Tuesday, June 28, 2011

DEPENDENCE

I know I’m nothing
I know I’m aimless
I know I’m lost in direction
And I know you know I depend on you

I admit, I confess
I want you, I need you
And you know I know you’re dependable

But, if only you know it gets me more stunted
If only you feel it’s making me worthless
And if only you realize it deeply tortures me

I could hear the words you’ve always whispered
‘Follow your heart’, you said
I would already have tried it if only I was convinced enough
‘It’s ambiguous’, I said.

I’m dependent, you’re dependable.
Thank you, sorry, and I know you know we both know.


Rantepao, 30 June 2010

JENIUS

Dimensi jarak rasanya kian nisbi. Ribuan mil yang terpisah daratan dan lautan seolah tak lagi punya makna. Kecuali wujud fisik yang memang tak kasat mata di dalamnya, teknologi telah melontarkan manusia pada kenyataan yang kerap membuatku terperangah. Bahwa besaran jarak mendadak menjadi begitu relatif ketika berjumpa dengan teknologi bernama internet.

“Ini Ve yang alumnus SMU eX, yah?” begitu isi sebuah email yang kukirimkan pada seseorang, kira-kira 4 tahun lampau. Namanya kubaca sepintas lalu dalam sebuah milis di yahoo bernama Toraya. Menilik namanya, rasanya aku pernah mengenal seseorang dengan nama itu beberapa tahun sebelumnya. Tidak sealmamater tidak pula terlalu mengenalnya. Seingatku, kami hanya sekali bertemu lewat sebuah jejaring pertemanan. Salah satu teman SMU-nya adalah sepupuku, dan beberapa temannya adalah temanku juga. Suatu kali, ia mengunjungi temannya yang satu kampus denganku dan di situ lah kami berkenalan. Sebatas itu saja. Tak ada komunikasi lanjut sesudahnya, hingga pertemuan kami di milis itu bertahun-tahun kemudian.


Berawal dari email ‘konfirmasi’ yang kukirimkan itu, kami kemudian intens saling berbalas email. Awalnya hanya saling bertukar kabar dan mencari tahu keberadaan kawan-kawan kami yang lain, hingga kemudian berkembang ke tema-tema yang lebih ‘serius’ – mimpi, masa depan, dan asmara. Barangkali, untuk tema yang terakhir lebih tepat disebut curhat. Semuanya mengalir begitu saja. Tak ada rencana, tidak juga janjian. Tiba-tiba saja kami merasa nyaman untuk saling berbagi pengalaman-pengalaman hidup masing-masing. Tentang cinta, Tuhan, dan kehidupan.


Saat itu, ia tengah menjalani salah satu proses hidupnya dalam bentuk dan tempat yang bertahun-tahun silam menjadi impianku. Kuliah di luar negeri. Meski tak persis sama dengan tempat yang kuimpikan sedari kecil, bentuk hidup yang ia jalani menjadi sangat menarik bagiku. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di University of Sydney di usia yang relatif masih muda. Sesuatu yang menahun menjadi mimpiku, meski tak persis sama dan hingga saat ini belum beranjak ke wujud nyata. Tapi, ada semacam antusiasme dalam diriku melihat mimpiku seperti terwujud melalui dirinya. Ada kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagiku dengan pencapaiannya itu. Setidaknya, aku boleh menitipkan mimpi pada mimpinya dengan apa yang sedang ia jalani.

Rasanya, aku adalah salah satu manusia yang paling beruntung di muka bumi ini. Aku dikelilingi orang-orang hebat yang boleh kusebut sebagai sahabat. Manusia-manusia luar biasa yang juga menyebutku sahabat. Mengenal dan mengakrabi mereka adalah kekuatan ketika aku lemah, sumber inspirasi ketika hidup mulai menjemukan, dan teman berbagi apa saja – kekalahan dan juga kemenangan. Perempuan ini adalah salah satunya.Aku tak tahu bagaimana mendefinisikan jenius ke dalam bahasa praktik. 

Aku tak mengenal Albert Einstein atau Isaac Newton, tak juga mengenal Mozart atau Beethoven, apalagi Adam Smith atau Keynes. Aku juga tak tahu berapa nilai TOEFL mereka dan bagaimana mereka berperilaku. Tapi, aku mengenal seseorang yang bagiku layak disebut jenius. Seorang perempuan dengan skor TOEFL 625 ketika pertama kali mengikutinya. Seorang perempuan yang berlangganan dengan nilai high distinctiondi sebuah universitas ternama di Australia untuk mayor Ilmu Ekonomi, yang menurut kawan-kawanku yang berkuliah di fakultas Ekonomi, adalah mayor yang paling susah. Seorang perempuan yang bolak-balik menjadi duta kampus ke berbagai belahan dunia. Dan, seorang perempuan yang senantiasa rendah hati dan tidak menjadi lupa diri dengan potensi luar biasa dalam dirinya.

“Kau memang sudah jenius dari kecil, yah?” Dengan ‘norak’-nya, aku menanyakan itu kepadanya dalam sebuah sesi chatting lewat Yahoo Messenger beberapa tahun lalu. Aku tak berlebihan, bukan? Dengan sederet pencapaian yang sudah ia raih di atas, kurasa tidaklah berlebihan kalau aku bilang seperti itu. Setidaknya menurut ukuranku. 

Ia tertawa (yang aku kenali dari ikon bundar berwarna kuning serupa kepala manusia dengan mulut membuka-tutup) kemudian mengetikkan balasan. “Gimana, yah? Aku tak merasa lahir jenius. Barangkali, aku hanya sedikit tekun dan selebihnya adalah berkat dari Tuhan.”

Aku mematung membaca pesannya, khususnya pada poin yang terakhir. Berkat Tuhan. Aku kerap membaca kisah-kisah orang ‘sukses’ yang menurut mereka adalah hasil dari kerja keras. Sebagian besarnya lagi mengedepankan mimpi dan ambisi (dalam pengertian yang positif) sebagai pemicunya. Namun, rasanya tak banyak yang melihatnya sebagai berkat dari Tuhan. Tentu, ketiga faktor tadi – kerja keras, mimpi, dan ambisi – tetap saja perlu demi mencapai ‘kesuksesan’, namun tambahan faktor keempat – berkat – menjadi sesuatu yang luar biasa. Bahwa ada kuasa yang senantiasa menaburkan benih-benih anugerah untuk bertumbuh dalam diri setiap pribadi. Lagi-lagi, aku merasa menjadi manusia paling beruntung di bumi ini. Aku tak perlu susah-susah mencari tempat berkaca untuk melihat indahnya hidup. Ada seseorang, yang bahkan boleh kusebut sahabat, yang selalu ada untuk menjadi cermin itu.

Beberapa jam yang lalu, kami (lagi-lagi) saling bertukar kabar lewat Yahoo Messenger. Saat ini, ia tengah berjuang melawan alergi dingin di suhu sekitar 10 derajat Celcius di Eropa sana. Ia diundang oleh pemerintah Jerman untuk mengikuti short course yang membawanya melintasi negeri-negeri bersalju mulai dari Jerman, Belanda, hingga Romania. Kami tertawa (meski tak saling melihat dan mendengar) ketika aku menuduhnya jarang mandi dalam kondisi cuaca sedingin itu. Juga ketika ia salah naik kereta ke Rotterdam padahal kota yang ditujunya adalah Den Haag.

I don’t know. I think I am just blessed.” Begitu (lagi-lagi) ia menjawab ketika aku bertanya apa kira-kira yang membawanya pada hidupnya sekarang. “Dan, rasanya akan lebih indah jika capaian-capaian ini dirasakan dalam kebersamaan dengan sahabat-sahabat, dinikmati bersama-sama dengan berbagi.


Di akhir ‘obrolan’ kami, ia menambahkan sebaris pesan yang tiba-tiba saja memburamkan pandangan mataku, “mengalami banyak perjalanan dan mengunjungi tempat-tempat yang jauh mengantarku pada kesadaran bahwa there’s no place like home.


Untuk Ve, ‘kebersamaan’, semoga tak sanggup dibatasi oleh ruang. Berbagi kisah, barangkali adalah sebuah bentuk kebersamaan tersendiri yang tak terjamah dimensi.Always being proud to have you as a best friend of mine.

Bandung yang dingin, 17 Mei 2010, 1:41 am

Friday, February 4, 2011

BUKAN MATAHARI, BUKAN PULA HUJAN

Matahari tak pernah menyembunyikan cahaya. Tak pernah hanya menyinari orang-orang baik lalu menutup diri kepada orang-orang jahat. Ia memberi energi agar tumbuhan bisa berfotosintesis, bahkan kepada yang tidak membutuhkannya. Tapi, pernahkah ia tahu kalau ia berkontribusi terhadap kekeringan yang terjadi di mana-mana? Pernahkah ia berpikir kalau energinya yang berlebihan membuat klorofil tak lagi hijau?

Hujan tak pernah memilih. Tak pernah hanya mengisi sumur-sumur orang baik lalu membiarkan sumur-sumur orang jahat kering sepanjang masa. Ia menjadi sumber makanan bagi semua tumbuhan, bahkan bagi kaktus yang tak butuh terlalu banyak air. Tapi, pernahkah ia tahu kalau seseorang telah kehilangan pekerjaannya karena lupa mengangkat cucian yang kehujanan? Pernahkah ia peduli ketika seseorang diputuskan pacarnya hanya karena membatalkan janji kencan dengan alasan hujan?

Matahari mungkin tak salah. Hujan mungkin tak keliru. Mereka hanya memberi apa yang mereka punya. Sesuatu yang barangkali mereka anggap cinta dan kasih sayang. Tapi, kau bukan matahari, bukan pula hujan. Kau manusia yang punya akal, logika, dan perasaan. Cintamu barangkali analog dengan cinta matahari dan hujan kepada bumi, namun tetap saja kau bukan matahari, bukan pula hujan.