Tuesday, December 25, 2007

TRADISI

Apa yang membuat sebuah agama menjadi “menarik”? Menjadikannya unik dan berciri khas? Dan, dalam konteks yang lebih “religius”, membuat pemeluknya merasa “beragama”?
Bagi saya, tradisi.

Ritus-ritus yang dirancang sedemikian rupa membuat saya lebih mudah memaknai ajaran agama. Mungkin, ritus memang diciptakan untuk tujuan tersebut, namun terkadang ritus tinggallah ritus. Repetisi dari waktu ke waktu menghasilkan kejenuhan yang kemudian menjadi rutinitas yang terkadang berbeda tipis dengan formalitas. Esensi kemudian menjadi unsur yang tak penting lagi. Bukan karena lupa, melainkan karena ritus sudah menjadi kebiasaan.

Bagi orang Kristen, variasi duduk dan berdiri tentu sudah menjadi hal lumrah dalam kebaktian di gereja. Terkadang, kenyamanan saya terusik ketika harus berdiri untuk menyanyikan sebuah kidung, apalagi kalau untuk mendengarkan Kesepuluh Firman (ketaknyamanan diukur berdasarkan durasi). Hingga saat ini, saya belum mengerti esensi dari ritus ini. Namun, mungkinkah (atau etiskah?) bila saya tetap duduk pada saat jemaat yang lain berdiri? Untungnya (ataukah betapa bodohnya?), selama ini saya selalu berdiri pada saat bagian liturgi mengharuskan jemaat berdiri.

Hari ini, umat Kristen merayakan Natal, kelahiran Yesus Kristus, Sang Juruselamat. Tadi pagi, saya mengikuti kebaktian Natal bersama keluarga di gereja. Kali ini, ada yang berbeda dalam kebaktian tersebut.
Dalam gereja kami, liturgi yang biasa digunakan cenderung formal seperti layaknya di gereja Protestan pada umumnya. Kidung-kidung dilagukan dengan iringan organ sementara jemaat duduk atau berdiri. Pendeta berdiri di mimbar dan menguraikan ayat-ayat Alkitab dalam format ceramah.

Kali ini, nuansa ibadah dibuat sedikit berbeda. Ibadah Natal dilangsungkan di halaman gereja dalam tenda-tenda besar. Kidung-kidung pujian dipilih yang bernuansa etnik. Tak ada lagu Malam Kudus dan Muliakanlah yang setiap tahun bisa dipastikan selalu ada dalam liturgi Natal. Jemaat pun boleh mengekspresikan sukacita dengan menggerakkan badan mengiringi nyanyian. Pemimpin ibadah menjalin komunikasi dengan jemaat lewat tanya jawab yang terkadang menghasilkan ledak tawa. Rangkaian ibadah diakhiri dengan makan bersama dalam suasana santai.

Saya tersenyum mengikuti ibadah Natal ini. Entah karena geli, salut ataukah risih. Secara pribadi, saya belum siap dengan format ibadah seperti itu. Mungkin karena alasan rutinitas yang sudah menjadi kebiasaan tadi. Di sisi lain, ini merupakan sebuah terobosan yang menurut saya sangat bagus. Perombakan sebuah tradisi yang sudah menahun. Tentu saja tanpa mengubah esensinya.

Selayaknya, ritus berkembang seiring perubahan zaman. Dalam hemat saya, ritus ditujukan bagi pemahaman ajaran agama. Alangkah tidak bijaksananya apabila ritus kemudian dijadikan sebuah harga mati. Tak boleh diperbaharui apalagi diganti.

Namun, tetap saja perubahan ini meninggalkan pertanyaan dalam benak saya. Adakah perubahan ini akan menghasilkan kualitas iman yang lebih baik? Jangan-jangan, ini hanya usaha untuk lebih kompromi dengan rasa nyaman. Mungkin begitulah hakikat sejati sebuah perubahan. Selalu diiringi dengan pertanyaan. Ujian bagi perubahan tersebut.

Catatan : Dalam tulisan ini, tradisi yang saya maksud mengacu kepada ritus.

Rantepao, 25 Desember 2007.

Friday, November 16, 2007

BUS SEMARANG - SOLO

Jarum jam di arlojiku sudah menunjukkan pukul 23:30 saat aku tiba di perempatan Milo, Semarang. Setengah jam lagi maka lengkaplah hari ini kulalui dengan bepergian. Dimulai dari Pagerungan, sebuah pulau kecil kaya gas bumi yang berjarak 300 km dari Surabaya ke arah timur, kuawali hari ini dengan menghabiskan satu setengah jam yang membosankan dalam pesawat CASA tipe CN-212 ke Surabaya.

Pesawat yang cuma mampu menampung 20 penumpang termasuk pilot, co-pilot dan pramugari itu menggerung sangat keras saat mesinnya mulai dinyalakan. Untungnya, pramugari memberikan sepasang ear protector seukuran setengah jari telunjuk orang dewasa berwarna oranye yang terbuat dari karet berujung lancip untuk menahan kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin pesawat dan gesekan udara dengan badan pesawat. Kuimbangi juga dengan sedikit membuka mulut agar getaran yang masuk ke telinga dapat tersalurkan ke rongga mulut lewat saluran Eustachius.

Saat terbang melintasi selat Madura, kusaksikan hamparan pulau-pulau kecil nan eksotis yang tampak seperti noktah-noktah hijau di atas permadani biru. Kunikmati sesaat anugerah Tuhan itu sambil menarik nafas dalam-dalam. Sempat juga terasa ngeri membayangkan kalau pesawat kecil ini harus mendarat darurat di air karena kerusakan mesin. Meskipun aku pandai berenang, tapi apalah artinya jika harus tercebur ke dalam lautan seluas itu. Secara refleks, kuingat materi-materi latihan saat mengikuti HUET (Helicopter Underwater Escape Training) dan SS (Sea Survival) yang pernah kuikuti dua tahun yang lalu. Dari pengalaman orang yang pernah kecelakaan pesawat, semua materi pelatihan itu “bulshit” saat kejadian yang sebenarnya terjadi. Intinya adalah jangan panik dan tetap tenang saat kecelakaan terjadi. Namun tentu saja semua itu kembali lagi ke kehendak Sang Empunya Hidup.

Hujan rintik-rintik mulai turun saat aku naik bis jurusan Semarang-Solo. Untungnya belum sempat deras, padahal berdasarkan teori Geografi, bulan November seharusnya sudah memasuki musim hujan. Sambil menenteng travel bag yang berisi PPE (Personal Protective Equipments) dengan tangan kanan, kujejakkan kaki kananku terlebih dahulu ke atas tangga bis diikuti oleh kaki kiri. Hal ini kulakukan untuk mengimbangi laju bis yang tanpa kompromi terus bergerak saat aku naik. Berbeda saat mau turun, kaki kiri duluan yang harus menjejak tanah agar momentum bis searah dengan tubuh. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa duduk dalam bis yang sumpek dan beraroma kurang sedap.

Rasa lelah yang mendera seolah tak terasa saat bis mulai melaju di atas jalan yang agak licin akibat hujan. Terbayang di mataku indahnya kebersamaan yang akan kualami dengan teman-teman lamaku di Salatiga semasa kuliah dulu. Berkat sedikit paksaan dari seorang sahabat di sana, akhirnya kuputuskan untuk menghabiskan masa off-ku kali ini di Salatiga. Yah, sekalian bernostalgia dengan suasana mahasiswa yang penuh idealisme. Terkenang masa-masa itu lima tahun yang lalu. Kurun waktu yang tidak bisa dibilang sebentar sebenarnya, tapi tanpa terasa sudah kulalui begitu cepat. Dalam hal ini, menurutku Einstein benar dengan teori Relativitas-nya. Terkadang menunggu lima menit terasa sangat lama, namun ada juga kalanya menunggu bertahun-tahun terasa hanya sekejapan mata. Memang, kajian Einstein lebih bernuansa fisika soal Relativitas waktu-nya dan sepertinya dalam kasusku tidak ada unsur Fisika-nya sama sekali tapi intinya adalah waktu bukanlah sebuah dimensi yang absolut.

Kehidupan yang kujalani belakangan ini terasa agak menjenuhkan. Alasan itu pulalah yang mendorong aku menerima “paksaan” sahabatku untuk datang ke Salatiga. Waktu off selama dua minggu sering terasa sangat membosankan. Suasana kerja yang penuh dengan tekanan membuatku sering stres. Ditambah lagi dengan rasa kesepian tinggal bersama teman-teman kerja yang ketemunya paling dua bulan sekali, itu pun kalau jadwalnya pas sama-sama off. Untuk menghibur diri, aku sering menghabiskan waktu dengan nongkrong di mall seharian penuh sampai-sampai urutan counter di mall itu sudah berada di luar kepala. Namun, semua itu hanya bersifat temporer saja. Aku sering merasakan kehampaan dalam jiwaku. Saat sistem metabolisme tubuh masuk tahap istirahat, hanya ragaku yang melakukannya tapi jiwaku tidak. Dari situ kubuktikan begitu berpengaruhnya jiwa terhadap raga. Bukan sebaliknya seperti pepatah asing lama yang sudah tidak laku lagi, men sana incor pore sano.

Bis melambatkan lajunya saat mengambil beberapa penumpang di pinggir jalan. Kuambil sebatang rokok Mild berwarna putih dari saku celana jeansku. Saat menyalakan pemantik, seorang pengamen naik dan berdiri tepat di sebelahku. Beberapa kalimat pembuka yang bagiku kedengaran seperti pidato (membosankan) pak lurah di acara-acara non formal kelurahan diucapkannya sebelum memulai “konser”. Diiringi gitarnya yang usang, pengamen itu menyanyikan beberapa lagu yang satu pun belum pernah kudengar. Entah karena lagunya ciptaan sendiri atau sudah digubah menjadi rangkaian melodi yang baru. Atau mungkin juga pengetahuan musikku yang masih kurang. Awalnya aku merasa cukup terganggu ditambah lagi dengan iringan gitarnya yang berbeda nada dasar dengan suaranya. Kuputuskan untuk tidak memberikan sepeser pun pada pengamen itu. Setelah mengucapkan kalimat penutup yang lagi-lagi seperti pidato pak lurah, pengamen itu mulai mendatangi penumpang bis dari depan satu per satu untuk menagih “bayaran”. Setiap kali bunyi gemerincing akibat tabrakan antar logam keluar dari dalam bekas bungkusan permen di tangannya, dia mengucapkan terima kasih kepada orang yang menjatuhkan logam tersebut. Tapi untuk yang tidak menyebabkan bunyi, no coins no thanks. Ketika semakin mendekat ke arahku, sekelumit pikiran muncul dalam benakku. Aku merasa pengamen ini sama denganku. Aku sedang mencari sesuatu yang hilang dari jiwaku, kurasa dia pun begitu. Bagian jiwa kami yang hilang mungkin sangat berbeda, tapi paling tidak kami berada di tempat dan tujuan yang sama. Akhirnya, kurogoh sakuku dan memasukkan selembar uang ribuan ke dalam bungkus permennya. Selembar alat tukar sah yang bagi sebagian orang mungkin tidak ada artinya tapi bagi pengamen itu adalah berkat yang luar biasa. Tampak dari ekspresi wajah dan tubuhnya saat mengucapkan terima kasih sambil membungkuk. Meskipun kita menjalani jalur kehidupan yang berbeda, kita senasib kawan, demikian batinku.

Teori Relativitas kembali berkecamuk dalam benakku. Alangkah berbedanya pengamen ini dengan katakanlah aku dalam menilai selembar ribuan itu. Buat dia, mendapatkan uang segitu memerlukan perjuangan yang bagiku sangat berat, tapi mungkin biasa saja untuk ukurannya. Dinilai dari nominal uang tersebut, apa bedanya angka seribu rupiah buat aku dan dia. Tapi, dari segi utilitas dan pencapaiannya mungkin sangat berbeda bagi kami. Satu hal yang kusimpulkan tentang uang adalah seberapa pun besar nominalnya, seberat apa pun usaha pencapaianya dan dalam bentuk apa pun penggunaannya, tujuannya adalah untuk menyenangkan raga dan jiwa. Dalam praktiknya, kebanyakan orang terfokus pada usaha menyenangkan raga daripada jiwa dengan asumsi kepuasan jiwa adalah dampak langsung dari kepuasan badaniah. Dalam beberapa hal asumsi ini ada benarnya, namun bukan sebuah kaidah yang berlaku mutlak. Jalan cerita sinema elektronik yang lagi booming di negeri ini sering menggambarkan kehampaan jiwa orang-orang “kaya” yang lebih terfokus pada usaha pemenuhan kepuasan badaniah. Sebagian besar sinetron memang bukan kisah nyata, tapi paling tidak kondisi seperti itu mencerminkan kenyataan yang terjadi pada masyarakat. Aku pernah mendengar sepintas lalu kisah orang-orang “aneh” seperti Dalai Lama yang sepertinya kontradiktif dengan kebanyakan orang. Dia lebih terfokus pada urusan jiwa yang sangat abstrak, namun kehidupannya lebih berkualitas dari segi penerimaan diri dan kepuasan hidup. Pertanyaan yang muncul adalah kenapa orang-orang tidak meniru jalan hidup Dalai Lama dan apakah semua orang memang harus seperti dia untuk mencapai hidup yang “berkualitas”?

Apabila dianalogikan, pembagian raga dan jiwa ibarat gunung es yang terapung di laut. Hampir sembilan puluh persen bagiannya berada di bawah permukaan air. Ini disebabkan karena gunung es dan air laut memiliki massa jenis yang sama tapi berada dalam fase yang berbeda, air laut pada fase cair sementara gunung es pada fase padat. Raga adalah bagian gunung es yang muncul di permukaan sementara jiwa adalah bagian gunung es di bawah permukaan air laut. Sangat manusiawi jadinya apabila kebanyakan orang lebih gampang melihat bagian yang muncul daripada yang tersembunyi di bawah permukaan air. Namun, dari analogi gunung es, aku jadi berpikir bahwa kebanyakan orang baru mengexplore sepuluh persen tubuhnya, sepertinya termasuk aku.

Akhirnya, waktu menunjukkan pukul 01:00 dini hari. Satu setengah jam dibutuhkan bis itu untuk sampai di Salatiga. Dengan menjejakkan kaki kiriku terlebih dahulu ke jalan, sampailah aku di tempat untuk mencari bagian jiwaku yang hilang. Tersembul sekelumit harapan untuk menemukannya di sini, sebuah kota kecil di kaki gunung Merbabu yang lima tahun lalu membentukku menjadi sebuah pribadi yang sekarang.

Pagerungan, November 2006

Catatan:
Tulisan ini dibuat di Pagerungan tepat setahun yang lalu. Merupakan tulisan pertama saya, hasil ajakan seorang sahabat yang entah terinspirasi dari mana mengadakan sebuah kompetisi menulis saat itu. Sahabat yang juga mengajak saya ke Salatiga dalam tulisan ini.

Setahun, kurun waktu yang sangat tak terasa. Sebuah masa yang bagi saya pribadi cukup untuk mengklaim sesuatu sebagai hobi.
And here I come with my new world, writing. Sebuah dunia yang sudah saya huni setahun terakhir ini. Indah dengan beragam warna dan nuansa.
Posting “Bis Semarang-Solo” ini adalah sebuah monumen bagi saya. Pertanda sebuah komitmen untuk hidup dengan setia dalam dunia baru ini. Juga, adalah simbol ungkapan terima kasih bagi seorang sahabat yang dengan caranya yang unik membuka pintu masuk ke dunia menulis.

Friday, November 9, 2007

JARI MANIS

Hari ini, salah satu sahabatku menikah. Ada sukacita dan antusiasme saat pagi-pagi bangun untuk persiapan menghadiri pemberkatan nikah di gereja dan resepsi pernikahan. Aku menikmati saat-saat di mana aku kebingungan memilih baju dan celana yang pas. Bolak-balik ke depan cermin, sekedar menyisir rambut agar selalu tampak rapi. Menyemprotkan parfum ke segala penjuru tubuh. Dan, akhirnya berangkat dengan keyakinan penampilan sudah dalam kondisi prima.

Sebenarnya, ini di luar kebiasaanku. Belum pernah gairah seperti ini muncul saat akan menghadiri sebuah acara pernikahan. Biasanya, kehadiran di acara semacam ini hanyalah sebuah formalitas untuk menghargai undangan yang punya hajatan. Entah kenapa, suasana di acara pernikahan tak pernah menarik minatku. Aku lebih suka datang ke acara pemakaman yang dikemas dalam ritual adat Toraja. Namun, kali ini suasana hatiku terasa berbeda. Untuk pertama kalinya, aku merasakan sesuatu yang bergejolak. Tapi, jangan berpikir bahwa ini adalah dorongan untuk segera ikut menikah. Sama sekali bukan.

Aku mengikuti proses pemberkatan nikah dengan khidmat. Saat mengucapkan janji pernikahan, kulihat kesungguhan di mata sahabatku. Entah karena tegang atau benar-benar kesungguhan sejati. Terkadang, lucu juga membayangkan teman yang satu ini bisa seserius itu. Mengingat kekonyolannya saat masih tinggal satu kost semasa kuliah dulu. Pernah, kami menghabiskan malam hingga subuh selama seminggu untuk membahas soal pernikahan. Saat itu, tujuh tahun yang lalu, kami sedang sama-sama jatuh cinta. Untungnya, bukan pada perempuan yang sama. Dari obrolan itu, kami sepakat bahwa kami sudah siap secara mental untuk menikah. Aku tersenyum mengenang masa itu. Bukan karena obrolannya yang “ngawur”, melainkan karena kami sama-sama tidak mendapatkan kedua perempuan tadi.

Pak pendeta turun dari mimbar dan berjalan ke hadapan kedua mempelai. Saatnya meresmikan hubungan mereka di hadapan Tuhan dan jemaat. Sahabatku dan calon istrinya berlutut di lantai di hadapan pendeta. Anggota jemaat berdiri dan menyanyikan Mazmur 134 : 3, “Kiranya Khalik dunia, Allahmu beranugerah, b’ri dari Sion yang teguh, berkatNya pada jalanmu”. Pak pendeta menumpangkan kedua tangan di atas kepala kedua mempelai dan memberkati mereka dalam sebuah pernikahan kudus. Satu pesan yang menurutku sangat berat disampaikan oleh pendeta sebanyak dua kali. “Apa yang dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia”.

Dari seluruh rangkaian prosesi ini, acara pemasangan cincin menjadi bagian yang paling menarik perhatianku. Kunikmati setiap detik saat sahabatku mengambil cincin dari tangan pendeta lalu secara perlahan memasangkannya pada jari manis istrinya. Aku menghabiskan beberapa menit setelah itu untuk merenungkan makna di balik prosesi pemasangan cincin ini. Ada lima jari di tangan kanan yang memiliki peluang yang sama untuk dipasangi cincin, tapi mengapa harus di jari manis? Tradisi ini tentu punya makna seperti halnya dengan cincin yang tak berujung tak berpangkal sebagai perlambang kontinuitas.

Aku meremas-remas jemari tanganku sambil menerawang. Tiba-tiba saja, aku teringat sebuah artikel yang secara tak sengaja kutemukan di data komputer di lokasi kerja beberapa tahun yang lalu. Aku lalu memainkan jemari tanganku seperti dalam artikel itu. Seketika, darahku berdesir. Sungguh, sebuah permainan sederhana yang mengandung makna yang sangat dalam. Dengan antusias, aku menceritakannya kepada sahabatku yang lain yang duduk di sebelahku.

Ini adalah artikel yang membuatku mengerti mengapa cincin pernikahan harus dipasang di jari manis.

Mengapa Cincin Pernikahan Harus Ditaruh di Jari Manis??


Ikuti langkah berikut ini, Tuhan benar2 membuat keajaiban (ini berasal dari kutipan Cina)

1. Pertama, tunjukkan telapak tangan anda, jari tengah ditekuk ke dalam (lihat gambar).
2. Kemudian, 4 jari yang lain pertemukan ujungnya.
3. Permainan dimulai, 5 pasang jari tetapi hanya 1 pasang yang tidak terpisahkan.
4. Cobalah membuka ibu jari anda, ibu jari mewakili orang tua, ibu jari bisa dibuka karena semua manusia mengalami sakit dan mati. Dengan demikian orang tua kita akan meninggalkan kita suatu hari nanti.
5. Tutup kembali ibu jari anda, kemudian buka jari telunjuk anda, jari telunjuk mewakili kakak dan adik anda, mereka memiliki keluarga sendiri, sehingga mereka juga akan meninggalkan kita.
6. Sekarang tutup kembali jari telunjuk anda, buka jari kelingking, yang mewakili anak2. Cepat atau lambat anak2 juga akan meninggalkan kita.
7. Selanjutnya, tutup jari kelingking anda, bukalah jari manis anda tempat dimana kita menaruh cincin perkawinan anda, anda akan heran karena jari tersebut tidak akan bisa dibuka. Karena jari manis mewakili suami dan istri, selama hidup anda dan pasangan anda akan terus melekat satu sama lain.



Real love will stick together ever and forever

Thumb represent parents
Second finger represent brothers & sisters
Centre finger represent own self
Fourth finger represent your partner
Last finger represent your children

Rantepao, 9 November 2007

Saturday, November 3, 2007

PULAU IMPAIN

“Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di bandara Hasanuddin, Makassar. Silahkan mengencangkan sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi dan melipat meja di depan anda”.

Nusie terbangun dari tidur siangnya. Tak terasa sudah hampir sejam ia berada dalam penerbangan dari Balikpapan menuju Makassar. Untuk alasan keamanan, ia mengikuti anjuran pramugari tadi. Mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Ia tak perlu melipat meja di depannya karena tadi melewatkan jatah makan siang.

Lewat jendela kecil di samping kanannya, Nusie menyaksikan selat Makassar yang biru ditaburi dengan puluhan pulau kecil berwarna hijau. Meskipun bukan untuk kali pertama, Nusie selalu merasa kagum dengan pemandangan seperti ini. Hasil karya Tuhan yang tak tersentuh logika manusia secara utuh.

Puluhan rumah kecil tampak seperti balok-balok mainan anak kecil yang disusun dengan teratur. Tersebar di tepian pulau yang menghadap ke laut. Pohon-pohon kelapa tersembul di antaranya, melambai-lambai ditiup angin seolah memanggil para nelayan untuk pulang makan siang. Beberapa perahu penangkap ikan bergerak perlahan di sekitar pulau-pulau kecil tersebut.

Nusie membayangkan para penduduk yang tinggal di pulau-pulau itu. Meskipun jauh dari peradaban modern, ia yakin mereka hidup dengan damai. Jauh dari asap pabrik dan kendaraan bermotor. Jauh dari kemacetan lalu lintas yang sangat menyebalkan bagi orang-orang metropolitan. Namun, Nusie juga tak habis pikir bagaimana mereka bisa hidup di tempat terpencil seperti itu. Untuk orang-orang dengan tingkat mobilitas yang tinggi seperti dirinya, tentu akan bingung menghabiskan waktu di pulau tersebut.

Nusie menoleh ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Ukurannya mungkin tak lebih dari 50 m2. Letaknya agak jauh dari pulau-pulau lain yang berukuran lebih besar. Sepertinya masih perawan. Tak tampak sebuah rumah pun di sana. Perahu nelayan juga tak ada yang berseliweran di sekitarnya. Ia mengamati pulau mungil itu dengan seksama. Darahnya terasa mengalir lebih cepat. Adrenalinnya berpacu. Tak ada yang aneh dengan pulau itu. Juga, tak ada sejenis ikan hiu raksasa di sana yang bisa membuat mata terbelalak. Namun, ada sesuatu yang membuat matanya tak mau lepas memandangi pulau itu.

Sejak mendalami dunia selam semasa kuliah, Nusie menjadi jatuh cinta kepada laut. Keindahan pemandangan alam bawah air yang tak tampak dari permukaan laut menjadi sebuah sumber kekagumannya kepada Tuhan. Sungguh tak tercapai oleh logika. Hanya bisa dikagumi. Sensasi “bebas” saat melayang di dalam air laut sungguh tak tertandingi dan tak bisa ditemuinya di mana pun. Tak ada beban pikiran, tak ada kecemasan dan kekhawatiran. Yang ada hanya bebas, seolah jiwa terlepas dari raga (baca: tak ada beban hidup).

Aneka biota laut yang eksotis turut menyempurnakan kebahagiaan saat menyelam. Berbagai jenis porifera dengan aneka bentuk menjadi pemandangan khas bawah laut. Ikan-ikan anemon yang berwarna hijau, biru dan oranye bergerombol seperti dalam film Finding Nemo. Berenang bebas di sela-sela karang. Sesekali ia melihat Scorpion fish dengan kombinasi warna merah, putih dan hitam yang berukuran sejengkal tangan orang dewasa. Beracun namun tak akan membahayakan bila tak diganggu. Saat melakukan ekspedisi ke Derawan, Berau, Kalimantan Timur, ia pernah melihat seekor ular laut sepanjang 1,5 m yang bercorak garis-garis hitam dan putih dengan mahkota berbentuk segitiga berwarna kuning. Itulah penghuni laut tercantik yang pernah disaksikannya hingga saat ini.

Sejak berurusan dengan BCD (Buoyancy Compensator Devise) alias pelampung, weight belt, fins (sepatu katak), tabung udara, baju selam dan berbagai alat selam lainnya, Nusie menjadi lebih mencintai hidup. Ia merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Keindahan alam bawah laut dengan keagungannya membuatnya merasa sangat kecil di hadapan Tuhan. Telanjang. Tak punya apa-apa.

Ia kemudian punya impian memiliki sebuah pulau sendiri, lengkap dengan fasilitas selam. Mungkin, impian itu hanya lah sebuah bentuk pelarian dari kejenuhan hidup di kota besar yang menjemukan. Namun, impian itu pula yang membuatnya tetap merasa hidup. Membuatnya merasa berarti sebagai manusia. Punya hasrat dan gairah untuk berusaha. Tidak sekedar hidup mengikuti arus yang terkadang monoton dan membosankan.

Sayang, badan pesawat semakin mendekati permukaan tanah. Pulau impian di selat Makassar yang biru kini berganti dengan atap-atap rumah di kawasan Mandai, Makassar. Nusie mengalihkan pandangan ke depan. Membiarkan impiannya larut bersama deru pesawat yang akan mendarat. Beberapa detik yang lalu, Nusie mengalami salah satu bagian terindah dalam hidupnya. Berada dalam dunia impian yang membuatnya merasa menjadi manusia utuh.

~ Dedicated to a new best friend, the “Wilden Pump Guy”. Thanks for inspiring me to keep on dreaming. It’s wonderful and so passionate. Just 5 seconds on the plane, but it was so unspeakable ~

Rantepao, 3 November 2007.

Friday, October 19, 2007

KLOSET RAKSASA DAN KUCING RIG


Ada yang bilang seperti kloset raksasa. Ada juga yang bilang mirip payudara. Namun, sepasang benda ini tidak dibuat untuk dijadikan tempat berak. Tak juga untuk diremas-remas atau dijilat-jilat kalau libido lagi "naik". Ini adalah tempat membakar kondensat hasil perforasi kandungan minyak dan gas di rig darat.



Kucing ini mungkin tak memiliki sesuatu yang spesial. Seperti kebanyakan kucing rumah lainnya, ia manja dan sangat bersahabat. Keunikannya hanyalah pada statusnya yang tidak memiliki rumah. Ia hidup di rig sejak berumur 2 minggu. Pada saat rig moving ke tempat pengeboran baru, ia juga ikut pindah.

10 Oktober 2007,
Rig Apexindo #10, Well Nilam-239
Nilam Field, Kutai Kartanegara

Thursday, September 27, 2007

UNIVERSITAS KEHIDUPAN

Hidup tak pernah berhenti menghadirkan sesuatu yang tak terduga. Berbagai kejadian, orang, benda dan entah apa lagi bentuknya muncul sesuka hatinya. Mungkin kebetulan. Tapi, yang kualami kali ini sepertinya bukan sekedar kebetulan.

Sebuah cerpen sederhana (dilihat dari aspek jumlah kata yang menyusunnya) berhasil menggoda otakku untuk merenungkan isinya yang tak sesederhana jumlah kata-katanya.

Sudah beberapa bulan terakhir ini, aku berusaha berhenti mempertanyakan beberapa hal. Cinta, Tuhan, jati diri dan tujuan hidup. Aku berusaha menganggap bahwa semua itu sudah cukup. Tak perlu lagi dipertanyakan atau dicari jawabannya. Buang waktu, energi dan duit karena ternyata aku ‘tak mendapatkan apa-apa’.

Selama masa ‘berhenti’ tersebut, hidup yang kujalani menjadi lebih sederhana dan lebih ‘manusiawi’. Paling tidak, aku tak sering lagi tidur subuh karena pikiran yang tak mau berhenti mengembara. Tak kutemui lagi asbak rokok yang kepenuhan di lantai kamar ketika aku bangun siang harinya. Tak lagi kuhabiskan waktu setelah makan siang hingga sore hari di toko buku untuk mencari buku-buku meditasi dan spiritualitas, kemudian dilanjutkan dengan membolak balik setiap halamannya hingga larut malam. Dan, yang paling terasa adalah aku ‘merasa’ lebih menikmati hidup.

Kembali ke masalah cerpen. Pencarian cinta dan Tuhan dianalogikan dengan mengupas lembar demi lembar sebutir bawang merah. Ketika mata sudah memerah mengalirkan air mata ke pipi yang menghangat, jari-jari dan kuku merekah karena penetrasi minyak atsiri ke dalam sel-selnya dan lembaran terakhir bawang merah sudah terlalu kecil untuk bisa dikupas, ternyata tak ada yang tergenggam. Yang tersisa hanya mata yang perih, jari tangan yang terasa membara dan aroma menyengat. Singkat kata, cinta dan Tuhan bukanlah penjelasan, tapi pengalaman. Bukan pula tujuan, tapi perjalanan.

Sepintas lalu aku sangat setuju dengan kesimpulan tersebut. Sepanjang hidupku, belum kutemukan definisi sempurna tentang cinta dan Tuhan. Definisi hari ini bisa berbeda dengan lima hari yang lalu, meskipun keduanya sama-sama benar (tapi mungkin juga salah).

Aku lalu meyakini bahwa pengalaman dan perjalanan lah cinta dan Tuhan itu. Setiap orang bisa mengalaminya dengan cara yang berbeda. Penjelasan hanyalah usaha untuk menggambarkan pengalaman, namun tak cukup berhasil merepresentasi yang sesungguhnya. Pengarang cerpen itu sepertinya benar bahwa penjelasan dan pengalaman adalah dua hal yang berada pada ranah yang tak sama. Dengan kata lain, pengalaman tak bisa digambarkan melalui penjelasan (baca: kata-kata).

Keyakinan itu membuatku ‘berhenti’. Menganggap bahwa aku sudah paham. Tak perlu lagi bertanya dan mencari. Jika hidup (dalam hal ini pencarian cinta dan Tuhan) dianggap sebagai sebuah universitas, aku sudah lulus dengan nilai yang memuaskan.

Rasa nyaman yang ditimbulkan oleh anggapan bahwa aku sudah menjadi seorang ‘sarjana kehidupan’ berjalan menjadi rutinitas. Aku menjadi apatis terhadap hal-hal yang berbau pencarian dan perjalanan tadi. Seolah tak ingin lagi melakukan keduanya.

Setelah membaca cerpen tersebut, sebuah pemikiran baru merasuki otakku. Aku mulai meragukan keyakinan yang beberapa waktu terakhir ini mengkristal dalam pikiranku. Benarkah sudah waktunya berhenti bertanya dan mencari? Cukupkah pengalaman dan perjalanan yang telah kutempuh selama ini?

Dua pertanyaan ini berhasil merobohkan pertahananku (sepertinya dalam hal ini berbeda tipis dengan keangkuhan). Aku lalu mencoba bertanya jawab dengan diri sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya sudah kugumuli dan (menurutku) sudah ketemukan jawabannya. Namun, ternyata aku tak bisa menjawab sama sekali.

Insomnia kembali menjadi akibatnya. Puluhan batang rokok kembali menjadi teman setiaku. Buku-buku dan artikel filosofis tentang hidup kembali menjadi bacaan favorit. Keinginan untuk bertanya dan mencari bangkit lagi dalam diriku. Aku mulai meragukan seberapa besar pemahaman yang kuberikan kepada cinta dan Tuhan sebagai pengalaman dan perjalanan. Namun, ada yang berbeda kali ini. Aku merasa lebih tenang dan sabar menjalaninya. Tak lagi obsesif dan menggebu-gebu seperti dulu.`

Sepertinya, menuntut ilmu di universitas kehidupan memerlukan waktu yang tak terbatas. Selama jiwa masih terperangkap dalam realitas fisik, aku masih berstatus mahasiswa. Aku ingin mempelajari sebanyak mungkin materi kuliahnya dengan harapan pada saatnya nanti aku akan lulus dengan predikat cum laude.

~ Inspired by “Semangkok Acar untuk cinta dan Tuhan” (Dewi Lestari, www.dee-idea.blogspot.com) ~

Kutai Rig-3, Well Mutiara #90, 26-27 September 2007

Friday, August 3, 2007

MENARA BABEL II

“Mutandai pa ma’basa Toraya?”
Sebuah pertanyaan yang beberapa kali diajukan orang ke saya belakangan ini. Terjemahan bebasnya “Masih bisa bahasa Toraja?” Sebenarnya, ini hal yang sangat sederhana namun cukup membuat saya berpikir dengan seringnya pertanyaan tersebut diajukan ke saya.

Dengan bangga saya selalu menjawab “bisa dong”. Sebagai orang yang lahir dan besar di daerah, bukan hal yang aneh kalau saya masih fasih berbicara dalam bahasa setempat. Justru akan malah aneh kalau saya bilang, “Tahu dikit” atau “ngerti sih tapi gak terlalu bisa”.

Seorang guru besar pendidikan bahasa salah satu universitas di Jakarta pernah menulis kekhawatirannya tentang tendensi penurunan kemampuan berbahasa daerah di kalangan anak muda jaman sekarang. Dari data yang ada, puluhan bahasa daerah di nusantara ini telah punah dan ratusan lainnya sedang terancam punah. Sebuah kondisi yang menurut beliau perlu diberi perhatian serius. Kepunahan bahasa daerah berarti pula kepunahan budaya. Nilai-nilai adat berupa kehalusan sikap dan tutur kata bukan mustahil akan lenyap seiring lenyapnya bahasa daerah.

Beberapa tahun yang lalu, saya sempat mengobrol dengan seorang turis asal Belgia di acara penguburan kakek saya. Tinggal di negara yang diapit oleh beberapa negara dalam bahasa yang berbeda-beda membuatnya fasih berbicara dalam bahasa Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda. Menurut pengakuannya, hampir semua temannya memiliki kemampuan bahasa yang sama. “Wah, hebat yah” puji saya. Dia lalu menjawab “Kamu juga. Kamu bisa bahasa Inggris, Indonesia, Jawa dan Toraja. Kita sama-sama bisa empat bahasa kan?”

Saya menyimak lebih jauh tulisan guru besar tadi. Seandainya semua bahasa daerah di Indonesia sudah punah maka yang tersisa hanyalah bahasa Indonesia. Sementara, tren yang sedang berkembang saat ini adalah digunakannya beberapa kata-kata dalam bahasa Inggris di dalam percakapan sehari-hari. Kita bisa lihat dalam beberapa lirik lagu, seperti “Maaf kita putus, so thank you so much, I’m sorry goodbye atau ”once upon a time, ada sebuah bintang”. Ada kemungkinan beberapa generasi ke depan, tidak akan ada lagi lagu dengan lirik bahasa Indonesia utuh yang diciptakan seniman Indonesia.

Saya kira semua orang setuju kalau bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa internasional. Semua orang sedang berusaha untuk bisa menguasai bahasa tersebut untuk bisa bersaing dan bertahan hidup. Bukan hal yang aneh jadinya kalau suatu saat nanti bahasa yang tersisa tinggal bahasa Inggris.

Kalau saya perhatikan, sekarang ini tidak banyak lagi anak-anak umur sekolahan dari daerah saya yang menggunakan bahasa Toraja dalam percakapan sehari-hari. Yang ada adalah bahasa Indonesia dengan dialek lokal. Menurut mereka, ada kebanggaan tersendiri apabila mereka menggunakan bahasa Indonesia apalagi kalau dicampur sedikit-sedikit dengan bahasa Inggris dalam pergaulan. Gengsi juga menjadi salah satu alasan bagi mereka untuk tidak lagi memakai bahasa daerah. Kalau teringat percakapan saya dengan bule Belgia tadi, saya jadi bingung. Bagi saya, kemamupuan berbahasa daerah merupakan sebuah kebanggaan karena menambah daftar bahasa yang saya kuasai tapi dari sudut pandang mereka, itu adalah sebuah hal yang bisa menurunkan prestise dan kadar “gaul”.

Saya lalu teringat kisah menara Babel dalam kitab Kejadian. Tuhan mengacaubalaukan manusia dengan menciptakan banyak bahasa sehingga mereka tidak dapat lagi berkomunikasi dengan baik. Momen tersebut menandai hancurnya keangkuhan manusia di hadapan Tuhan. Saya jadi berpikir, mungkinkah gejala punahnya bahasa-bahasa daerah yang (semoga saja) tidak disusul oleh kepunahan bahasa-bahasa nasional adalah titik awal sebuah kehancuran baru? Kalau dulu, Tuhan menegur manusia dengan membuat banyak bahasa, mungkinkah sekarang Tuhan sedang menegur kita dengan cara yang terbalik? Mungkinkah kita sedang membangun menara Babel yang kedua?

3 Agustus 2007
Kutai Rig-3, Well Semberah #82

Wednesday, July 18, 2007

TATAPAN MATA

Ada yang janggal tiap kali kau ada di dekatku. Sebentuk perasaan aneh mengisi ruang hatiku tatkala interaksi terjalin di antara kita. Matamu laksana medan magnet panca indera. Memancarkan sejumlah energi yang sanggup menarik kelima inderaku untuk menyatu bersamanya.

Tatapanmu mengandung bahasa tak beraksara. Entah dengan alat apa aku bisa membacanya. Aku hanya bisa membalasnya dengan mengirimkan signal yang sama. Seandainya aku sedang berada dalam Mesin MRI (Magnetic Resonance Imaging), tentu caudate nucleus ku sedang menyala dalam kapasitas maksimum. Kapsul Prozac pun kurasa takkan sanggup meningkatkan kadar serotonin dalam darahku saat ini.

Aku menjelajahi ranah tak berwadah dalam tatapanmu. Mencoba menemukan sesuatu yang bisa kupahami dengan sempurna. Kubentangkan kesadaran kolektif yang memuat memori masa-masa kecil. Mungkin sosokmu adalah representasi masa itu dalam wujud yang berbeda. Tatapanmu menggiringku kembali ke masa puluhan tahun silam. Aku tak tahu, sosokmu mengingatkanku pada ibu, ayah, saudara, teman sepermainan atau malah diriku sendiri. Thomas Lewis mungkin benar dengan teorinya. Cinta berakar pada pengalaman masa kanak-kanak yang terpatri dalam alam bawah sadar. Rasa nyaman pada masa kecil selalu diupayakan untuk diraih kembali pada saat dewasa.

Kutinggalkan kenangan masa lalu yang tak memberiku kesimpulan akhir. Aku tetap membalas tatapanmu. Berusaha menemukan hal lain yang bisa memberiku jawaban. Matamu laksana bintang yang bersinar terang, mungkin setara dengan bintang Timur yang dilihat orang-orang Majus menjelang kelahiran Yesus. Bulu matamu yang lentik serupa lekukan jemari penari-penari perempuan Bali yang membentuk konfigurasi yang sangat nyeni. Physically, kuakui tampangmu menarik, sangat menarik malah. Tapi, hanya itukah yang sanggup menstimulasi produksi dopamin dalam tubuhku? I don’t think so. Banyak yang lebih menarik darimu di luar sana, tapi saat aku menatap mereka, aku tak merasakan sensasi seperti saat memandangimu.

Aku menggenggam tanganmu dengan lembut. Mengelusnya dengan penuh perasaan. Sejumlah getaran merambati sekujur tubuhku. Membuat rambut-rambut halus di sekujur permukaan tubuhku bereaksi. Inikah yang dinamakan birahi? Maybe. Aku menduga, saat kulit kita bersentuhan sejumlah oksitosin dialirkan ke dalam tubuhku. Membuatku ingin mendekapmu dengan hangat. Menyentuhkan sebanyak mungkin permukaan kulitku dengan permukaan kulitmu.

Akhirnya aku menyerah. Tak kutemukan jawaban dalam tatapnmu. Ia tetaplah misteri indah yang selalu kunikmati. Yang aku tahu dan miliki hanya rasa. Tak terdefinisi dan tak berwujud. Mungkin rasa yang orang bilang CINTA.

“Buat seseorang yang tak bisa dan tak mungkin kumiliki”

Balikpapan, 17 Juli 2007.

Catatan : Artikel tentang MRI dan caudate nucleus dapat dibaca dalam National Geographic Indonesia Edisi Februari 2006.

Monday, June 11, 2007

MAAF, AKU JENUH...!

Merenung selalu menjadi kegiatan yang menarik buatku. Tidur terlentang dengan pandangan terpaku pada langit-langit kamar atau duduk memeluk kedua lutut sambil memandangi kegelapan malam. Bahkan, dalam bis antar kota seraya memandangi pepohonan di sepanjang jalan yang seolah berlarian di sisi bis. Hening. Tenang. Damai. Aku seakan menciptakan dunia sendiri yang tak berbatas dimensi. Bebas menjadi apa saja sekaligus bebas ngapain aja. Tak ada aturan, sanksi dan orang-orang yang merasa layak menjadi hakim. Selama berjam-jam, pikiranku sanggup mengembara di ranah tak terpetakan.
Banyak yang bilang aku menyikapi hidup terlalu serius. Terlalu banyak mikir hingga lupa menjalani kehidupan nyata. Jarang tertawa dan bersenang-senang hingga kebanyakan mengeluh dan mendesah nafas.
Seperti saat ini. Aku tersentak kaget ketika mendengar sebuah suara yang tiba-tiba bernada tinggi dan sedikit emosional. Rupanya, tadi aku sedang merenung di tengah-tengah khotbah Paskah. Untungnya, udara subuh yang dingin tak membuatku tertidur. Aku mengalihkan mataku ke arah mimbar dan mendapati Pendeta Lukas sedang mengacung-acungkan tangan kanannya yang terkepal dengan kuat. Mimik mukanya tegas dengan pandangan mata yang tajam. Badannya sedikit condong ke depan. Aku sempat khawatir ia terjungkal saking semangatnya.
“Dengan darahNya, Ia telah menghapus semua dosa kita. Apa makna kalimat ini buat kita? Sudah layakkah kita menjadi orang percaya? Sudahkah kita berterima kasih dan bersyukur untuk pengorbananNya di kayu salib? Saudara-saudara yang kekasih dalam………………………”
Aku tak berniat menyimak kalimat-kalimat selanjutnya. Basi dan kemungkinan besar repetitif. Tak jauh beda dengan khotbah tahun kemarin yang sayangnya tak kuingat lagi dengan sempurna. Eksplorasi dari buku renungan harian yang diterbitkan Badan Majelis Gereja untuk semua anggota jemaat.

Aku tak sedang mengatakan kalau pendeta Lukas berbohong dan mengumbar janji-janji palsu. Aku juga tak bermaksud meremehkan kualitas pendeta Lukas sebagai “penyambung lidah” Tuhan. Aku hanya menginginkan sebuah hal baru yang mampu menggugah perasaan. Sebuah pemahaman yang mendalam. Tak hanya singgah temporer di otak, lalu hilang tergantikan entri-entri baru. Aku mengharapkan sesuatu yang mampu mengakar kokoh dan tumbuh subur menjadi pikiran, kata-kata dan perbuatan yang nyata, tulus dan sinambung.
Aku kembali ke alam ciptaanku sendiri. Mencoba larut dalam khayalan. Untuk mengurangi perasaan berdosa, kali ini aku akan merenung tentang Tuhan. Renungan tentang paradoks, bukti empiris atau apa saja yang sanggup kuciptakan tentang Dia. Khotbah tak selalu berarti mendengarkan penjelasan satu arah dari pendeta di mimbar. Bentuk khotbah yang tidak adil, menurutku. Terkadang aku memiliki segudang pertanyaan saat khotbah berlangsung, namun tak mungkin mengajukannya. Di sisi lain, tak jarang pula aku tak setuju dengan beberapa penjelasan, namun lebih tak mungkin lagi untuk mengajukan bantahan. Begitu kebaktian selesai, aku pulang dengan membawa tumpukan pertanyaan dan rasa penasaran. Lalu apa gunanya khotbah-khotbah tersebut? Mungkin akan terlalu kejam kalau aku menganggapnya sebagai ceramah rutin mingguan dari seorang karyawan gereja yang dipanggil “Pak Pendeta” atau “Bu Pendeta” oleh anggota jemaat. Ceramah rutin yang dibayar dengan uang persembahan dari peserta, yang katanya diberikan dengan tulus.
Pergumulan logika dan iman dalam diri sendiri merupakan bentuk khotbah tersendiri buatku. Dalam kondisi tertentu, aku bahkan merasa lebih mengenalNya dengan cara seperti itu. Banyak hal yang bisa kugali sesuai kebutuhanku.
“Tu-han, Tu-han, Tu-han.” Aku mengejanya tiga kali. Kucoba beberapa kali lagi, semakin lama dan semakin cepat. “..-han-Tu-han-Tu-han-Tu-..” Perasaan janggal menyergapku seketika. Sebuah permainan suku kata yang sangat menarik. Entah kenapa, aku baru memperhatikannya sekarang. Sepandai inikah pencipta bahasa Indonesia memilih kata “TUHAN” hingga bila diejakan berkali-kali secara berurutan mampu menimbulkan sensasi yang aneh, bahkan bisa dibilang mengerikan? Bagaimana dengan G-O-D, D-O-G? Adakah korelasi khusus? Unsur kesengajaan? Atau malah hanya sebuah kebetulan yang tak menyiratkan makna apa-apa?
“Doa. A-do. A-o-d.” Tak ada yang aneh. Kata orang doa adalah komunikasi dengan Tuhan. Media mengucap syukur sekaligus mengajukan permintaan dan harapan. Aku berharap yang kedua benar. Isi doaku dua puluh tahun terakhir ini tak pernah berubah. Ketergantungan anakku kepada obat-obat penenang sungguh menyiksa kami. Beberapa hari yang lalu, ia tidak mau minum kedua obatnya. Sudah sehat kok, katanya. Kemarin, ia mulai menutup diri, tak mau berbicara dengan siapapun. Aku tak kuat melihat tatapan matanya yang begitu tajam, seolah mengandung dendam dan amarah yang begitu besar. Saat aku mencoba menawarkan makan malam, ia malah membentak dan mengancam akan membunuhku. Aku hanya bisa menangis di saat-saat seperti itu. Saat ia mulai merasa sehat, ia mencoba menghentikan obatnya. Akibatnya, ia mengisolasi dirinya, mengurung diri dalam kamar yang gelap. Kaca jendela rumah sudah beberapa kali diganti akibat terhantam kursi yang dilemparkannya. Untungnya, ia tak pernah menyakiti aku secara fisik. Saat jiwanya terganggu, ancaman-ancamannya hanya sampai di lidah saja.
Setiap malam sebelum tidur, aku menundukkan kepala memohon kesembuhannya. Tak jarang aku berdoa sambil menangis. Menempatkan diriku sebagai seorang teman yang sedang curhat. Kutumpahkan segala perasaan yang ada. Tak ada perasaan malu atau ragu. Tak ada lagi yang kusembunyikan. Semua kuungkapkan dengan harapan bisa mengurangi beban yang kutanggung. Namun, aku mendapati diriku berinteraksi dengan diri sendiri. Tak ada respon apalagi jawaban verbal. Tak layakkah aku mendengar suaraNya seperti aku yakin Ia mendengar suaraku? Masih kurangkah doaku selama dua puluh tahun? Kurang banyak kah air mata yang kucurahkan mendoakannya? Masih terlalu kuatkah aku hingga harus menanggung pencobaan seperti itu?
Aku tak kuat memikirkannya lebih lama lagi. Kelopak mataku mulai terasa hangat. Pandanganku mengabur. Aku tak ingin terlihat aneh di dalam gedung gereja ini.
Aku menjelajahi dunia yang lain. Melepaskan kenyataan hidup yang mau tak mau harus kujalani dengan penuh ketabahan.
Paskah. Tak ada niat mengeja terbalik atau menyusun ulang huruf-huruf yang membentuknya. Tak ada manfaatnya buatku. Aku berusaha meyakininya sebagai kebangkitan Kristus. Kebangkitan dari kematian selama tiga hari. Tiga hari? Bukannya dua hari? Disebutkan Ia mati pada hari Jumat Agung dan bangkit pada hari Minggu yang kemudian disebut Paskah. Entahlah, biar ahli Fisika saja yang mempersoalkannya.
Aku mencoba kembali ke masa-masa penyaliban Yesus. Berimajinasi seolah-olah aku berada di sana saat itu. Beberapa jam setelah disalibkan, Ia diturunkan dari kayu salib dengan luka memar dan tusukan di sekujur tubuhNya. Kusaksikan Yusuf dari Arimatea membawa jasadNya ke sebuah gua. Nikodemus datang membantunya. Aku mengikuti dari belakang. Setelah membaringkan jasad Yesus di atas sebuah batu pipih yang panjang, mereka memborehkan sesuatu ke tubuh Yesus. Aku mengenalinya sebagai minyak mur dan gaharu dari aromanya yang tajam menusuk hidung. Keningku berkerut. Ada yang aneh. Sebelum dikafani untuk dikuburkan, setahuku jasad orang Yahudi hanya dimandikan untuk penyucian yang disebut Tahara. Tidak ada acara pemborehan minyak mur dan gaharu. Kedua minyak itu biasanya digunakan untuk menyembuhkan luka. Aku memikirkan sebuah kemungkinan. Untuk apa Nikodemus membawa minyak mur dan gaharu? Sebagai orang Yahudi, harusnya dia tahu kedua minyak itu hanya dipakai untuk menyembuhkan luka, bukan untuk diborehkan pada mayat. Mungkinkah Yesus hanya pingsan setelah melewati penderitaan fisik yang begitu kejam beberapa jam lalu? Yang kemudian sadar dua hari kemudian setelah minyak mur dan gaharu menyembuhkan luka-lukaNya? Mungkinkah Nikodemus dan Yusuf dari Arimatea ……………
Kesibukan kecil orang-orang di sebelahku membuyarkan lamunanku. Gadis muda di samping kananku menutup Alkitab bersarung kain merah muda dengan lembut. Takut ada lembaran yang terlipat. Beberapa pria di belakangku terbatuk berkali-kali. Mungkin kebanyakan merokok. Rupanya, khotbah pendeta Lukas sudah selesai. Beberapa lagu dari Kidung Jemaat kemudian kudengar dinyanyikan dengan sangat merdu.
Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Pikiranku tak lagi berada bersama ragaku. Yang aku sadari, orang-orang mulai berdiri dan saling bersalaman sambil berucap, “Selamat hari Paskah.” Aku segera keluar dari gedung gereja. Tak kuhiraukan gadis ber-Alkitab merah muda yang tersenyum kepadaku sambil mengulurkan tangan kanannya.
Pikiranku dipenuhi dengan minyak mur dan gaharu. Bayangan anakku dengan ratusan tablet Trihexypenidil dan Haloperidol yang telah dikonsumsinya melintas dengan sangat jelas di kepalaku. Kelopak mataku tak sanggup lagi menahan aliran air mata yang menumpuk di sana. Menunggu untuk ditumpahkan. Menghanyutkan sekian mililiter adrenalin yang kata orang bisa mengurangi rasa pedih. Omong kosong.
Tak sekalipun kulewatkan ibadah di gereja setiap hari Minggu. Tak pernah kupejamkan mataku sebelum berdoa terlebih dahulu. Tak pernah kuawali hari-hariku tanpa membaca firmanNya. Tak pernah aku mengumpat dan menyesali telah melahirkan anak yang sakit jiwa. Tak henti-hentinya aku bersyukur di tengah penderitaanku.
Namun apa yang kuperoleh?
Doaku selama dua puluh tahun mungkin hanya menjadi puisi yang indah buat menghibur malam-malamNya. Tak bisakah sekali saja Ia menjawab doaku? Aku tidak akan melupakanNya setelah itu. Kurasa, Ia pun tidak akan kehilangan wibawa di mataku dengan satu kali saja mengikuti kemauanku. Aku sudah menganggapNya sahabat setia yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tapi, aku mulai muak dengan semua kepura-puraan ini. Bersyukur di tengah penderitaan. Berbicara kepada ‘sesuatu’ yang mulai kuragukan eksistensinya. Bersahabat tanpa pernah merasakan kehadiranNya.
Aku capek……
“Yesus, semakin aku mendekat kepadaMu, aku merasa Kau semakin jauh. Apakah aku tak layak? Marahkah Kau padaku? Bosankah Kau menjadi temanku?” Semua hanya berujung pada pertanyaan yang tak bisa kujawab.
“Aku perlu istirahat. Kurasa hubungan kita sudah memasuki fase jenuh. Tersaturasi oleh harapan-harapan yang tak kunjung terwujud. Aku tak mengerti jalan pikiranMu. Ada baiknya kita berpisah untuk sementara. Mencoba merasakan hidup tanpa berharap padaMu. Mungkin dengan cara seperti itu, aku akan mengerti apakah diriMu berarti atau tidak, eksis atau ilusi. Juga, apakah aku akan kangen atau malah benci padaMu?”
“Maaf, aku jenuh……………………………………!!!”

Salatiga, 31 Maret 2007

Friday, June 8, 2007

TANYA

Sepuluh tahun berlalu. Jarak hadir melengkapi ruang dan waktu. Ketiganya ternyata mampu mengaratkan rasa dan esensi yang (dulu) kuyakini tak akan lekang oleh dimensi apapun.

Sejujurnya, aku belum rela kehilangan kenangan manis bersamamu. Namun, aku juga tak bisa bohong bahwa kenangan itu telah mulai pudar. Berkali-kali, aku memutar kepingannya yang terekam dengan baik dalam otakku. Repetisi berujung pada kebosanan dan putus asa. Kau hadir dalam bayang-bayang. Hanya terjangkau oleh pikiran yang akhirnya meletihkanku.

Aku kadang bertanya – entah pada siapa. Mengapa harus ada ketakbersamaan? (Aku tak sampai hati menyebutnya perpisahan). Itukah yang terbaik buat kita? (Kalau iya, mengapa rasanya tidak enak?). Perlukah aku memikirkanmu? (Karena kadang aku merasa sedang menjaring angin). Namun, aku terus bertanya. Tanya yang dijawab tanya.

Akankah hadirmu menghentikan segala tanya?

Ternyata tidak. Tatapan matamu tak lagi sama. Bahasa tubuhmu tak lagi hangat. Aku pun tak lagi seperti yang dulu. Ada rantai yang seolah mengikat kedua tanganku merengkuh pundakmu. Mulutku terkatup. Tak ada kata yang mampu terucap. Kuterima uluran tanganmu seperti berkenalan dengan orang baru. Senyum kamuflase menghiasi bibirku, juga bibirmu.

‘Gimana kabarnya?’ Pertanyaanmu standar tak bermutu. ‘Baik-baik aja. Kamu gimana?’ Jawabanku pun tak lebih baik. Adakah kita memang baik-baik saja? Aku tak yakin. Tapi, hanya itu yang sanggup kuucap. Sepuluh tahun sudah membekukan segala rasa yang ada. Beku hingga tak bisa lagi meleleh. Aku tak lagi nyaman berada bersamamu dan aku yakin kau pun begitu.

Apa yang salah? Dirimu kah yang tak lagi sehangat dulu?, diriku kah yang hanya membawa puluhan tanya? atau jarak dan waktu kah yang membuat kita tak bersama? Hanya tanya yang kudapat.

Entah kenapa, aku terus bertahan di dalamnya. Berpindah dari satu tanya ke tanya yang lain. Ingin meloncat keluar dari lingkaran ini. Bebas dari deretan tanya tak terjawab. Namun, kudapati diriku stagnan di sini. Larut dalam tanya. Tak lagi kulihat beda, ada atau tiada dirimu. Yang ada hanya tanya.

Salatiga, 25 Maret 2007.
‘Ditulis untuk seorang sahabat yang selalu menantangku untuk menulis. Thanks for challenge and support me all the time.’