Saturday, January 23, 2010

BF

Jangan berpikir aneh-aneh dulu! Yang jelas bukan singkatan dari Blue Film, bukan pula Boy Friend. Aku lupa persisnya apa tapi seingatku, awalnya diinspirasi dari ‘Boncis Family’. Boncis, kata dalam bahasa Toraja yang berarti buncis. Aku selalu tersenyum acap kali mendengar kata ini disebutkan orang, sekalipun memang untuk maksud yang sebenarnya; sejenis kacang-kacangan berbentuk batangan berwarna hijau yang katanya lebih enak kalau dipotong serong jika hendak dibuat sayur. Phaseolus vulgaris, begitu nama kerennya.

Jangan pula terlalu penasaran dengan ‘boncis’! Nanti akan kuberitahu artinya. Dan, kusarankan untuk tidak terburu-buru menanyakan artinya kepada generasi muda Toraja zaman sekarang. Kujamin, mereka akan tersenyum bahkan mungkin tertawa. Bersabarlah sedikit!

10 tahun lampau, kata ini begitu populer di kalangan para mahasiswa Toraja di Salatiga. Pula bagi kawan-kawan kami dari daerah lain saking seringnya aku dan kawan Toraja-ku saling memanggil ‘boncis’ ketika bertemu di kampus. Seorang kawan Sumba pernah bertanya, “Kok semua orang Toraja dipanggil boncis? Nama panggilan kah?” Ah, kawan! Agar kau tak berpikir macam-macam anggap saja begitu. Kutambahkan pula, itu panggilan akrab. Sejak itu, resmilah semua mahasiswa Toraja di kampusku, termasuk aku, dipanggil boncis. Aku pun memanggil kawan-kawan akrab non-Torajaku dengan panggilan serupa.

Dalam rentang waktu yang sama, beragam kata dan dialek aneh pun mulai mengakrabi telingaku. Saat membeli rokok edisi paket hemat alias ketengan di warung, ibu penjualnya bertanya, “pinten, Mas?” yang kujawab dengan, “Sampoerna Mild, Bu.” Kurasa mukaku memerah sesudahnya karena ternyata si ibu menanyakan berapa batang yang mau kubeli. Kali lain ketika hendak meminjam hekter pada kawan tetangga kamarku dari Kupang, ia bilang “Son’ ada”. Tidak ada. Sesudahnya kata itu menjadi favoritku hingga sekarang, sonde. Sejak itu pula, aku kemudian tahu bahwa di tempat lain hekter disebut staples. Ada pula yang hampir di setiap kalimatnya selalu menyebut ‘ngana’ atau ‘ngoni’. Kalau yang menyebutkannya perempuan, biasanya selalu berwajah cantik dan berkulit putih.

Setahun setelah boncis resmi jadi nama panggilan, beberapa orang kemudian menjadi kawan keseharianku. Selain karena tinggal bersama di asrama yang otomatis setiap hari hampir selalu bertemu, beberapa di antaranya merupakan rekan sefakultas yang sering berangkat bareng ke kampus. Mengikuti prinsip survival of the fittest ala Charles Darwin, terkumpullah kami, 13 orang dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Kami menamai kelompok kami ‘BF’. Singkatan dari Big Family yang akhirnya kami sepakati bersama kemudian. Bukan lagi Boncis Family.

BF punya acara rutin tak teragenda. Kadang tanpa dikomando siapa-siapa, tahu-tahu kami sudah berkumpul di bak cuci di belakang asrama untuk sekadar mengobrol atau menemani yang sedang mencuci pakaian. Kadang pula, kami duduk di kursi tembok di bawah pohon besar untuk bernyanyi dan bercerita. Tak selalu lengkap, tapi perlahan-lahan sesuatu mulai tumbuh dalam hati kami masing-masing. Semacam perasaan membutuhkan dan mencari bila tidak bertemu seharian. Bahkan ketika beberapa di antaranya memilih untuk keluar dari asrama dan tinggal di kos-kosan, termasuk aku, kami masih sering berkumpul. Kini, tak hanya di asrama atau di kampus tapi lebih sering di rumah kontrakan salah satu anggota BF. Selain menyewa CD Film untuk ditonton ramai-ramai, kami kerap memasak bareng untuk makan siang. Tentu saja menu seadanya ala mahasiswa perantau yang tak banyak uang. Tahu-Tempe sambal dan sup. Kadang ada ayam goreng dan es buah jika awal bulan. Di dalam kamar kawan kami yang tak terlalu luas itu, kami kemudian akan berdempet-dempetan memenuhi ranjang dan lantai untuk menonton film sewaan yang diputar di komputer. Kawan kami yang satu ini merupakan salah satu dari dua yang memiliki komputer di antara kami ber-tigabelas. Salah satu di antara kami - si sonde – sangat sering mendapat protes dan lemparan bantal bahkan tepukan di bahunya karena mulutnya tak berhenti mengomentari film yang sedang kami tonton.

Begitulah. Masa-masa itu sungguh indah dan membahagiakan. Jika aku tak salah, tak satu pun di antara kami yang sedang berpacaran saat itu sehingga pertemanan kami menjadi begitu eksklusif. Kalau pun ada sepertinya tak terlalu serius karena kurasa kami lebih menikmati kebersamaan kami. Tiga belas orang dari seberang pulau yang berbeda-beda yang tak sengaja bertemu di tempat dan tujuan yang sama. Menuntut ilmu demi masa depan yang lebih baik dan hidup yang lebih bermakna. 8 perempuan dan 5 lelaki dengan uang kiriman yang tak seberapa banyak meski tak juga bisa dibilang sangat kurang. Yang jelas tidak mungkin untuk hidup foya-foya dan membeli barang sesuka hati. Jika kehabisan uang – biasanya di akhir bulan – tak jarang kami saling meminjami agar tak sampai kelaparan demi mengurangi jatah makan yang dua kali sehari. Entah aku yang amnesia atau sok tahu, tapi seingatku dulu kami memang tak pernah sarapan. Bangun pagi jam 6, mengantri mandi kemudian berangkat ke kampus untuk kuliah pagi jam 7. Selain untuk menghemat uang bulanan, masih sangat jarang warung yang buka pada jam segitu. Sarapan pun baru bisa sekitar jam 10 atau 11, sekalian makan siang.

Lazimnya setiap pertemanan, konflik pun kadang menghiasi persahabatan kami. Ada yang tersinggung dengan guyonan yang keterlaluan, ada pula yang tanpa alasan jelas. Namun, tentu saja detailnya tak mungkin kuceritakan di sini. Selain karena tidak perlu, jujur saja, aku sudah lupa. Yang menyisa dalam benakku hingga kini hanyalah persahabatan dalam kebersamaan. Ketika berada jauh dari rumah dan keluarga, siapakah lagi keluarga selain sahabat-sahabat? Ketika dukamu adalah duka mereka, tangismu adalah tangis mereka dan bahagiamu juga adalah bahagia mereka, tak cukupkah itu menjadikan mereka saudaramu?

Malam 25 Desember tahun ‘99 (atau ‘00?), layaknya sebuah organisasi resmi, kami mengadakan kebaktian Natal BF. 'Dresscode'-nya, ‘bebas tapi harus ada penjelasan.’ Dengan sebatang lilin besar karena tak cukup banyak uang untuk membeli lebih, kami merayakan kelahiran Yesus Kristus di rumah kontrakan salah satu kawan yang punya komputer tadi. Natal yang syahdu tak rusak hanya karena si pengkhotbah terlalu boros menggunakan kata ‘bukan’ dalam intonasi yang ragu-ragu di setiap akhir pertanyaan retoriknya. Khususnya buatku karena akulah si pengkhotbah dadakan malam itu. Salah seorang perempuan datang dengan gaun berwarna merah jambu yang sangat indah. Ketika gilirannya menjelaskan alasannya mengenakan gaun itu, ia bilang begini. “Kalian adalah hal terindah dalam hidupku dan mungkin saja malam ini adalah malam terakhirku bersama kalian, jadi kupilih baju terbaik yang pernah kupunya.” Ada yang kemudian menghangat di kedua sudut mataku. Dari puluhan Natal yang pernah kualami, malam itu salah satu yang terindah. Mudah-mudahan begitu pula dengan mereka. Puji Tuhan, malam itu bukan pula malam terakhir perempuan bergaun merah jambu itu bersama kami.

Di malam yang lain bertahun-tahun kemudian, mungkin malam terakhir kami bersama-sama, kami berkumpul lagi. Entah siapa yang mengusulkan, kami kemudian saling membuka hati. Masing-masing berkomentar tentang kesan dan pesan bagi yang lain. Banyak pengakuan terungkap saat itu: kesal yang terpendam, amarah yang tak terkespresi, dan kekaguman yang disembunyikan. Ada yang bahkan bertestimoni seraya menahan isak tangis. Ah, betapa aku merindukan kebersamaan itu lagi, sahabat-sahabatku.

Ijinkan aku mengenalkan mereka satu demi satu.

1. ‘Papi’ Apong. Orang Menado yang sebetulnya tak cukup layak diangkat jadi ‘papi’ namun karena tampangnya boros akhirnya kami ikhlas memanggilnya ‘papi’. Selain itu, di antara 4 lelaki lain dalam BF, tidak ada yang lebih pantas menyandang gelar itu. Ingatkah ketika malam sebelum ujian skripsi kita malah asyik bermain game di kamar kosmu? Kemudian paginya kita pergi berdoa di kuburan di bukit Bugel, hanya karena tak ada tempat lain yang lebih sepi dari pandangan orang-orang untuk berdoa?

2. 'Mami' Hetty. Perempuan Sumba yang disepakati secara aklamasi untuk menjadi ‘mami’. Dewasa, tutur katanya lembut dan bijkasana. Kau masih utang sebuah cerita padaku!

3. Nila. Orang Jawa tapi besar di Kendari. Kandidat kedua yang sebenarnya juga layak jadi ‘mami’ namun karena keseringan tertawa sehingga tidak jadi dicalonkan. Bicaranya bak puteri Solo dengan cara tertawa yang khas; melengking tinggi dalam tempo yang agak lambat. Pernah membuat kami terbahak dengan kalimatnya yang memuat kata ‘global’ di tengah topik perbincangan yang sangat tidak serius.

4. Vone. Dara Menado dengan kulit seputih kertas. Agak tomboy dan sangat ringan tangan. Perempuan bergaun merah jambu di Malam Natal.

5. Rani. ‘Cabe rawit’ imut dari Toli-toli. Jangan coba-coba mendebatnya kalau tak punya konsep yang jelas. Sangat tegas dan teguh pendirian tapi lucu kalau lagi manja.

6. Ata. Si hitam manis asal Ternate. Tipikal ibu rumah tangga idaman banyak pria; sangat feminin, sabar dan sepertinya tidak pernah marah. Beberapa tahun lalu, ia meninggal ketika berjuang melahirkan anaknya yang pertama. Saudaraku, you’re always in our heart.

7. Iman. ‘Provokator’ dari Toli-toli. Sangat lihai memancing obrolan untuk ‘mencela’ kami, khususnya si sonde. Ingatkah tingkah ‘gila’mu ketika berbicara kepada lampu merah di perempatan depan penjara? Yang membuatku ikutan ‘gila’?

8. Yunda. Si cantik dari Poso, pemilik rambut terindah yang pernah kulihat langsung. Pipinya bersemu merah muda ketika malu-malu. Tak pernah marah dan sangat baik hati.

9. Elly. Si pintar yang penuh kejutan dari Kendari. Aku selalu ingat dengan resep tempe gorengmu. Ketumbar ditumbuk halus di cobek lalu diberi sedikit air untuk merendam tempe sebelum digoreng.

10. Fitri. Perempuan lincah dari Sumba. Penuh canda dan tawa. Juga kepercayaan diri yang ‘berlebihan’. Ingatkah ketika kita – kau diapit aku dan Iman – berjalan melewati koridor gedung C yang di bawah tangga lalu kau ikutan merunduk agar kepalamu tak terbentur, padahal tangganya masih puluhan sentimeter di atas kepalamu? Kau masih utang menginapkanku di rumahmu kelak jika aku ke Sumba, yah!

11. Frans. Si Batak yang Jawanya medok karena lahir-besar di Surabaya. Selalu setuju dengan ide apapun dan siapapun.

12. Theo. Si Sonde dari Kupang. Yang satu ini sengaja kutulis terakhir karena di antara anggota keluarga BF yang lain, dia lah yang paling lama dan paling sering berinteraksi denganku. Tinggal di unit asrama yang sama, dengan kamar yang berhadapan. Sama-sama memilih jurusan yang sama di tahun pertama, kemudian sama-sama pula pindah ke jurusan yang sama tahun berikutnya. Memilih mayor yang sama, topik penelitian yang sama, kemudia lulus bersamaan. Berdua, kami ikut dalam Paduan Suara kampus meski kuakui suaranya jauh lebih bagus. Kami pun pernah membentuk grup vokal bersama 3 teman yang lain dengan prestasi tertinggi menjadi wedding singer di pernikahan salah satu kenalan. Jika ada persahabatan yang kuawali dengan melulu ketidakcocokan, maka ‘si kribo’ inilah orangnya. Awal perkenalan kami dipenuhi selisih pendapat bahkan kadang sengit. Karena kebersamaan yang terus menerus, selapis demi selapis ‘beda’ itu meluruh. Menyisakan pribadi yang kemudian justru sangat hangat dan menyenangkan. Ingatkah ketika kita mengerjakan laporan praktikum di bawah remang lampu cafe ketika sedang kecanduan berkaraoke dengan tarif yang sangat terjangkau? Ingatkah ketika hari pengumuman hasil ujian skripsi, kita saling memeluk tanpa peduli pada hujan yang sedang mengguyur deras sambil membisikkan ucapan selamat? Aku yakin kau ingat karena kita berdua menitikkan air mata bahagia saat itu.

*‘boncis’ dalam pengertian anak muda Toraja sekarang artinya perempuan nakal, bispak alias bisa pake.

**Untuk anggota BF, kapan kita reuni?


Belantara Borneo, 23 Januari 2010.

Monday, January 11, 2010

AIR MATA PERTAMA

Perempuan aneh: tak mahir bersolek, tak pandai memasak.
Mungkin, begitu orang-orang mengenalmu. Sebelum kauhujani aku dengan protes dan penjelasan, kukatakan padamu begitu pulalah aku mengenalmu. Dulu. Namun kini, wahai kalian, orang-orang yang merasa mengenal perempuan ini dengan baik, kuberitahu sebuah rahasia. Jika kalian masih beranggapan seperti itu, kujamin kalian salah besar. Ia sudah mahir bersolek. Setiap bulan ia menyatroni salon, lho! Ia pun jago memasak, kini. Sering ia mengundangku menjadi penikmat resep kreasinya sendiri. Dan kuberitahu, masakannya enak. Serius.

Perempuan mandiri: tak banyak mengeluh, independen.
Mungkin, tak banyak yang mengenalmu seperti itu. Namun sebelum kau mulai berekspresi ‘lebay’ untuk mengatakan terima kasih, kukatakan padamu memang begitulah sosokmu kuakrabi. Ada yang pernah bilang, kau terlalu koleris hingga serupa dengan gunung terjal yang berdiri angkuh. Aku tertawa. Kuberitahu sebuah rahasia lagi, wahai kalian yang terlalu takut untuk melangkah. Berjalanlah! Mendekatlah! Sedikit saja. Akan kalian dapati sosok seorang perempuan yang kokoh, di mana kalian akan tahu apa artinya ‘tegar’.


Perempuan perkasa: tak pernah menangis, ‘dominator’.
Mungkin, sangat sedikit yang tahu itu. Sebelum kau merenung dan bersenandika untuk mempertanyakannya, kukatakan padamu itulah yang membuatmu menjadi seseorang yang luar biasa bagiku. Perempuan maskulin yang tidak kelaki-lakian. Segala hal sanggup kau lakukan, segala urusan mampu kautangani. Sebuah bukti bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin.

Hari ini, di sebuah hari yang akan menyejarah dalam hidupmu, kukenakan baju terbaik yang pernah kupunya. Seperti kau bagiku; sahabat terbaik yang pernah ada. Sekemilau cincin pernikahan yang kemudian diraih oleh Pendeta dari telapak tanganku untuk kausematkan di jari manis tangan kanan suamimu. Pertama kali dalam hidupku, aku melihatmu begitu perempuan. Gaun putih, rambut tersanggul feminin, wajah berias kosmetika, dan seikat bunga di tanganmu. Cantik dan memesona.

Di hari ini pula, untuk pertama kalinya aku melihat matamu berurai air mata. Air mata bahagia yang kuempati dengan sungguh-sungguh. Ketika kausujud di kaki ibumu memohon restu kemudian memeluknya sambil terisak. Kau menangis lagi. Ketika kujabat tanganmu dengan erat, mencium pipimu, kemudian memelukmu lama. Kubisikkan ini di telingamu, ‘I’m happy for your marriage. Thanks for being my best friend.’ Hanya itu, sesingkat jawabanmu kemudian, ‘thanks’. Tapi aku yakin, kita sama-sama tahu bahwa jutaan kisah bersembunyi di sebaliknya. Kisah tentang sebuah persahabatan yang tak lekang membuatku takjub akan ketulusan dan kepercayaan. Sebuah persahabatan yang tak pupus membangun mimpi akan sebuah hidup yang lebih bermakna. Sebuah persahabatan yang… apa adanya.


Sahabatku, selamat untuk pernikahanmu! Bertumbuhlah dalam cinta yang mengabadi.

Rantepao, 9 Januari 2010. 10:15 pm

KADO TAHUN BARU

Duduk di teras rumah, menatapi langit yang meriah oleh warna-warni kembang api dan bunyinya yang memekakkan telinga. Tidur lima belas menit kemudian hingga pagi pertamaku di tahun ini menyambut dengan hangat. Tidak ada yang istimewa, bukan? Tak ada kontemplasi dengan sebatang lilin yang menyala di meja kamar, tak ada doa-doa sarat harapan dan sebuah kertas bertuliskan target hidup untuk setahun ke depan seperti yang dulu kerap kulakukan.

Entah sejak kapan tak lagi kukultuskan momen-momen serupa itu: Ulang Tahun, Paskah, Natal, dan Tahun Baru. Tak juga kutahu penyebabnya. Hidup berjalan ke mana dia suka, menyeretku ke dimensi-dimensi yang kerap mengejutkan, hingga aku mendapati diriku tak lagi sama. Barangkali, memang tidak ada yang abadi.

Lima jam setelah kuhirup udara pagi pertamaku di tahun ini, telepon di meja kamarku bergetar. Dadaku mengombak melihat nama yang muncul di layarnya. Sejak semalam, kunantikan kabar darinya. Seorang perempuan yang namanya kupatri dengan indah pada ceruk hatiku. Menahun kuakrabi sosoknya, mengenalinya perlahan dalam tempo yang lambat hingga kini, tanpa aksara pun, aku sanggup membaca hatinya. Aku yakin, ia tak menyengaja mengatur waktu lima jam untuk mengabariku hanya karena ia tahu angka itu sangat berarti bagiku. Dia… perempuan yang kerap membuatku tergugu; kecerdasannya, kerendahan hatinya, dan ketulusan cintanya.

Agar kau tak keliru menafsir, ijinkan aku mengisahkan perempuan itu seperti yang tak bosan-bosan kukisahkan pada orang-orang terdekatku.
Berdua, kami ‘sepakat’ untuk menjadi anak bungsu dari lima bersaudara. Dulu, ayahnya yang membaptiskan aku menjadi seorang pengikut Kristus ketika aku berumur setahun. Namun, kami saling mengenal justru puluhan tahun sesudahnya, ketika kami (lagi-lagi) ‘sepakat’ untuk menjadi mahasiswa perantau di universitas yang sama. Seperti yang tadi kukatakan kepadamu, hidup selalu penuh dengan kejutan. Tidak ada yang istimewa dalam awal perkenalan itu. Semua berjalan biasa saja, hingga kemudian hidup membawa kami pada sebuah kondisi yang menyadarkanku bahwa ternyata dia sungguh istimewa.

Kelak, ketika kau mengalami hal yang sama denganku, mungkin akan kaupahami maksudku. Seseorang yang dengannya topik apa saja bisa menjadi obrolan yang panjang dan menarik. Seseorang yang kau rindukan begitu ia tak ada di sampingmu. Seseorang yang pertama kali akan kau beritahu ketika kau bahagia juga ketika kau bersedih. Seseorang yang tetap akan menjawab teleponmu tengah malam sekalipun dan meladenimu mengobrol hingga fajar menjelang. Seseorang yang tak pernah bertanya ‘kok putus?’ ketika telepon kami mendadak terhenti karena masalah jaringan atau kehabisan pulsa. Seseorang yang…

Aku maklum jika kau kemudian akan mencurigai dia sebagai kekasihku. Dulu, kawan-kawan kami pun melakukan hal yang sama. Aku ingin bilang bahwa aku tak pernah sekalipun mengatakan aku menyukainya, dia pun tidak. Namun, kami sama-sama tahu bahwa kami saling menyayangi. Cukupkah bila kukatakan bahwa kami bersahabat? Semoga saja iya, karena memang itulah yang sesungguhnya.

Persahabatan. Kata yang kugumuli sangat lama hingga kemudian aku mengenal perempuan itu. Suatu hari, mungkin akan kausaksikan orang-orang yang datang dan pergi dalam hidupmu. Orang-orang yang kemarin berbagi cawan minum denganmu yang esoknya bahkan tak lagi mau mengenalmu. Kawan yang di depanmu berlaku serupa domba namun di belakangmu berubah menjadi serigala. Aku tak sedang menyumpahimu, tapi kuberitahu, orang-orang semacam itu ada dan aku pernah mengenal beberapa di antaranya. Bahkan mungkin, termasuk aku.

Ketika persahabatan kemudian menjadi utopia, dan kau mulai skeptis terhadapnya, apakah yang kemudian akan menyisa? Aku tak tahu. Sungguh. Namun, ketika aku berada dalam fase seperti itu, aku bertemu dengannya. Perempuan itu hadir. Tanpa komitmen, tanpa syarat, dan tanpa harapan. Dia hanya hadir. Begitu saja. Ketika rasio tak bisa menalar, logika tak bicara apa-apa dan hanya kemenyerahan yang aku punya.

Tadi siang, perempuan itu mengabarkan sebuah berita yang membuat dadaku mengombak. Ia menelepon untuk mengabarkan kelahiranmu yang sudah kami nantikan sepanjang bulan terakhir di tahun kemarin. Sebuah penantian panjang karena dokter pun keliru memprediksi hari kelahiranmu; meleset berhari-hari dari tenggat waktu yang diperkirakan. Bayi perempuan yang kemudian lahir normal, tanpa induksi, tanpa operasi. Sebelumnya, aku pernah bermain tebak-tebakan dengan perempuan itu – ibumu – soal tanggal kelahiranmu. Kukatakan padanya bahwa kau akan lahir pada tanggal 12 Desember agar sama dengan tanggal lahir dari seorang anak lelaki tiga bulan sebelumnya yang bagiku merupakan saudara kembarmu. Ayah anak laki-laki itu adalah versi maskulin dari ibumu. Padanya kumiliki cinta yang sama dengan cintaku pada ibumu. Namun, dugaanku meleset. Lagi-lagi, hidup selalu tak bisa ditebak. Jika saja kau lahir sesuai tanggal yang kuharapkan, maka mungkin aku akan menyayangimu karena itu. Ibumu pernah bilang kalau ia ingin orang-orang menyayangimu bukan karena ada sesuatu di sebaliknya, tapi karena apa adanya dirimu. Sekali lagi, ibumu membuatku tergugu. Dan, tahukah kau? Ketika ibumu akan dibawa ke ruang bersalin, ia bahkan masih sempat mengingatku untuk mengabarkan itu. Sayang, baterai teleponnnya habis hingga tak bisa menghubungiku. Dan, ia meminta maaf untuk itu.

Kelak, ketika kau besar, kuharap aku masih di sini. Melihatmu bertumbuh lewat tangan seorang perempuan yang menyejarah dalam hidupku. Seorang sahabat yang selalu ada tanpa perlu hadir. Seorang sahabat yang menguatkan imanku ketika aku meragukan ke-Tuhanan Yesus. Seorang sahabat yang menyejukkan ketika hidup melulu gerah. Seorang sahabat yang tertawa senang ketika berhasil menemukan kebodohanku, dan aku pun menertawainya untuk alasan yang sama. Seorang sahabat yang dengannya aku tak mengenal ‘maaf’ dan ‘terima kasih’ karena semua kesalahan sudah termaafkan sebelum ‘maaf’ terucap dan semua kebaikan adalah ketulusan sebelum ‘terima kasih’ mengikutinya. Seorang sahabat yang…


Cepatlah besar, Nak! Banyak kisah yang menunggu untuk diceritakan.


Rantepao, 1 Januari 2010. 08:10 pm


MINGGU PAGI

Aku takjub melihat kanak-kanak. Ketika hidup melulu bertanya: ‘apa itu?’, ‘kenapa begitu?’. Manakala berlari tak perlu tujuan, dan menangis-tertawa tak butuh alasan. Berkelahi merebutkan mainan, bermain bersama tanpa dendam kemudian. Adakah hidup yang lebih damai dari itu?

Aku ‘no comment’ melihat orang dewasa. Ketika hidup monoton berkompromi: ‘memang begitu’, ‘mungkin sudah takdirnya’. Bahkan berjalan pun harus punya tujuan, dan menangis-tertawa punya alasan masing-masing. Bersaing demi prestasi dan posisi, dendam kesumat tujuh turunan menyertainya. Bukankah itu hidup yang mengerikan?

Puluhan tahun lampau, Minggu pagi adalah momen terindah dalam seminggu. Alkitab mungil di tangan kiri, uang 100 perak untuk persembahan di saku celana kanan. Waktunya bernyanyi, bertepuk tangan, dan bermain. Bagi Yesus. Tak perlu iming-iming surga-neraka, semua merindukan Sekolah Minggu.

Puluhan tahun berikutnya, Minggu pagi tetap jadi momen terindah dalam seminggu. Tiket perjalanan liburan di tangan kiri, jutaan rupiah dalam dompet di saku celana belakang. Waktunya bangun siang, leha-leha, dan liburan. Bagi… Yesus? Hmm… Entahlah. Kalau tidak ke gereja masuk neraka nggak yah?

“Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” (Markus 10:15)



PS. Untuk keponakan-keponakanku, Aaron, Vani, Opink, Adel, dan Sena serta semua anak-anak kecil. Ajari paman menjadi sepertimu.

Rantepao, 20 Desember 2009.