Thursday, January 31, 2008

NAIK GUNUNG

Dua remaja berhenti seraya terengah-engah menahan napas. Peluh mengalir dengan deras di pelipis dan sekujur tubuh mereka. Yang satu berdiri sambil berkacak pinggang dengan dada turun naik mengatur napas. Yang lain menghenyakkan pantatnya ke tanah lalu berbaring, juga dengan dada naik turun. Angin berhembus perlahan membelai tubuh mereka. Mengalirkan kesejukan yang sekaligus melarutkan penat yang mendera.

Selama sepuluh menit pertama, tak ada yang terucap dari bibir mereka. Hanya helaan napas yang makin lama makin perlahan dan akhirnya teratur dalam irama normal. Mata mereka bersitatap, membahasakan sesuatu yang mereka mengerti namun tak terucap lewat kata-kata.

Puas bersitatap, remaja yang berbaring bangkit dan duduk berselonjor. Meregangkan otot dan urat di sekujur tubuhnya. Kata orang, tak boleh melipat kaki saat lelah, bisa menyebabkan varises. Ia kembali menatap temannya yang berdiri lalu menepuk tanah di sampingnya dengan lembut. Remaja yang berdiri melangkah dan duduk di sebelahnya.

“Aku capek banget. Kita pulang aja yah.“ ucapnya tanpa basa basi. Temannya menoleh dan menatap dengan tajam. Tak mengiyakan ataupun menolak. Ia diam dalam tatapan. Berusaha meredakan rasa lelah yang masih tersisa sekaligus menganalisa ajakan tersebut.
“Kenapa?” tanyanya dengan pasrah, alih-alih menolak atau mengiyakan.
“Aku capek. Aku mau pulang aja.” jawabnya seadanya.

Temannya kembali diam, tetap dalam tatapan. Kali ini memilih hamparan lembah di depannya sebagai objek. Ia menunggu tanggapan temannya, entah penolakan ataupun persetujuan. Terserah. Namun, yang ditunggunya tak kunjung bereaksi. Mulutnya terkatup rapat. Hanya helaan napas yang sesekali didengarnya. Semua kata seolah menguap bersama keringat dari tubuhnya. Larut ke dalam udara yang mulai terasa dingin.

Ia pun terus menunggu. Tak kuasa memandangi wajah temannya, ia mencabuti rerumput liar. Sepatah kata saja cukup baginya, namun temannya tak juga berucap.

Tak tahan menunggu, ia pun bersuara. “Aku mau pulang. Sendiri juga gak masalah kok.“ Ia berdiri dan melangkah menuju ke arah kembah. Tak perlu menunggu jawaban. Aku bisa pulang sendiri. Yang jelas aku tak mau lagi meneruskan pendakian. Demikian batinnya.

Ia pun menuruni lembah. Sesekali ia menoleh ke belakang. Berharap temannya memanggil, sekedar untuk bilang ’hati-hati’ atau ’tunggu, aku ikut’. Namun, hanya tatapan mata yang disambutnya. Tak ada ekspresi yang bisa diterjemahkannya pada tatapan itu. Bisa saja ’terserah kamu’, ’aku nunggu di sini’ atau juga ’peduli amat’.

Akhirnya, ia memantapkan tekadnya. Pulang dan tak kembali lagi. Peduli setan dengan temannya. Aku sudah mengajaknya pulang. Terserah dia mau ikut atau tidak. Begitu pikirnya.

Kurang dari sepuluh langkah, ia berhenti. Tekadnya ternyata belum bulat. Ia kembali menoleh ke belakang. Berharap temannya masih di sana dan memanggilnya. Ahh, ternyata benar. Dia masih sana, meskipun tak memanggil. Ia lalu melangkah, kembali ke tempat temannya yang tetap duduk dalam diam.

“Aku capek.Kenapa kita gak pulang aja.” ia bersuara juga. Temannya pun akhirnya merespon.
“Kenapa? Kita sudah sejauh ini.“
“Aku gak tahu ngapain aku di sini. Buat apa kita mendaki?“
“Apa yang kamu takutkan, heh?“
“Gak tahu. Yang jelas aku belum yakin mau mendaki. Aku gak mau mencoba-coba sesuatu yang belum jelas. Aku takut sesuatu yang buruk akan menimpa kita nanti.“
“Oke. Kalau itu pilihan kamu. Tapi kenapa kamu mau memulainya? Kita sudah mendaki setinggi ini. Sejauh ini, kita bisa mengatasi masalah yang ada. Bekal kita masih cukup. Cuaca pun tak buruk. Okelah, di atas sana kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Angin kencang mungkin saja menjatuhkan kita ke jurang atau hantu penunggu gunung ini akan menculik dan membawa kita ke alamnya. Tapi bagaimana dengan pemandangan alam yang mungkin saja merupakan hal terindah yang akan kita saksikan seumur hidup. Kurasa kamu pun tahu itu. Kamu bilang suasana pantai tak lagi nyaman buatmu. Tak ada tantangannya. Cukup dengan naik mobil bisa sampai dalam beberapa jam, tanpa usaha yang berarti. Dan, kita sudah di sini. Aku gak ngerti apalagi yang ada di pikiran kamu. Tiba-tiba saja kamu mau turun tanpa berdiskusi terlebih dahulu.”
“Aku kan sudah mengajakmu tadi.“ Ia memprotes kalimat terakhir temannya. Menurutnya, diam tadi merupakan jawaban atas ajakannya. Ia pun merasa berhak menentukan tetap mendaki atau pulang. Dan ia memilih untuk pulang meski akhirnya balik lagi.
“Kamu tadi lagi kesal dan tidak mau sabar menunggu. Menurutmu, bagaimana perasaanku saat kamu mengajak pulang?“
“Ya, gak tahu. Itu kan urusan kamu.“ jawabnya ketus.
“Nah, ini dia. Sudahlah. Kita coba aja dulu. Masalah nanti mau gimana-gimana ya itu sudah resiko. Yang penting kita masih enjoy mendaki, ya kita terusin aja dulu.“

Temannya bangkit dan mengulurkan tangan ke arahnya. Sebuah ajakan untuk meneruskan pendakian yang masih jauh. Ia tak langsung menyambut uluran tangan itu. Batinnya bergejolak, iya versus tidak. Kalau ia pulang, bagaimana perasaan temannya, bisa jadi ia akan kecewa. Tapi, bagaimana juga kalau ia meneruskan pendakian, maut bisa saja menjemputnya. Peluangnya 50-50. Dalam hati kecilnya, ia sebenarnya ingin terus mendaki. Banyak peluang kebahagiaan yang terbentang di puncak gunung sana, seimbang dengan resiko yang mungkin menimpanya. Hidup di pantai sudah sangat menjemukan baginya. Bukan hanya sekedar jemu, tapi juga muak. Ia tak ingin lagi hidup dalam kamuflase yang berkepanjangan. Ia ingin hidup menuruti keinginan hatinya. Ia butuh memenuhi hasrat raga dan jiwanya. Dan ia merasa tempatnya adalah di gunung. Namun, seburuk itukah pantai sebenarnya? Argghhhhhhh………………… Kenapa harus serumit ini?

Dengan ragu yang terus menggayut di hatinya, ia menyambut uluran tangan temannya. Terasa kokoh dan hangat, meskipun udara semakin dingin. Ia merasa akan aman dalam lindungan temannya, meskipun ia pun bisa menjaga diri sendiri. Benar kata dia, coba dulu, nanti gimana-gimananya dilihat kemudian. Tak ada gunanya berteori tanpa mengalami praktiknya secara langsung. Percuma memikirkan resiko jatuh atau diculik yang hanya berdasar pada praduga. Bisa saja gunung memang adalah tempat yang dicari dan dibutuhkannya. Untuk tahu itu, ia perlu mendaki. Mengalami secara langsung. Dan kemudian, menentukan apakah gunung memang tempat impiannya ataukah harus kembali ke pantai. Begitu akhirnya ia menyimpulkan.

Mereka pun meneruskan pendakian. Banyak bahaya tapi mungkin juga kebahagiaan sejati yang menunggu mereka. Mereka hanya perlu berhati-hati, mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Kutai Rig-3, 31 Januari 2008.