Sunday, September 8, 2013

UNDANGAN PERKAWINAN HIJAU TOSCA

Selembar kartu undangan tergeletak di permukaan meja ruang tamu. Warnanya hijau tosca. Nama ayahku tertera pada persegi panjang kecil berwarna putih di dekat sudut kanan bawah. Tanpa seizin ayahku – yang kupikir tak perlu – aku segera membuka undangan itu. Kutipan ayat Alkitab yang menjadi kalimat pengantar kubaca sepintas. Pandanganku segera mencari nama kedua calon pengantin, karena untuk alasan itulah aku membuka undangan itu. Lalu, aku tertegun setelah membaca nama calon pengantin pria.
Di kampung kita, pranata mengakar kuat dalam serabut-serabut kehidupan. Aku yakin kausetuju itu. Perihal mengundang tetamu untuk sebuah perkawinan pun termaktub di dalamnya; sanak famili tak sopan diundang lewat selembar kertas. Bukan harga mati memang, namun apakah keliru mematuhi istiadat meski sulit mengutubkan benar-salahnya?
***
                Terlisan sebuah kisah turun-temurun dari padang bernama Rura. Daerah itu subur sentosa. Padi, jagung, ubi, dan sayur-sayuran silih berganti dihasilkan sepanjang musim. Kerbau, ayam, dan babi-babi montok tak putus berkembang biak. Air sungai yang mengalir dari utara melimpahi daerah itu dengan kemakmuran. Penduduknya hidup berkelimpahan di tanah yang terberkati.
                Tersebutlah seorang penguasa bernama Londong di Rura yang kekayaannya tak terbilang. Sawah, ladang, dan ternak semua ia punya. Istrinya, Kombong di Rura, adalah perempuan termolek di seluruh negeri yang memberinya sepasang anak laki-laki dan perempuan. Karena kesempurnaan hidupnya, Londong di Rura tak lagi takut pada apapun. Keberaniannya tersohor ke seluruh pelosok negeri.
                Ketika kedua anaknya dewasa, Londong di Rura bersepakat dengan istrinya untuk mengawinkan kedua adik-beradik itu. Hemat mereka, tak akan bisa ditemukan jodoh yang layak untuk disandingkan dengan keturunan dari penguasa negeri yang kekayaannya tak tertandingi. Para tetua kampung pun bersetuju. “Alangkah eloknya jika kedua anak itu dipersekutukan dalam tali perkawinan. Tak perlu risau karena tak ada aluk1 yang akan dilanggar,” kata para tetua kampung meyakinkan.
                Maka digelarlah perhelatan perkawinan yang meriah di kala’paran, tempat melangsungkan upacara-upacara sukacita. Penduduk kampung datang berduyun-duyun menghadiri pesta yang diyakini akan mengukuhkan aluk baru tentang perkawinan sedarah. Wajah-wajah penuh kebanggaan memenuhi pelaminan, terutama pada Londong di Rura dan – barangkali – kedua mempelai.
Tatkala kemeriahan menyelimuti tempat itu, tanah di kala’paran mendadak bergetar. Orang-orang sontak panik. Mereka berlarian ke segala penjuru sambil bertanya-tanya gerangan apa yang sedang terjadi. Pertanyaan yang urung terjawab manakala bumi tempat mereka berpijak amblas ke dalam tanah. Kala’paran itu tenggelam menuju pusat bumi, melenyapkan manusia-manusia yang tengah berpesta pora. Lalu tempat itu diliputi air yang kemudian menjelma sebuah danau.
                Orang-orang yang luput dari malapetaka itu menjadi ketakutan. Dalam benak mereka, musababnya tentulah perkawinan sedarah kedua anak Londong di Rura. Namun, mereka tak berani menghakimi tersebab perhelatan itu telah disepakati oleh para tetua kampung. Mereka segera memanggil orang-orang dari kampung tetangga untuk meminta pertolongan. Setali tiga uang, tak satupun yang berani memberikan penjelasan.
                Lalu bermufakatlah orang-orang itu mengutus seseorang untuk meminta petunjuk Puang Matua2. Utusan itu segera menuju ke langit melalui eran di langi’ – tangga penghubung bumi dan langit. Di sana, Puang Matua menjawab, “Tanamlah seperdua dari sebiji pinang! Jika masing-masing dari seperdua biji pinang itu bertunas dan bertumbuh, maka perkawinan sedarah boleh dilangsungkan.” Utusan itu tak memahami sabda Puang Matua. Ia bertanya lagi, namun Puang Matua menyarankannya untuk mencari ahli aluk yang tinggal di bumi.
                Sesampai kembali di bumi, utusan itu menyampaikan pesan dari Puang Matua kepada para penduduk kampung. Mereka berembuk lagi dan akhirnya memutuskan untuk mencari Pong Suloara’ yang tinggal di Gunung Sesean, jauh di sebelah utara Rura. Pong Suloara’, setelah mendengar kabar itu, segera menuju ke Rura dengan meniti pelangi. Di Rura, ia menyelidiki malapetaka yang telah terjadi dan menyimpulkan bahwa perbuatan mengawinkan adik-beradik adalah sebuah pemali besar.
                Pong Suloara’ lalu memimpin orang-orang di Rura untuk mengadakan serangkaian upacara penebusan dosa agar Puang Matua mengampuni kesalahan yang telah dilakukan oleh Londong di Rura. Karena kejadian itu, Pong Suloara’ menata kembali aluk yang telah diselewengkan.
***
Minggu pagi, 17 tahun lalu. Aku adalah putri kecil dengan Alkitab mungil, sekeping logam seratus perak untuk persembahan, rambut terkepang dua, dan gaun hijau tosca, siap bernyanyi dan bermain bagi Raja Sorga. Di Sekolah Minggu, ada banyak putri dan pangeran, anak-anak yang – menurut Injil – adalah empunya Kerajaan Sorga. Namun tak semua putri dan pangeran itu adalah anak-anak manis. Beberapa pangeran ada yang nakal. Mereka sering mengganggu dan mengolok-olok aku. Tak jarang aku menangis dibuatnya.
Seperti di minggu pagi itu. Ibadah telah usai. Aku sedang berjalan pulang ketika beberapa pangeran tiba-tiba mencegatku. Mereka berlima, mengurungku dalam lingkaran. Salah satu di antaranya menarik-narik rambut kepang duaku dengan keras. Yang lain kemudian mengikuti, bahkan ada yang mengincar renda-renda gaun hijau toscaku. Alkitab di tanganku terlepas, jatuh ke tanah becek sehabis hujan semalam. Aku berontak namun tangan-tangan mereka menahan gerak tubuhku. Mereka pun tertawa sambil terus berulah macam-macam. Gaun hijau toscaku dilumuri lumpur. Lalu aku hanya bisa menangis.
“Dasar anak cengeng!” ejek mereka.
Tiba-tiba datanglah seorang pangeran yang lain. Ia menghajar anak-anak nakal itu, lalu membantuku berdiri. Pangeran itu memang lebih tua dua-tiga tahun dari aku dan pangeran-pangeran nakal itu. Tubuhnya pun lebih besar hingga mudah saja baginya untuk mengalahkan kelima pangeran nakal yang sudah lari ketakutan.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya pangeran penolongku. Ia menyerahkan Alkitab-ku yang sudah kotor penuh lumpur.
Aku hanya mengangguk. Tapi sesungguhnya aku sedang cemberut. Saban minggu, aku dan pangeran itu selalu pergi dan pulang bersama-sama. Namun pagi itu, aku pulang duluan.
“Maaf yah, tadi aku beres-beres bangku dulu,” ucapnya membaca wajahku yang merengut. Sebenarnya, dia memintaku menunggunya selesai membantu guru Sekolah Minggu mengatur kembali bangku-bangku seusai kebaktian, tapi aku ingin segera pulang. Aku tak ingin kelewatan opera Bobo di TVRI yang biasanya dimulai tepat ketika aku tiba di rumah. Ia lalu menggandeng tanganku di sepanjang perjalanan pulang.
Sejak saat itu, hanya satu orang yang aku panggil pangeran. Pangeran yang kemudian bertumbuh menjadi lelaki yang namanya kupatri diam-diam pada ceruk hatiku yang paling tersembunyi. Lelaki yang matanya adalah tempat berteduh, telinganya adalah tempat penampungan keluh kesah, dan dadanya – yang berbulu-bulu halus – adalah sumber kehangatan ketika angin musim hujan membekukan pipiku.
***
                Tamar dan Absalom adalah anak Daud, Raja Israel. Tamar, perawan jelita yang kecantikannya dikagumi banyak orang, sementara Absalom adalah lelaki paling tampan di seluruh Israel. Mereka bersaudara tiri dengan Amnon. Suatu ketika, Amnon bergundah gulana untuk alasan yang tidak diketahui. Setiap pagi, putra raja itu bermuram durja. Ia menolak semua masakan yang disiapkan oleh juru masak istana.
                Maka datanglah Yonadab, sepupu sekaligus sahabatnya, mencari tahu apa yang terjadi. “Aku menaruh hati pada Tamar, adik perempuan Absalom. Dan, Engkau tentu paham bahwa aku tidak dapat melakukan apa-apa terhadap dia,” kata Amnon pada Yonadab yang terkenal cerdik dan bijaksana.
                Yonadab tersenyum lalu membisikkan saran. Lalu sesuai saran sahabatnya, berbaringlah Amnon dan berpura-pura sakit. Saat Daud datang menjenguk, berkatalah Amnon kepada ayahnya, “Izinkanlah adikku Tamar datang membuatkan roti dan kue di hadapan mataku karena aku ingin melihatnya.”
                Raja Daud segera menyuruh orang menjemput Tamar untuk menengok kakaknya. Perawan itu melakukan apa yang diperintahkan oleh ayahnya. Dengan tangannya, ia membuat adonan kue lalu memanggangnya di hadapan Amnon. Namun Amnon menolak memakan kue itu karena ia ingin berdua saja dengan Tamar di dalam kamar. Amnon lalu memerintahkan semua pengawal untuk keluar dari kamarnya.
                “Marilah tidur denganku, Dik!” kata Amnon ketika mereka sudah berdua saja.
                Tamar menepis tangan kakaknya dan berkata: “Seorang laki-laki tidak pantas berbuat noda seperti itu pada adik perempuannya sendiri. Engkau akan dihinakan seluruh orang Israel.”
                Tetapi Amnon tidak mengindahkan perkataan Tamar. Ia malah menarik adiknya itu ke tempat tidur. “Ayolah, adikku! Tidak akan ada seorang pun yang mengetahui perbuatan ini.”
                Tamar menarik tubuhnya yang kini sudah menindih tubuh Amnon. “Tidak, kakakku. Ke mana hendak kubawa kecemaran ini kelak?”
                Amnon tetap tidak peduli, dan sebab ia lebih kuat dari perempuan itu, diperkosanyalah Tamar lalu tidur dengannya. Ketika bangun, timbul kebencian dalam diri Amnon kepada Tamar, melebihi rasa sukanya pada adiknya itu semula. Ia lalu mengusir Tamar dari kamarnya.
                Selayaknya putri-putri raja yang masih perawan, Tamar tetap mengenakan baju kurung panjang yang gemerlapan. Namun sesampainya ia di rumah Absalom kakaknya, Tamar menaburkan abu di kepalanya lalu mengoyak baju kurung yang iakenakan dan meratap dengan keras.
                Bertanyalah Absalom kepada adik perempuannya: “Apakah Amnon yang telah menimpakan aib ini ke atasmu?”
                Tamar tak menjawab namun Absalom sudah tahu jawabannya. Timbullah kebencian dalam dirinya pada Amnon hingga ia tak mau berkata-kata lagi dengan saudara lelakinya itu. Ketika Daud mendengar perkara itu, sangat marahlah ia. Namun, Daud tak sanggup memberi hukuman bagi putranya sendiri.
                Menahun, Absalom menyimpan dendam kepada Amnon. Suatu ketika, ia mengadakan acara pengguntingan bulu domba di Baal-Hazor, dekat kota Efraim. Absalom mengundang semua putra raja dalam acara itu dan memberi mereka anggur terbaik dari seluruh negeri. Seperti yang ia harapkan, Amnon kemudian mabuk. Ia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk membunuh Amnon. Putra-putra raja yang lain menjadi gemetar lalu melarikan diri kembali ke Yerusalem.
                Kabar terbunuhnya Amnon sampai ke telinga Daud, membuat Raja Israel itu larut dalam perkabungan yang panjang. Sementara itu, Absalom melarikan diri kepada kakeknya, Talmai bin Amihur, raja negeri Gesur. Ia tinggal di sana tiga tahun lamanya. Sesudahnya, Absalom tak lagi berbaikan dengan Daud hingga beberapa tahun kemudian ia tewas dalam pemberontakan terhadap ayahnya sendiri, menyisakan dukacita yang teramat dalam bagi Daud.
***      
                Aku mengecat dinding kamarku dengan warna hijau tosca. Pernak-pernik dalam kamarku: tas, jepit rambut, gelang, kalung, jam meja, hampir semuanya berwarna hijau tosca. Seprai kasurku pun hijau tosca. Aku punya tujuh. Motifnya berbeda-beda.            
Jadi, bukan istiadat – yang sulit dikutubkan benar-salahnya – yang aku perkarakan padamu. Aku, pastilah, adalah perempuan yang tak tahu adat – harfiah maupun kiasan. Aku baru tahu dari ayahku kalau bagi suku Toraja, sanak familli seharusnya diundang secara lisan untuk acara perkawinan. Namun bagiku, lisan ataupun tertulis tidak lagi ada bedanya.
Juga, bukan perihal undangan perkawinan berwujud selembar kertas yang melahirkan murka ayahku pada calon mertuamu. Tentu kautahu bahwa ayahku adalah mantan suami calon mertua perempuanmu, dan calon suamimu itu adalah anak dari ayahku.
Bukan pula menyoal nama lelaki yang bersanding dengan namamu pada kertas undangan itu. Dia, satu-satunya manusia yang aku panggil pangeran, adalah kakak tiriku. Dan tak pernah aku memimpikan namaku yang tertulis di situ menggantikan namamu. Aku lebih takut cemoohan sosial daripada siksa neraka.
Tapi aku menaruh iba padamu, pada warna hijau tosca yang semoga saja bukan pilihanmu sendiri untuk kertas undangan perkawinanmu. Asal kautau saja, tiga dari tujuh seprai hijau tosca-ku adalah saksi ketika aku dan kakakku bergelut di atasnya penuh berahi. Pada motif kembang-kembang, ia yang di atas, pada motif garis-garis, aku yang berada di atas, dan pada yang polkadot, kami bersisian, memagut dan saling meremas.
                Selamat menempuh hidup baru! Barangkali akan kaukenakan gaun pengantin putih bersih, perlambang keperawananmu dan kakak laki-lakiku itu akan memakai setelan jas hitam karena ia sudah tidak perjaka lagi. Kalian berdua akan dipersatukan oleh Tuhan di hadapan pendeta dan para jemaat yang ikatannya tak boleh diceraikan oleh manusia kecuali maut, seperti cincin tak ber-ujung pangkal yang kelak akan kalian sematkan di jari manis masing-masing. Lalu negara, agama, dan kerajaan surga akan mengukuhkanmu sebagai istri sahnya. Namun, iblis telah menyiapkan aku menjadi istrinya yang lain, kelak di kerajaan neraka.

Catatan:
1.       aluk = peraturan adat.
2.      Puang Matua = Tuhan


SIMPLICITY

I am a desert conquered by one grain of sand.
Uncountable in numbers but can be described by a single particle.
Unreachable in distance but I’m just a bunch of sand after all. 

I am chaos kneels before order.
Complexity faces simplicity
And I can’t turn against your gravity.

I love you because I see myself in yours.
I love you because you explain me…


…with your simplicity.

Friday, September 6, 2013

RAINFALL (2)

Time passes, left you far behind as a memory. But it’s not really over, I guess.

The velvet sky suddenly faded into grey. I heard the rumbling of thunder. Then it was pouring outside. I was in the back seat of a taxi on my way for a late lunch. The taxi’s window indistinctly deflected one existence; hence I doubt I perceived the person I used to know, intimately. But it was really you. Standing among the rain, waving your right hand with the same smile as always: satirical, contagious, mysterious.

I used to call you the rainfall. The one who always makes me never wet enough. The one with eyes lingo that can splashes alphabets in random order. And you’re still there, stepping your own meadows that belongs only to you. And I can never be a dweller on it.

Then, I was suddenly stranded. No clue, no sign, no omen, only the rain. Those physical vehicles – the taxi and my body – finally brought me for a late lunch. But it left something I didn’t even realize at first until my curiosity trapped me in one huge question mark: what is this about?’

Among hundreds of days in a year, why did the universe pick that day for us to running into each other? Sort of a fucking serendipity?

What was behind the rain, you, and I – the rain lover? Kind of a goddamn synchronicity?

All of a sudden, I lost my appetite. Those fancy, delicious appearance food was no longer attracted me. Deep down inside, there’s something needs to be fed, needs to be gratified. And I still believe it hungers for only one thing: the rainfall. Even for a single drop.

Fragments of time have been leading us almost everywhere. They drove us to the world where we laughed and cried together, yet to the stillness where we felt we were the owner of this world. And at last, it brought us nowhere.

Call me blind for I see you as the rainfall. But it was also you who made me blind, didn’t you? There’s a thin difference between loving an object after a figure. And I had no idea, whether you were a figure instead of a mere object.


The only thing becomes precise now is you will always be the rainfall: the symbol of impermanency, the representation of a never ending cycle. The messenger of the universe as well.

RAINFALL

“Count on me as the rainfall,” you indistinctly gestured it, but your eyes lingo’s clearly told me just that. It was the first thing came up in mind with no reasons at all, no explanations either. You don’t need such things, do you?

I always love rain as I enjoy reading the language on your face. It is a gift from the universe, but an overwhelming one will lead into calamity. It makes the buds sprouted, but in the other way around causes flood. Forget about human intervention on the last one! That’s not what I currently intend to talk about. Or perhaps, I don’t want to end up in a never ending debate which always wins you.

And your face which is suddenly becomes rain in my eyes, splashes alphabet in random order. It mostly comes as drizzle, but sometimes poured out heavily. Trade your eyes with mine, and you’ll discover how rich yours with space. One gigantic world, but tiny enough for me as you’re the only dweller on it. Both of us could possibly step on the same meadow, but there’s no guarantee we perceive the same grass.

“I begin to believe that you’re such a rainfall in human form,“ I whispered to convince myself. I am wet enough already before you came but I have no answer why this umbrella did nothing. The denser the clouds who sent you, the more I found myself dry. Perhaps, that’s why I don’t need this umbrella.

And at last, I found myself rotten …

Transformed into liquids …

Diluted …

Aqueous …


But still, eagerly to be showered by the rainfall: you.

JARAK

Gunung itu...
Barangkali adalah siluet pertama yang pernah menyambut setiap kepingan pagimu.
Ke sana mataku mencari.
Barangkali kausembunyikan sepotong senyum untukku padanya.

Halimun itu...
Mungkin adalah molekul pertama yang pernah mengisi rongga paru-parumu.
Ia yang kusesap.
Mungkin kautitipkan secuil napasmu padanya.

Tanah lembap ini...
Semoga adalah gurat bumi tempatmu dulu berpijak.
Agar aku yakin kita masih menjejak bumi yang sama.

Aku ingin percaya...
Bahwa rasa (kadang) tak butuh ekspresi.
Karena eskpresi musnah oleh lelah.

Aku ingin percaya...
Bahwa jarak hanyalah ilusi.
Bahwa keterpisahan cuma milik imajinasi.

Aku ingin mencintai(mu) tanpa perlu kata-kata.
Karena kata-kata lenyap dikunyah masa lalu kita lupa.

Aku hanya ingin kautahu...
Aku mencintaimu.

Semoga aku layak.

FIX YOU

Midnight falls and your Winamp still plays the same song. You enjoy it in silence, neither the lyrics nor the melodies verbalized in your lips. We exchange a glimpse but it explains much. The way we look each other, the way this stillness emerges.

“I will try to fix you,” said Coldplay in the Winamp. Thirty minutes with the same sequence of tones and that ‘I will try to fix you’ suddenly becomes a mantra. I’ve been getting used to read metaphors in your eyes, in your gestures.  I believe – instead of, directly tell me what you feel – you set it up in purpose, didn’t you?

I muse on what’s been happening with us. Six months, started with an unexpected occasion. There you were, tricked me with a very sanguine smile. I don’t know you did that to merely impress me or you were showing the other side of you. Six months, and I eventually found you more phlegmatic-melancholic.

This hush is getting stiller and the “I will try to fix you” sounds more intimidating. Being accused for unknown mistakes, feeling guilty for something I don’t even realize. And you choose silence to explain it.

“Lights will guide you home and ignite your bones…” I dig more into the lyrics and find it is more encouraging rather than teasing. Feeling, I went nowhere. It was you who live your own world, creating boundaries so there’s no way for me to enter. But even if you assume I go somewhere else, I see no lights you ignite to guide me home. Or perhaps, I am already color blind as you inflamed green light but I saw it blue.

We exchange another glimpse and there’s a flash in your eyes. It bewitches me to stay still, steals alphabets out of my head, and fulfills me with ‘I will try to fix you’. For God sake, don’t lead me into resentment. But there you are, acting like a judge for any mistakes I don’t even know.

Tracing the last six months and I find everything’s just fine, I guess. I don’t intend to blame you for choosing metaphors to articulate your hearts as I see nothing’s wrong on them, perhaps. And blaming the universe of providing a space for us to be together is negligible. The only thing I know is we were there, at the same space and time, exchanging same senses I falsely interpreted as love.


I think… I will try to fix myself by listening ‘I will try fix you’ more frequently.

CLOSE THE CURTAIN, PLEASE!

The moon silhouette behind my semi-opened curtain. Calmness, hush, stillness. One perfect night for contemplation before bed time. But out of the blue, here comes a message: less expectation leads into extra surprises. The universe has just whispered it right after the moon break open the black clouds.

Sound of horny geckos somewhere in the ceiling. An annoying – intermezzo, entr'acte, interlude. One clear intervention to bring me back into realm before bed time: what was that mean? Hence the universe’s whisper exponentially dilute into the air. I’m now whispering to my own self right after the black clouds vanished behind my semi-open curtain.

“None of us can choose what surprise tomorrow will bring; none of us can escape it.” The moonlight answers, perhaps. I heard no voice come out of my throat. “Then why do you keep questioning what you expect – less, more, or even something in between?” it continues.

“I don’t even think I expect something.” I’m trying to defend myself with a big lie. Who the hell was that – the moonlight or perhaps the horny geckos – which brave enough to judge what I’m thinking?

“There’s a difference between expecting nothing at all than less expectations. Less expectation means you still expect something, even though it’s too small to be counted,” here comes the voice again – the moonlight or perhaps the horny geckos.

“Is it?”

There’s no answer, only the moonlight and the horny geckos.

Five seconds …

Thirty seconds …

One minute …

Still there’s no answer.

I rise and walk to the window. Grab the curtain’s rope and expel the moonlight – also the horny geckos – out of my chamber. “I don’t want big surprises; a small one will be more than enough already. I’m sorry, I have to close the curtain. It’s time to sleep now!”


“Have a nice dream, you there!”

CERDAS 24 JAM

“Tak ada manusia yang selalu cerdas 24 jam sehari.”

“Alasan!” Kau merengut. Matamu menyolot. Rahangmu mengencang. Kedua tanganmu menggantung di udara, tepat di samping kupingmu. Seperti binatang buas siap menerkam mangsa.

Aku tahu kau kesal. Tapi apa lagi yang bisa kubilang? Tak pernah ada penjelasan yang bisa membuatmu puas. Selalu saja ada protes dan bantahan. Membuat bibirmu bergerak-gerak ritmis dalam tempo accelerando.

“Iyaaa… Tapi nggak harus pake alasan itu, kan?” Melodimu berubah crescendo. Akhir nadanya meninggi penuh emosi. Tak ada arti aku bicara. Tapi aku yakin, ketika aku diam, kau akan semakin menjadi-jadi. Lalu, aku harus bagaimana?

“YES or NO?” Kau mengancam. Matamu menajam menunggu jawaban.

Oh, Tuhaaan… Bagaimana harus kujawab pertanyaanmu? Ini bukan tentang ‘ya’ atau ‘tidak’, Sayang. Tak akan cukup. Menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’ akan sama saja. Selalu saja kau punya penjelasan yang membuatmu seperti lebih mengenalku daripada diriku sendiri. Lalu, jawaban mana yang harus kupilih? Sudah kubilang aku tak bisa cerdas 24 jam sehari.

Kunyalakan sebatang rokok. Isyarat semoga kau paham bahwa ini sungguh tak mudah. Sengaja, tak kutekan pemantiknya dengan sempurna agar aku punya alasan untuk mencari korek di tempat lain. Maaf, ini sandiwara. Tapi, apa lagi yang bisa kulakukan agar terbebas dari jerat matamu?

“Sudahlah.” Aku menghela napas. Keras. “Apa pun yang ada di kepalamu tak akan mengubah apa-apa.”

Wajahmu memaling. Kau menyusut butiran bening yang mengalir pelan dari kelopak matamu. Bahumu terguncang naik-turun. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirmu selain isak tangis yang setengah mati berusaha kau tahan.

“Hey… Come on!” Kusentuhkan telapak tanganku ke bahumu. Pelan dan sangat hati-hati. Aku tak pernah sanggup melihatmu menangis. Sebagian jiwaku serasa tercerabut tiap kali lapisan bening itu mendanaukan matamu.

Kau menatapku. Gamang. Kusambut dengan senyum tertulus yang pernah kumiliki. Hanya itu yang kupunya saat ini. Tak ada suara, tak ada kata-kata. Kadang, hati hanya sanggup berbahasa tanpa aksara. Tapi aku yakin kau membacanya. Ketika kutuliskan pada ceruk hatiku bahwa aku mencintaimu dengan cara yang kau tahu, kekuatan yang kau sadari, ketulusan yang kau rasakan, dan durasi yang kuharap akan selamanya.

Percayalah, tak ada manusia yang selalu cerdas 24 jam sehari.

MEMBERI TELINGA

Andai langit adalah wajahmu, maka kedua matamu adalah sepasang kumulonimbus yang siap menuang hujan. Pekat yang padat, kelam yang tak tergenggam. Namun tetap saja, mendung itu tak kunjung bandang. Dan aku selalu kagum pada kemampuanmu melawan gravitasi, hingga kumpulan air itu tak juga mengalir. Bahkan menetes pun tidak.

Suaramu lirih nyaris tak tergubris, namun menghadirkan bisik yang mengusik. Entah gendang telingaku yang tak lagi mumpuni memerankan fungsi, ataukah memang kau hanya ingin menggumam. Dan aku selalu salut pada kemampuanmu diabaikan, hingga gumaman itu tak kunjung terbalas. Bahkan tersimak pun tidak.

Maaf. Aku sanggup membaca nada. Tak perlu lirik, aku tahu apa yang tersirat dalam setiap lagu yang kausenandungkan. Aku paham apa yang kaulepaskan dalam setiap desah napasmu. Aku mengerti apa yang kaukirimkan lewat tatapan mata yang mendadak menjadikanku seperti seorang tertuduh. Dan aku tak bilang apa-apa. Bisa jadi kurang empati, atau mungkin karena aku sok tahu.

“Terus?” aku mencoba memecah bisu yang mulai membuatku ragu: adakah ‘terus’ cukup membantu?

Kautersenyum. Satir dan membius. Ada gelisah tak terwadah, juga resah yang ingin pecah. Dan aku hanya bisa pasrah. Mendengar kisah yang itu-itu lagi menggiringku pada jenuh yang sesungguhnya ingin kumuntahkan. Kadang kita membenci hidup, bukan? Namun tetap saja kita rela bernapas untuk memanjangakan durasi nyawa. Dan pasti akan terlalu naïf jika mendadak aku ingin tuli saja. Tuli yang temporer, tentu saja.

Sedari tadi, kedua potong bibirmu yang mulai tampak kehitaman bergantian menyentuh dan memisah satu sama lain. Tetap saja begitu, meski dari selanya terembus asap rokok yang kerap memicingkan mata dan mengerutkan keningmu. Sudah kubilang, nikotin tak bagus buat kesehatan, namun selalu saja kauabai. “Pajak rokok salah satu sumber devisa negara terbesar, lho,” jawabmu retorik dan menyebalkan.

Kadang kau tertawa sendiri. Aku tak tahu bagian mana yang lucu dari deretan kisah pilu yang kaulisankkan. Entah kau yang mulai tak waras, atau aku yang telah kehilangan selera humor. Namun barangkali, begitulah caramu memaknai hidup: menertawakan kepedihan. Dan di tengah narasi pajang-lebarmu, tak ada celah sedikit pun untuk kujeda. Bahkan ketika kaumulai tertawa sendiri. Mungkin tak perlu. Atau bisa jadi, aku yang kurang peduli.

Berputar mengedari siklus yang sama selalu berujung pada kebosanan. Miskin warna, tak ada nuansa. Mendengar cerita yang itu-itu saja membimbingku pada jemu yang sebenarnya ingin kuludahkan. Kadang kita membenci tuhan, bukan? Namun tetap saja kita menghujaninya dengan doa-doa sarat harapan ketika hidup terasa menjelma pengkhianat.

Lalu, di manakah cinta ketika aku tak lagi suka mendengarmu mengeluh tentang yang itu-itu lagi? Ke manakah cinta ketika untuk sekadar mendengar pun aku tak lagi sudi? Mungkin, dia bersembunyi sambil menunggu untaian kata-kata manis penuh rayuan gombal kembali memerahkan bibirmu. Barangkali, ia menanti puja-puji yang seluas angkasa ketika kaubisikkan mimpi-mimpi tentang indahnya kebersamaan. Atau, barangkali cinta telah menjelma menjadi gendang telinga yang tak ingin tuli.

Mencintai …

mungkin adalah sekadar memberi telinga …

… untuk mendengar.




Tuesday, September 3, 2013

TANPA EKSPRESI.HANYA ISYARAT

Ia pernah berciuman dengan api unggun. Dengan kobar nafsu yang menyala-nyala, lalu padam dalam semalam. “Aku tak suka pada cinta yang dinikmati beramai-ramai,” kata dia mendesah napas. Lalu, dari onggokan kayu yang telah habis menjadi abu, seseorang menyeruak perlahan. Tanpa ekspresi. Hanya isyarat.

Ia pernah bercumbu dengan lampu lalu lintas. Kadang hijau, kuning sesekali, paling sering merah. “Aku tak tahan pada cinta yang digilir-gilir,” ujarnya sesenggukan. Lalu ketika mesin-mesin kendaraan itu kembali menderu, seseorang bergeming di sana. Juga tanpa ekspresi. Hanya isyarat.

Ia pernah bersetubuh dengan lampu Natal. Gemerlap, dinamis, romantis. “Aku benci pada cinta yang hanya datang di bulan Desember,” ucapnya berlinang air mata. Lalu ketika lampu-lampu mungil itu disimpan, seseorang menyisakan cahaya. Masih tanpa ekspresi. Hanya isyarat.

Ia pernah bersenggama dengan kembang api. Spontan, menggairahkan, namun tunduk pada durasi. “Aku muak pada cinta yang cepat usai.” Kali ini ia menggerung. Lalu ketika meriah kembang api habis dienyahkan malam, langit melukis sesosok wajah. Lagi-lagi tanpa ekspresi. Hanya isyarat.

Ia pernah bercinta dengan lilin. Penuh pengorbanan, setia, tahan lama. “Aku bosan pada cinta yang temaram.” Ia tampak pasrah. Lalu ketika nyala lilin itu musnah, kegelapan menghadirkan sesosok makhluk. Seseorang yang menyeruak perlahan dari onggokan kayu yang telah menjadi abu. Seseorang yang bergeming ketika kendaraan mulai melaju meninggalkan lampu merah yang telah berganti hijau. Seseorang yang menyisakan cahaya ketika lampu-lampu Natal telah disimpan. Seseorang yang dilukis langit ketika meriah kembang api telah usai.

“Kamu siapa?” ia bertanya

Makhluk itu tak menjawab. Hanya isyarat. Tanpa ekspresi.

“Kenapa kamu selalu mengikutiku?” ia bertanya lagi.

Makhluk itu tetap tak menjawab. Hanya isyarat. Tanpa ekspresi.

Sontak, makhluk itu menoleh menatapku. Aku tergeragap. Rasanya, aku mengenalnya.

Déjà vu …

Hening …

Makhluk itu berpaling. Berjalan menjauh. Samar, kudengar bisikan ‘aniccaanityawúcháng mujō… ketak-kekalan’. Lalu makhluk itu ditelan molekul udara.

Déjà vu

Hening …

Aku menjumpai kesendirian. Tak ada ‘ia’ yang bertanya. Tak ada ‘aku’ yang melihat.


Bandung, 10 Maret 2011


RITUS: Air yang (Berusaha) Menjelaskan Diri

10 gadis kecil berkostum putih-ungu menari dengan gerakan malu-malu di pojok panggung. Entah tamborin entah rebana, saya tak bisa membedakan, bergemerincing di tangan-tangan mungil mereka mengiringi puji-pujian yang dilangitkan jemaat kepada Yesus. Di pojok panggung yang lain, satu set alat musik: gitar, drum, dan keyboard dimainkan beberapa pemuda yang memandu 3 song leaders menyanyikan lagu-lagu yang bukan dari Kidung Jemaat, Mazmur, ataupun Nyanyian Rohani. Beberapa jemaat, bernyanyi sambil bertepuk tangan.

Tak ada yang aneh sebenarnya dari ‘penggalan’ kebaktian khusus Awal Tahun yang saya gambarkan di atas. Hal-hal serupa itu sudah sangat lazim dalam liturgi gereja Toraja, khususnya beberapa tahun belakangan. Namun menjadi menarik (buat saya) ketika membandingkannya dengan kondisi puluhan tahun lalu ketika saya masih ABG (meskipun saya masih tetap muda. :-p). Dulu, kidung-kidung pujian yang dinyanyikan dalam liturgi kebaktian hanya diambil dari 3 sumber: Kidung Jemaat, Mazmur, dan Nyanyian Rohani. Dulu, bertepuk tangan ketika bernyanyi dalam kebaktian dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Dulu, alat-alat musik sebagai pengiring pujian jemaat dianggap hanya ‘sah’ bagi Kristen aliran Pantekosta, Bethani, dan lain-lain. (Lain-lain alias tidak tahu).

Sepanjang kebaktian berlangsung, saya kemudian malah sibuk mengamati perubahan-perubahan ritus yang terjadi. Ada kegembiraan (kalau boleh dibilang begitu) sekaligus tanda tanya yang muncul di benak saya. Saya gembira karena paling tidak saya tidak perlu lagi bernyanyi dengan tempo yang terlalu lambat seperti dulu. Saya gembira karena buat saya bernyanyi sambil diiringi musik rasanya lebih enak dibandingkan acapella. Saya gembira karena lagu-lagu rohani yang dipopulerkan oleh Nikita, penyanyi bersuara sangat merdu itu kini bisa pula dilagukan pada kebaktian-kebaktian di gereja. Dan saya gembira sekaligus bertanya-tanya: apakah bernyanyi dengan cara seperti ini merepresentasikan kualitas keimanan yang lebih baik?

Menyoal ritus dan tradisi beragama, saya teringat seorang kawan yang beberapa tahun lalu pernah bertanya kepada saya: Benarkah Yesus itu lahir pada tanggal 25 Desember? Bukankah ‘Natal’ adalah tradisi Pagan yang diadaptasi oleh Kristen? Ketika itu, saya hanya menjawab ‘kurang tahu juga yah’ (karena memang saya tidak tahu jawabannya, :D). Beberapa tahun setelah itu, saya kemudian ‘bergumul’ dengan ritus dan tradisi-tradisi agama. Namun, jika pertanyaan teman saya tadi ditanyakan lagi kepada saya, maka jawaban saya pun rasanya tidak akan ‘lebih baik’. Kalau dulu saya akan menjawab ‘kurang tahu juga yah’ maka sekarang saya akan menjawab ‘emang kenapa?’.

Lalu saya teringat air. Ia bisa berfase padat, cair, atau uap mengikuti fungsi temperatur. Ia juga bisa berbentuk lonjong, bulat, atau tak bernama tergantung bentuk wadah yang menampungnya. Ia pun bisa dikenali sebagai air selokan, air sungai, atau air laut menurut tempatnya berada. Saya membayangkan bagaimana terkejutnya sebongkah es ketika bertemu dengan sekelompok uap air. Saya duga, ia akan melotot melihat uap air yang dengan begitu lincahnya menari dalam molekul udara. Lalu, ketika air selokan berjumpa dengan samudera, barangkali ia akan terbelalak dengan ukuran samudera yang seperti tak bertepi. (Dan mendadak hujan menjadi sangat deras).

Saya tak jadi menjawab pertanyaan tadi: adakah perubahan cara bernyanyi beserta lagu-lagunya mengindikasikan kualitas beriman yang lebih baik. Barangkali, saya pun tak perlu dan tak akan bisa menjawabnya hingga kapan pun. Seperti segelas kopi yang berusaha menjelaskan air tanpa pernah tahu bahwa dia ‘bersaudara’ dengan secangkir teh atau semug susu panas.

Lalu mendadak hujan berhenti yang membuat saya tak lagi tertarik melanjutkan tulisan ini. (Pembenaran sempurna bagi ide yang sudah enggan dijamah aksara, hehehe).
                                                                                                                                               

Selamat TAHUN BARU!