ekspresif dan A yang pandai menyembunyikan warna hati. Tapi aku menikmati kedekatan dengan keduanya. Barangkali karena aku berada di antara kedua tipe itu. Atau mungkin malah keduanya. Karena kadang aku diam seribu bahasa, kadang pula ramai seperti angin ribut. Entahlah. Ini bukan tentang baik-buruk, tapi lebih kepada pembawaan yang tak bisa ditawar-tawar. Yang pasti, A dan R sama-sama menyenangkannya.

Hidup kemudian menawariku pilihan untuk lebih dulu meninggalkan Salatiga. Sementara kepada A dan R, hidup masih memberi mereka kesempatan untuk berbetah-betah di sana. Salatiga, sepertinya, memang sangat posesif. Kota kecil di kaki gunung Merbabu itu seolah tak ingin melepaskan siapapun yang pernah datang dan tinggal di sana. Mungkin terdengar sedikit berlebihan, tapi cobalah bertanya kepada siapapun yang pernah menjadi mahasiswa perantau di sana. Aku jamin, mayoritas akan setuju denganku.

Ketika aku mulai mengakrabi belantara Kalimantan dan rawa-rawa delta Mahakam, A dan R masih mencumbui pohon-pohon rindang di taman kampus. Jarak kemudian menjadi sesuatu yang sanggup menyembunyikan mereka dari jangkauan pandanganku. Selentingan-selentingan mulai beredar mengisi udara, menyeruak diterbangkan angin. Kabar-kabar tak sedap mengalir dihanyutkan air. Tentu saja aku tak percaya.

Kepada A, aku titipkan pesanku kepada angin. Bahwa tak peduli aku pada kata-kata yang dibisikkannya. Bahwa aku lebih tahu daripada dirinya. Bahwa kau tak seperti yang diceritakannya. Belum pernah sepanjang hidupku, kutemukan manusia yang sepertimu. Sahabat yang tak pernah lelah memberi telinganya untuk mendengar. Sahabat yang tak pernah kekurangan untuk berbagi apa saja. Sahabat yang tak sedikitpun memiliki amarah untuk dilampiaskan. Keluarlah! Tunjukkan pada mereka bahwa kau tak seperti yang mereka pikirkan. Buktikan pada mereka bahwa jauh di dalam sana, di balik sanubarimu yang terdalam, ada mutiara yang siap untuk mengilaukan dunia. Aku menyayangimu dan kau pasti tahu, aku percaya padamu.

Kepada R, aku titipkan pesanku kepada air. Bahwa tak peduli aku pada kidung-kidung yang disenandungkannya. Bahwa aku lebih tahu daripada dirinya. Bahwa kau tak seperti yang dinyanyikannya. Belum pernah sepanjang hidupku, kutemukan manusia yang sepertimu. Sahabat yang selalu mengatakan hitam ketika aku hitam, putih ketika aku putih. Sahabat yang tak pernah berhenti memaki-maki namun tak pula pernah berhenti menyanjung-sanjung. Sahabat yang tak sediktpun memiliki dendam untuk disimpan. Berlarilah! Tunjukkan pada mereka bahwa kau tak seperti yang mereka pikirkan. Buktikan pada mereka bahwa jauh di dalam sana, di balik sanubarimu yang terdalam, ada intan berlian yang siap untuk mencengangkan dunia. Aku menyayangimu dan kau pasti tahu, aku percaya padamu.

Kepada A dan R, kutitipkan pesanku pada angin dan air. Bermimpilah untuk menggapai langit karena meskipun kau gagal, kau akan tetap berada di antara bintang-bintang*.

*dikutip dari sebuah buku motivasi yang judul dan nama pengarangnya tak saya ingat lagi.

19 Februari 2010; 07:00 pm.

Thursday, February 18, 2010

KENALKAN!

Kenalkan! Namaku panas. Aku seorang penipu. Ketika sejumlah energiku berubah bentuk, larut ke dalam molekul udara, kau akan mengenaliku dingin. Jangan tertipu! Aku seorang penipu.

Kenalkan! Namaku terang. Aku seorang pembohong. Ketika sekian kandela dicerabut dariku, hilang menjadi ketiadaan, kau akan memanggilku gelap. Jangan percaya! Aku seorang pembohong.

Kenalkan! Namaku hitam. Aku penuh tipu muslihat. Ketika seluruh sinar kupantulkan, tak menyisakan satu pun panjang gelombang, kau akan menyebutku putih. Jangan terperdaya! Aku licik.

Kenalkan! Namaku air. Aku inkonsisten. Ketika suhu tubuhku mencapai seratus derajat celcius, membuatku bergolak di dalam panci, kau tak akan melihatku lagi. Aku sudah berubah menjadi uap.

Kenalkan! Namaku karang. Aku tak setegar bayanganmu. Ketika ombak ajek menghantam tubuhku, mengikisi partikel demi partikel yang membuatku kurus, kau akan menginjak-injak aku. Aku kini hanyalah butiran pasir.

Kenalkan! Namaku tuhan. Aku ada aku tiada. Terasa panas terasa dingin. Menjadi terang menjadi gelap. Terlihat hitam terlihat putih. Berwujud cair berwujud gas. Sebesar karang sekecil pasir.


18 Februari 2010, 1:15 am

Wednesday, February 17, 2010

KEABADIAN

Kepada angin aku bertanya. Adakah udara yang menyapa wajahku kini adalah sosoknya yang silam? Ketika bunga tak lagi mekar dan dedaunan kehabisan klorofil. Angin yang sama kah yang dulu kerap menggigilkan tubuhku?

Kepada hujan aku bertanya. Adakah awan menyimpan kisahku? Ketika pepohonan tak lagi meranggas dan sore hari menjadi meriah oleh suara katak. Hujan yang sama kah yang dulu kerap membasahi badanku?

Kepada gunung aku bertanya. Adakah bebatuan masih mengenaliku? Ketika halimun tak lagi menyelimuti pagi dan bambu-bambu menjelma rumah. Gunung yang sama kah yang dulu kerap kudaki?

Kepada bintang aku bertanya. Adakah langit bersempadan? Ketika burung tak lagi bernyanyi dan kunang-kunang melampus raga. Bintang yang sama kah yang dulu kerap berkelap-kelip?

Kepada malam aku bertanya. Adakah siang akan kembali? Ketika gelap melenyapkan terang dan matahari diganti bulan. Malam yang sama kah yang dulu kerap mengerdilkan nyaliku?

Kepada diri aku bertanya. Adakah keabadian di dalam sana? Ketika hari ini tak lagi sama dengan kemarin dan tak sesiapa sanggup menduga hari esok. Diri yang sama kah yang dulu kuakrabi?


Toraja, 17 Februari 2010. 6:10 pm.

Tuesday, February 16, 2010

RUMAH MIMPI

“Pupuk, Pak.”

Aku menyodorkan selembar uang seratus ribu melalui sebuah lubang kaca kepada petugas taksi bandara. Bapak itu merobek selembar tiket dan menyerahkannya kepadaku beserta uang kembaliannya. Tak lama kemudian, aku duduk dengan nyaman di jok belakang taksi bercat biru tua dalam perjalanan ke sebuah kompleks perumahan yang disebut ‘pupuk’ oleh orang setempat.

Deretan rumah besar berbaris dengan rapi di sepanjang kiri kanan jalan. Pagar-pagar besi yang tinggi sedikit menghalangi pandanganku ke halaman-halaman asri yang ditumbuhi rumput dan tanaman hias yang terpelihara dengan baik. Tanpa perlu tahu dan mengenal pemiliknya, aku yakin mereka adalah golongan orang sukses, jika ukurannya adalah koleksi kekayaan bendawi.

Aku menjatuhkan pandangan pada sebuah rumah di sebelah kiri. Salah satu yang memiliki pos satpam di pintu masuknya. Hatiku tersenyum. Sesuatu tentang rumah ini pernah begitu akrab denganku beberapa tahun silam. Aku masih ingat persis. Lantainya putih dari keramik yang harganya pasti sangat mahal. Ruang tengahnya luas menghadap ke lembah dengan pemandangan kota yang terlihat indah di sore menjelang malam dengan lampu-lampu aneka warna.

~~~~~

“Ojek, Mas.”

Aku menolak dengan goyangan telapak tangan kanan. Sore yang gerah di salah satu terminal di kota yang panas. Dari atas dan dari bawah. Matahari menggantungi langit sore di kota tepi pantai itu sementara hidrokarbon yang kandungannya seolah tak terhingga membara di bawah permukaan tanahnya.

Aku beringsut di antara sekumpulan taksi bercat hijau tua yang sahut-menyahut membunyikan klakson mencari penumpang. “Sepinggan… Manggar… Batakan…” Aku meragu sejenak. Panas, gerah, dan keringatan. Teriakan kondektur itu hampir berhasil menggoda imanku. Aku menimbang-nimbang lagi. Tak sampai 10 menit, 2,500 rupiah akan melayang untuk sebuah perjalanan nyaman dalam taksi hijau tua itu untuk sebuah jarak yang tak seberapa jauh dan nantinya tetap harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Aku kembali menggoyangkan telapak tangan kanan. Kakiku melangkah menjauh. Oh, iya. Sekadar informasi, di kota yang kaya minyak dan gas bumi ini, mereka menyebut ‘taksi’ untuk angkot.

Alam kemudian bersimpati. Dikirimkannya angin semilir yang menemani setiap ayunan kakiku yang lebar. Tetap panas namun tak lagi terlalu gerah. Sebuah jalan menanjak kemudian menyambutku. Bagian yang paling kusuka dari perjalan rutin dua kali seminggu ini karena sebentar lagi aku akan masuk ke sebuah kompleks perumahan dengan deretan rumah mewah yang sungguh elok dipandang mata. Lumayan kan bisa lihat-lihat meski tak bisa memiliki?

Dengan berjalan beberapa ratus meter lagi, aku akan sampai di sebuah rumah yang pintu masuknya dijaga satpam. Setelah mengonfirmasi kedatanganku kepada tuan rumah lewat intercom, satpam itu kemudian membukakan pagar dan menyilakan aku masuk. Satu setengah jam berikutnya, aku akan berada di ruang tengah rumah itu bersama dua remaja belasan tahun. Bertiga, kami duduk di sebuah meja yang menghadap ke lembah yang dibatasi oleh jendela kaca besar. Kertas, buku-buku, dan pulpen memenuhi meja di hadapan kami. Tak lama kemudian, seorang perempuan muda datang dengan nampan berisi minuman dingin dan makanan kecil. Sesudahnya, kami akan sibuk dengan angka-angka, simbol, dan rumus-rumus.

Seperti yang mungkin sudah bisa kau tebak, aku adalah seorang guru les privat. Mengunjungi rumah-rumah mewah setiap sore menjelang malam setiap hari, kecuali Minggu. Berbagi ilmu dengan remaja belasan tahun yang sedang belajar merajut mimpi. Anak-anak SMA yang sungguh beruntung lahir dan tumbuh dalam keluarga yang serba berkecukupan materi dan (mungkin) kasih sayang.

Dari kegiatan mengajar itu pula, aku kemudian mengenali satu demi satu sudut kota minyak ini. Bermodalkan taksi yang tarif jauh dekatnya dipukul rata 2,500 rupiah dan sesekali berjalan kaki, aku berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain setiap sore. Menyaksikan paradoks yang kerap mengernyitkan keningku dan membuatku harus sering-sering mengurut dada memanggil ketabahan. Aku menumpang tinggal di sebuah rumah kontrakan kayu sederhana yang tersembunyi di belakang gedung-gedung besar. Jalan masuknya berupa gang sempit berkelok-kelok dengan got berbau tak sedap yang penuh dengan kotoran yang sudah hitam dibusukkan mikroorganisme. Sementara, tiap hari aku menyatroni rumah-rumah mewah berpagar besi berlantai keramik yang mengilat beraroma mawar, cemara, atau jeruk dengan jalan masuk yang lebar-lebar. Paradoks yang indah. Karena dengan begitu aku masih bisa bermimpi.

Aku kadang bertanya-tanya. Tak cukupkah pelajaran di sekolah formal yang anak-anak muridku ini dapatkan sehingga mereka harus mengambil les lagi di luar jam pelajaran sekolah? Lalu bagaimana dengan anak-anak yang hidup dalam keluarga yang tak sanggup membayar guru les? Kemungkinan besar mereka akan semakin tertinggal. Yang kaya semakin pandai, yang miskin semakin bodoh. Tapi, sudahlah. Aku bukan siapa-siapa untuk menjawab pertanyaan itu.

Yang jelas, aku sangat menikmati setiap sore menjelang malam itu. Bukan karena kemewahan semu dan temporer yang bisa aku dapatkan dari rumah-rumah mewah itu, namun untuk kesempatan di mana aku bisa bermimpi. Ya. Aku ingat betul. Malam-malam sepulang mengajar, aku akan menarik jendela kaca taksi dan membiarkan angin malam menyapa wajahku. Membayangkan kelak di suatu hari sebentuk hidup yang indah akan menjadi milikku. Kadang, aku sengaja turun beberapa ratus meter dari tempat di mana aku seharusnya turun sekadar untuk memperpanjang durasi bermimpi dalam taksi. Sesudahnya, aku harus membayar ratusan meter itu dengan berjalan kaki menyusuri trotoar untuk kemudian masuk ke gang sempit di sebelah gedung besar.

Selain bermimpi, banyak kebahagiaan lain menjadi seorang guru les privat. Untuk yang ini, bergantung pada siapa muridnya. Begini beberapa kisahnya.

1. Salah satu muridku namanya Icha. Dia anak perempuan satu-satunya dari pemilik jaringan apotek ternama di kota ini. Mungkin karena itu pula dia sedikit agak manja. Ia sering sekali merajuk ketika penjelasanku malah semakin membuatnya bingung. Ia kemudian akan memintaku dengan gayanya yang khas untuk mengulangi penjelasanku. Ketika ia akhirnya paham, ia akan menghadiahiku sebatang Toblerone yang memang selalu ada di meja belajarnya. Kemudian ia akan bercerita tentang banyak hal. Tentang guru dan teman sekolahnya yang menyebalkan, juga tentang cowok yang sedang ditaksirnya. Agenda berubah menjadi sesi curhat. Aku tak punya pilihan lain selain menanggapinya sebisaku. Berkali-kali kucoba mengalihkan topik pembicaraan kembali kepada pelajaran, tapi ia malah menutup buku-bukunya kemudian menatapku dengan ancaman matanya. Aku menyerah. Kami kemudian akan mengobrol tentang cowok incarannya itu. Guru-murid bertransformasi menjadi teman. Ini dia kebahagiannya. Ketika ada murid yang menganggap guru sebagai teman, bukan sosok angker yang murka ketika muridnya tidak tahu. Di kesempatan lain, kami membahas beberapa novel yang sudah pernah kami baca. Aku bahkan sempat meminjam Harry Potter and The Order of The Phoenix miliknya karena saat itu gajiku sayang ‘disia-siakan’ untuk membeli buku semahal itu.

2. Muridku yang lain bernama David dan Gilang. Mereka mengambil paket les privat untuk berdua di lembaga tempat aku mengajar. Ayah David salah satu pejabat penting di departemen entah apa sementara ayah Gilang seorang Lurah. Di pertemuan pertama kami, mereka menceritakan keinginannya untuk masuk jurusan IPA saat kenaikan kelas nanti. “Tolong diajarin yah, Mas.” Begitu kata mereka. Tak ada hadiah Toblerone, namun sesi curhat tetap ada. Kali ini tentang pacar yang terlalu posesif dan melulu curiga. Ah, anak muda. Begitu dinamis hidup yang kalian jalani. Mengetahui kalau aku pergi pulang mengajar dengan naik taksi, ibu Gilang menaruh kasihan padaku kemudian meminta kakak laki-laki Gilang mengantarku pulang sehabis mengajar di rumahnya. Bahkan, aku selalu disuguhi bermacam-macam makanan dan minuman setiap kali mengajar. Beliau bahkan memintaku untuk menganggap anaknya itu sebagai adik sendiri. Satu semester kemudian, ketika saatnya kenaikan kelas, beliau menelepon dan mengucapkan terima kasih karena Gilang dan juga David berhasil masuk IPA. Peringkatnya pun naik ke dua puluh besar yang sebelumnya terpuruk di peringkat akhir pada semester pertama. Aku terharu. Begini rupanya kebahagiaan menjadi seorang guru. Ketika muridmu berhasil, ketika muridmu menggapai impiannya.

3. Dari David dan Gilang ini aku kemudian mendapatkan murid lain bernama Nona dan Christy. Mereka teman sekelas. Orang dari kantor ‘agen guru les privat’ menghubungiku dan mengatakan ada calon murid yang menelepon minta guru les, tapi harus diajar sama ‘Mas R’. Aku bangga. Setidaknya karena aku tidak mengecewakan mereka yang sudah membayarku. Dengan kedua murid ini, kami kebanyakan tertawa. Anaknya lucu dan berselera humor yang sangat baik. Paling tidak karena topik pelajaran pun bisa menjadi bahan tertawaan. Mereka pun sangat pandai. Satu kali penjelasan saja sudah cukup membuat mereka paham. Di hari yang sama ketika ibu Gilang meneleponku, ibu Nona juga meneleponku dengan berita yang sama. Ucapan terima kasih karena sudah mengajar anaknya dengan baik. Nona dan Christy berhasil masuk 5 besar di kelasnya. Aku terharu (lagi). Lagi-lagi aku menemukan kebahagiaan menjadi seorang guru. Kebahagiaan yang nilainya sungguh tak bisa diukur dengan materi apapun namun menjadi sesuatu yang abadi untuk dirasakan.

~~~~~

“Lurus, Pak?”

Sopir taksi membuyarkan lamunanku. Aku mengiyakan dan segera berkemas. Ah, masih banyak yang ingin kukisahkan sebenarnya, namun sudah hampir sampai rupanya. Sebuah rumah bercat kuning terang berdiri kokoh dan anggun menyambutku. Bukan milikku, tapi dari sini aku akan berangkat menuju ke rimba Borneo esok harinya, di mana minyak dan gas bumi bersembunyi di bawah permukaan tanah. Perjalanan rutin dua minggu sekali – bukan lagi 2 kali seminggu – yang kujalani dalam lima tahun terakhir.

Persembahan bagi semua guru. Pahlawan tanpa tanda jasa bukanlah sekadar kata-kata. Namun, ada kebahagiaan di sebaliknya yang tak tersentuh benda duniawi apapun.



16 Februari 2010, 4:04 pm.




Sunday, February 7, 2010

| SOLILOKUI |

– Bukan Kebetulan –


Barangkali, ini adalah catatan ternarsis yang pernah kutulis.
“Apanya yang narsis?” | | “Apanya yang tidak narsis?”

Barangkali, ini adalah catatan terumit yang pernah kutulis.
“Apanya yang rumit?” | | “Apanya yang tidak rumit?”

Barangkali, ini adalah catatan yang paling menguras energiku.
“Kenapa bisa begitu?” | | “Kenapa tidak bisa begitu?”

Barangkali, ini adalah catatan paling membosankan yang pernah kutulis.
“Kok bisa?” | | “Kok tidak bisa?”

Barangkali, ini adalah catatan terakhir dengan tema seperti ini yang akan kutulis.
“hahaha | | ahahah”

Tak usah tertawa! Aku sedang bercakap-cakap dengan diriku sendiri.

Ada sesuatu yang ‘tak biasa’ belakangan ini; rasanya dalam sebulan terakhir. Karena bertahun-tahun tak pernah lagi mengenakan jam tangan, maka media paling praktis untuk mengecek jam adalah handphone. Tanpa kusengaja, sangat sering angka digital di layar handphone-ku menunjukkan kombinasi yang ‘tak biasa’. Setidaknya buatku yang memang suka iseng memerhatikan hal-hal ‘sederhana’ seperti itu. Beberapa kali, konfigurasi angka seperti 05:50, 07:07, atau 11:11 muncul di layar handphone-ku saat melakukan aktivitas pertama di pagi hari – mengecek handphone. Berjam-jam sesudahnya, konfigurasi serupa muncul lagi ketika aku mengecek SMS masuk atau panggilan tak terjawab. Memang tidak setiap saat dan setiap hari, namun kejadiannya terlalu sering untuk disebut kebetulan. Dan, rasanya aku tak terlalu percaya dengan sesuatu yang bernama kebetulan.

Kejadian tak sederhana dan tak kebetulan ini kemudian melontarkanku ke masa beberapa bulan terakhir. Tepatnya, 9 bulan kurang sedikit. Durasi bumi dan sistem perhitungan tahun Masehi barangkali akan menyebutnya singkat, tapi atas nama kualitas dan kuantitas, sama sekali tidak singkat apalagi sederhana.

| |

Sebuah buku bersampul hijau tergolek sembarangan di meja pajang sebuah toko buku di pinggiran Jogja. Tak ada yang istimewa pada judul, apalagi nama penulisnya. Setidaknya karena belum sekalipun aku mendengar namanya. Penulis baru yang ingin mendongkrak penjualan bukunya dengan menyertakan sederet prestasi pada biografi singkatnya. Aku meletakkan kembali buku ‘narsis’ itu lalu berkutat dengan tumpukan buku lain, ngotot mencari lanjutan serial Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi meskipun pelayan toko buku sudah mengatakan stoknya habis dan sementara dipesan. Database-nya pun menunjukkan angka ‘0’ untuk buku Gajah Mada; Perang Bubat. Setelah lelah mencari dan akhirnya percaya bahwa database dan pelayan toko itu berkata jujur, aku kembali ke meja tadi dan meraih buku bersamnpul hijau itu. ‘Catatan kecil’ Dewi Lestari yang di kemudian hari kuketahui disebut endorsement di sampul depannya menggelitik rasa penasaranku hingga akhirnya memutuskan untuk membelinya. Ambil aja lah, toh tidak setiap hari aku punya kesempatan mengunjungi toko buku. Lumayan buat cadangan kalau sudah tidak ada bahan bacaan.

Beberapa hari kemudian, pada sebuah sore yang mendung di Salatiga, aku benar-benar kehabisan buku bacaan. Dengan setengah hati, aku mengambil buku bersampul hijau tadi, merobek sampul plastiknya kemudian membuka halaman pertamanya.

“Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta; Engkau bertemu seseorang lalu perlahan-lahan merasa nyaman di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa ia memerhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.”

Aku terpana. Paragraf pertamanya sekaan punya daya hipnotis yang sanggup memerangkap mataku untuk tidak melewatkan satu kata pun sesudahnya. Dan tanpa terasa, sudah lewat tengah malam ketika aku sampai pada halaman terakhir buku itu. Selesai dalam sekali baca. Aku bahkan masih merinding dalam sensasi yang luar biasa ketika meletakkan buku itu. Sensasi yang kurang lebih sama ketika menuntaskan beberapa novel lain sebelumnya. Sebutlah Saman-nya Ayu Utami, Supernova: Akar-nya Dewi Lestari, atau Mahasati-nya Qaris Tajudin.

Namun, ada yang berbeda ketika aku membaca lagi data singkat penulisnya di sampul belakang buku itu. Gunung Kidul. Tempat yang pernah kudengar bertahun-tahun sebelumnya sebagai daerah gersang yang hanya bisa ditumbuhi singkong. Déjà vu. Mungkin begitu kurang lebih. Aku belum pernah ke Gunung Kidul sebelumnya, merencanakan pun tidak, namun tiba-tiba saja tempat itu terasa begitu akrab di benakku. Barangkali, deskripsi Gunung Kidul yang begitu detail dalam buku itu yang membuatmu merasa seperti itu. Nggak usah lebay!

Beberapa menit sesudahnya, aku mencari penulis buku itu di jejaring facebook dan ternyata dia memang ada di sana. Sebaris pesan tentang rasa kagumku pada buku itu kusertakan. Bukan basa-basi agar dia mau mengonfirmasi undangan pertemananku, tapi memang apresiasi yang berdasarkan pada sebentuk sensasi yang baru saja kurasakan saat itu. Esok harinya, tanpa harapan apa-apa, aku terkejut mendapati undangan pertemanan itu sudah dikonfirmasi, bahkan dengan beberapa kalimat tambahan yang jujur saja kuanggap basa-basi seorang penulis bagi penyuka bukunya. Tapi tidak lagi sesudahnya ketika ia menanyakan letak Rantepao, kota kecil tempat lahirku yang kuduga kuat baru pertama kali didengarnya saat itu.

“Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa orang yang kau cintai. Karena dengan atau tanpa orang itu, hidup harus terus berjalan.” Tepat sehari sebelum aku membaca buku itu, aku menulis sebuah catatan pendek yang esensinya persis sama. Mencintai untuk melepas. Konfirmasi yang kemudian justru datang dari sang penulis buku bersampul hijau berjudul Galaksi Kinanthi itu setelah membacanya di blogku beberapa hari kemudian.

| |

Gunung Kidul, ‘ribuan’ tahun sebelumnya.

Musim kemarau mengembuskan angin kering; tanah merekah kekurangan air. Tumbuhan meranggas kekurangan klorofil, menyajikan pepohonan yang tampak seperti manusia kekurangan darah; pucat dan tak sejuk. Seorang anak lelaki belasan tahun meringkuk di dalam bak penampungan air yang kosong. Puluhan buku berserakan di sekitarnya. Sambil menyender ke dinding bak, anak kecil itu – dari segi usia dan ukuran badan – melahap satu demi satu buku yang kemudian akan menjadi penghuni lemari perpustakaan di sekolahnya. Mendadak, bak berbentuk silinder itu berubah menjadi sebuah dunia yang baru. Dunia fantasi yang tercipta dari imajinasi seorang anak bungsu dari guru SD di pelosok Gunung Kidul. Dunia penuh warna dan nuansa seperti yang dibayangkannya ketika membuka halaman demi halaman buku di tangan rampingnya. Wajahnya mengaurakan harapan akan hidup di masa depan yang lebih hijau, lebih damai, dan lebih bermakna.

Sambil memandangi langit biru yang didominasi cirrus, ia bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Tanpa suara, tanpa kata-kata.

Rantepao, ‘ribuan’ tahun yang sama sebelumnya.

Angin semilir bertiup menggoyangkan dedaunan. Bunyi lembutnya meningkahi teriakan anak-anak kecil yang bermain di kejauhan. Tak lama kemudian, suara-suara gembira itu berhenti ketika panggilan tidur siang diteriakkan oleh ibu masing-masing. Hening menyambut. Seorang anak belasan tahun dengan tumpukan majalah dan buku cerita di tangannya memanjat sebuah pohon cengkih di pekarangan rumahnya. Tak ada ruang baca di rumahnya, pun kamar sendiri untuk membaca buku dan majalah itu. Jadilah pohon cengkih yang rimbun menjadi pilihannya setiap siang. Anak bungsu dari seorang guru SD itu kemudian akan menghabiskan berjam-jam sesudahnya di dahan cengkih yang kokoh dalam dunianya sendiri. Dunia imajinasi yang penuh harapan dan cita-cita. Dunia imajinasi yang jauh melintasi bukit, gunung, dan lautan serupa kisah yang dibacanya di majalah dan buku-buku itu. Wajahnya tersenyum penuh harapan ketika kemudian menuliskan impian-impian itu pada dahan-dahan cengkih dengan kukunya.

Sambil memandangi deretan bukit yang tampak dari sela dedauan cengkih, ia bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Tanpa aksara, tanpa kata-kata.

| |

Stagnan. Aku tak tahu apa lagi yang akan kutulis. Ketik. Hapus. Ketik. Edit. Hapus lagi. Blank pages. Kata orang bijak, sesuatu yang kelebihan – pada titik tertentu – akan membuat kita lupa pada hal-hal kecil dan sederhana yang sejatinya merupakan sesuatu yang sangat berharga. Rasanya, itu yang sedang kualami. Kata-kata melenyap, pergi entah ke mana. Tak persis begitu sesungguhnya. Aku justru kebingungan merangkainya, mana yang layak, mana yang harus duluan, atau mana yang perlu. Ketiadaan dalam kemelimpahan.

Aku selalu ingat tak ada yang pernah cukup dalam setiap perbincangan kita. Ketika menemukanmu kembali (atau malah sebaliknya?) aku tak pernah berhenti terkejut mendapati dirimu yang rasanya telah menahun kuakrabi. Sesosok manusia dari dunia cyber yang isi kepalanya mampu kutebak bahkan ketika aku belum pernah bertemu dengannya. Dan, aku pun tak kalah terkejutnya mendapati dirimu yang sanggup membaca hatiku. Otakku bekerja keras menelusuri kepingan-kepingan memori yang masih sangup kuputar kembali, namun tak sepotong pun yang memuat memori tentangmu. Kita memang tak saling mengenal sebelumnya. Gunung Kidul dan Rantepao terpisah ribuan kilometer oleh daratan dan lautan. Kau lahir dari rahim perempuan Jawa oleh benih laki-laki Jawa, sementara aku berasal dari rahim dan benih orang Toraja. Ide tentang anak kembar yang terpisah waktu lahir otomatis menjadi sangat tidak masuk akal. Dikuatkan lagi ketika ummi dan ibu mengaku tak pernah memiliki anak kembar. Memimpikan pun tidak. Ah, sudahlah! Kembar toh tak melulu soal kemiripan faktor genetis ataupun sumber ovum yang sama, bukan?

“Lihatlah! Narsis, rumit, dan membosankan, bukan?” | | “Bukan membosankan, rumit, dan narsis. Lihatlah!”

Tak usah membantah! Aku (lagi-lagi) sedang bercakap-cakap dengan diriku sendiri.

Kali ini dengarkan aku. Bukan saatnya mendebatkan hal-hal yang tak akan pernah ada habisnya. Aku menumpuk berbagai teori tentang cinta, Tuhan, dan persahabatan yang kemudian berjumpa dengan realitasnya ketika aku mengenalmu. Kau – dengan kesejatianmu – adalah konfirmasi. Tahukah kau apa yang kemudian menjadi ‘penderitaanku’? Aku tak mungkin bisa berbohong kepadamu. Telah berkali-kali kucoba, sengaja maupun tidak, namun berkali-kali pula kau buktikan bahwa aku kadang bahkan tak mengenali diriku sendiri. Namun, jangan kemudian berpikir bahwa kau bisa melakukan yang sebaliknya: berbohong kepadaku. Pada beberapa kejadian, aku bahkan lebih (sok) tahu tentang dirimu daripada kau sendiri, bukan?

Aku membaca satu demi satu catatan yang kau tulis di situs pribadimu. Tak ada beda dengan hidupmu yang kubaca langsung dengan mata dan hadirku. Ada perjuangan dan kemenangan di sana. Nadir dan zenit seolah adalah hal yang sangat biasa bagimu. Menjadikanmu pribadi yang tangguh, penuh percaya diri, dan kadang sangat menyebalkan. Maaf, kau memang seperti yang terakhir itu sesekali.

Aku sesungguhnya tak tahu untuk apa catatan ini kutulis. Aku hanya percaya bahwa waktu kadang sanggup mengaratkan esensi perlahan-lahan dan selapis demi selapis. Banyak hal berharga yang berlalu begitu saja tanpa kita sadari. Dan aku tak ingin mutiara-mutiara hidup yang kutemukan dengan mengenalmu kelak akan menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Aku ingin ia tetap menjadi mutiara meskipun wujudnya barangkali sudah akan berubah. Kita memang tak pernah sepakat soal durasi dan keabadian, tapi hidup bukanlah perkara mudah untuk ditebak, bukan?

Aku belum selesai. Tolong jangan menginterupsi!

Tepat jam 21:12. Bukan kebetulan jika kombinasi angka itu muncul (lagi) di layar handphone-ku. Bukan kebetulan jika kita sama-sama lahir sebagai anak bungsu, menangis untuk pertama kalinya di tahun yang sama, pada tanggal dan bulan berbeda yang memiliki hubungan matematis. Bukan kebetulan jika ummi(mu) dulu adalah seorang guru SD dan ayah(ku) juga adalah mantan guru SD. Bukan kebetulan jika kita sama-sama dibesarkan dalam keluarga yang kondisi ekonominya biasa-biasa saja, kemudian bertumbuh jauh dari kemegahan dan kemewahan kota besar. Bukan kebetulan jika aku adalah penyuka novel dan kau adalah penulis novel. Bukan kebetulan jika kau keras kepala dan aku kepala batu. Bukan kebetulan jika kau Islam dan aku Kristen. Bukan kebetulan jika ‘kau’ dan ‘aku’ tersusun dari tiga huruf yang sama. Dan, bukan kebetulan jika…

… sudah jam 22:22.


Delta Mahakam, 6 Februari 2010