Monday, June 11, 2007

MAAF, AKU JENUH...!

Merenung selalu menjadi kegiatan yang menarik buatku. Tidur terlentang dengan pandangan terpaku pada langit-langit kamar atau duduk memeluk kedua lutut sambil memandangi kegelapan malam. Bahkan, dalam bis antar kota seraya memandangi pepohonan di sepanjang jalan yang seolah berlarian di sisi bis. Hening. Tenang. Damai. Aku seakan menciptakan dunia sendiri yang tak berbatas dimensi. Bebas menjadi apa saja sekaligus bebas ngapain aja. Tak ada aturan, sanksi dan orang-orang yang merasa layak menjadi hakim. Selama berjam-jam, pikiranku sanggup mengembara di ranah tak terpetakan.
Banyak yang bilang aku menyikapi hidup terlalu serius. Terlalu banyak mikir hingga lupa menjalani kehidupan nyata. Jarang tertawa dan bersenang-senang hingga kebanyakan mengeluh dan mendesah nafas.
Seperti saat ini. Aku tersentak kaget ketika mendengar sebuah suara yang tiba-tiba bernada tinggi dan sedikit emosional. Rupanya, tadi aku sedang merenung di tengah-tengah khotbah Paskah. Untungnya, udara subuh yang dingin tak membuatku tertidur. Aku mengalihkan mataku ke arah mimbar dan mendapati Pendeta Lukas sedang mengacung-acungkan tangan kanannya yang terkepal dengan kuat. Mimik mukanya tegas dengan pandangan mata yang tajam. Badannya sedikit condong ke depan. Aku sempat khawatir ia terjungkal saking semangatnya.
“Dengan darahNya, Ia telah menghapus semua dosa kita. Apa makna kalimat ini buat kita? Sudah layakkah kita menjadi orang percaya? Sudahkah kita berterima kasih dan bersyukur untuk pengorbananNya di kayu salib? Saudara-saudara yang kekasih dalam………………………”
Aku tak berniat menyimak kalimat-kalimat selanjutnya. Basi dan kemungkinan besar repetitif. Tak jauh beda dengan khotbah tahun kemarin yang sayangnya tak kuingat lagi dengan sempurna. Eksplorasi dari buku renungan harian yang diterbitkan Badan Majelis Gereja untuk semua anggota jemaat.

Aku tak sedang mengatakan kalau pendeta Lukas berbohong dan mengumbar janji-janji palsu. Aku juga tak bermaksud meremehkan kualitas pendeta Lukas sebagai “penyambung lidah” Tuhan. Aku hanya menginginkan sebuah hal baru yang mampu menggugah perasaan. Sebuah pemahaman yang mendalam. Tak hanya singgah temporer di otak, lalu hilang tergantikan entri-entri baru. Aku mengharapkan sesuatu yang mampu mengakar kokoh dan tumbuh subur menjadi pikiran, kata-kata dan perbuatan yang nyata, tulus dan sinambung.
Aku kembali ke alam ciptaanku sendiri. Mencoba larut dalam khayalan. Untuk mengurangi perasaan berdosa, kali ini aku akan merenung tentang Tuhan. Renungan tentang paradoks, bukti empiris atau apa saja yang sanggup kuciptakan tentang Dia. Khotbah tak selalu berarti mendengarkan penjelasan satu arah dari pendeta di mimbar. Bentuk khotbah yang tidak adil, menurutku. Terkadang aku memiliki segudang pertanyaan saat khotbah berlangsung, namun tak mungkin mengajukannya. Di sisi lain, tak jarang pula aku tak setuju dengan beberapa penjelasan, namun lebih tak mungkin lagi untuk mengajukan bantahan. Begitu kebaktian selesai, aku pulang dengan membawa tumpukan pertanyaan dan rasa penasaran. Lalu apa gunanya khotbah-khotbah tersebut? Mungkin akan terlalu kejam kalau aku menganggapnya sebagai ceramah rutin mingguan dari seorang karyawan gereja yang dipanggil “Pak Pendeta” atau “Bu Pendeta” oleh anggota jemaat. Ceramah rutin yang dibayar dengan uang persembahan dari peserta, yang katanya diberikan dengan tulus.
Pergumulan logika dan iman dalam diri sendiri merupakan bentuk khotbah tersendiri buatku. Dalam kondisi tertentu, aku bahkan merasa lebih mengenalNya dengan cara seperti itu. Banyak hal yang bisa kugali sesuai kebutuhanku.
“Tu-han, Tu-han, Tu-han.” Aku mengejanya tiga kali. Kucoba beberapa kali lagi, semakin lama dan semakin cepat. “..-han-Tu-han-Tu-han-Tu-..” Perasaan janggal menyergapku seketika. Sebuah permainan suku kata yang sangat menarik. Entah kenapa, aku baru memperhatikannya sekarang. Sepandai inikah pencipta bahasa Indonesia memilih kata “TUHAN” hingga bila diejakan berkali-kali secara berurutan mampu menimbulkan sensasi yang aneh, bahkan bisa dibilang mengerikan? Bagaimana dengan G-O-D, D-O-G? Adakah korelasi khusus? Unsur kesengajaan? Atau malah hanya sebuah kebetulan yang tak menyiratkan makna apa-apa?
“Doa. A-do. A-o-d.” Tak ada yang aneh. Kata orang doa adalah komunikasi dengan Tuhan. Media mengucap syukur sekaligus mengajukan permintaan dan harapan. Aku berharap yang kedua benar. Isi doaku dua puluh tahun terakhir ini tak pernah berubah. Ketergantungan anakku kepada obat-obat penenang sungguh menyiksa kami. Beberapa hari yang lalu, ia tidak mau minum kedua obatnya. Sudah sehat kok, katanya. Kemarin, ia mulai menutup diri, tak mau berbicara dengan siapapun. Aku tak kuat melihat tatapan matanya yang begitu tajam, seolah mengandung dendam dan amarah yang begitu besar. Saat aku mencoba menawarkan makan malam, ia malah membentak dan mengancam akan membunuhku. Aku hanya bisa menangis di saat-saat seperti itu. Saat ia mulai merasa sehat, ia mencoba menghentikan obatnya. Akibatnya, ia mengisolasi dirinya, mengurung diri dalam kamar yang gelap. Kaca jendela rumah sudah beberapa kali diganti akibat terhantam kursi yang dilemparkannya. Untungnya, ia tak pernah menyakiti aku secara fisik. Saat jiwanya terganggu, ancaman-ancamannya hanya sampai di lidah saja.
Setiap malam sebelum tidur, aku menundukkan kepala memohon kesembuhannya. Tak jarang aku berdoa sambil menangis. Menempatkan diriku sebagai seorang teman yang sedang curhat. Kutumpahkan segala perasaan yang ada. Tak ada perasaan malu atau ragu. Tak ada lagi yang kusembunyikan. Semua kuungkapkan dengan harapan bisa mengurangi beban yang kutanggung. Namun, aku mendapati diriku berinteraksi dengan diri sendiri. Tak ada respon apalagi jawaban verbal. Tak layakkah aku mendengar suaraNya seperti aku yakin Ia mendengar suaraku? Masih kurangkah doaku selama dua puluh tahun? Kurang banyak kah air mata yang kucurahkan mendoakannya? Masih terlalu kuatkah aku hingga harus menanggung pencobaan seperti itu?
Aku tak kuat memikirkannya lebih lama lagi. Kelopak mataku mulai terasa hangat. Pandanganku mengabur. Aku tak ingin terlihat aneh di dalam gedung gereja ini.
Aku menjelajahi dunia yang lain. Melepaskan kenyataan hidup yang mau tak mau harus kujalani dengan penuh ketabahan.
Paskah. Tak ada niat mengeja terbalik atau menyusun ulang huruf-huruf yang membentuknya. Tak ada manfaatnya buatku. Aku berusaha meyakininya sebagai kebangkitan Kristus. Kebangkitan dari kematian selama tiga hari. Tiga hari? Bukannya dua hari? Disebutkan Ia mati pada hari Jumat Agung dan bangkit pada hari Minggu yang kemudian disebut Paskah. Entahlah, biar ahli Fisika saja yang mempersoalkannya.
Aku mencoba kembali ke masa-masa penyaliban Yesus. Berimajinasi seolah-olah aku berada di sana saat itu. Beberapa jam setelah disalibkan, Ia diturunkan dari kayu salib dengan luka memar dan tusukan di sekujur tubuhNya. Kusaksikan Yusuf dari Arimatea membawa jasadNya ke sebuah gua. Nikodemus datang membantunya. Aku mengikuti dari belakang. Setelah membaringkan jasad Yesus di atas sebuah batu pipih yang panjang, mereka memborehkan sesuatu ke tubuh Yesus. Aku mengenalinya sebagai minyak mur dan gaharu dari aromanya yang tajam menusuk hidung. Keningku berkerut. Ada yang aneh. Sebelum dikafani untuk dikuburkan, setahuku jasad orang Yahudi hanya dimandikan untuk penyucian yang disebut Tahara. Tidak ada acara pemborehan minyak mur dan gaharu. Kedua minyak itu biasanya digunakan untuk menyembuhkan luka. Aku memikirkan sebuah kemungkinan. Untuk apa Nikodemus membawa minyak mur dan gaharu? Sebagai orang Yahudi, harusnya dia tahu kedua minyak itu hanya dipakai untuk menyembuhkan luka, bukan untuk diborehkan pada mayat. Mungkinkah Yesus hanya pingsan setelah melewati penderitaan fisik yang begitu kejam beberapa jam lalu? Yang kemudian sadar dua hari kemudian setelah minyak mur dan gaharu menyembuhkan luka-lukaNya? Mungkinkah Nikodemus dan Yusuf dari Arimatea ……………
Kesibukan kecil orang-orang di sebelahku membuyarkan lamunanku. Gadis muda di samping kananku menutup Alkitab bersarung kain merah muda dengan lembut. Takut ada lembaran yang terlipat. Beberapa pria di belakangku terbatuk berkali-kali. Mungkin kebanyakan merokok. Rupanya, khotbah pendeta Lukas sudah selesai. Beberapa lagu dari Kidung Jemaat kemudian kudengar dinyanyikan dengan sangat merdu.
Aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Pikiranku tak lagi berada bersama ragaku. Yang aku sadari, orang-orang mulai berdiri dan saling bersalaman sambil berucap, “Selamat hari Paskah.” Aku segera keluar dari gedung gereja. Tak kuhiraukan gadis ber-Alkitab merah muda yang tersenyum kepadaku sambil mengulurkan tangan kanannya.
Pikiranku dipenuhi dengan minyak mur dan gaharu. Bayangan anakku dengan ratusan tablet Trihexypenidil dan Haloperidol yang telah dikonsumsinya melintas dengan sangat jelas di kepalaku. Kelopak mataku tak sanggup lagi menahan aliran air mata yang menumpuk di sana. Menunggu untuk ditumpahkan. Menghanyutkan sekian mililiter adrenalin yang kata orang bisa mengurangi rasa pedih. Omong kosong.
Tak sekalipun kulewatkan ibadah di gereja setiap hari Minggu. Tak pernah kupejamkan mataku sebelum berdoa terlebih dahulu. Tak pernah kuawali hari-hariku tanpa membaca firmanNya. Tak pernah aku mengumpat dan menyesali telah melahirkan anak yang sakit jiwa. Tak henti-hentinya aku bersyukur di tengah penderitaanku.
Namun apa yang kuperoleh?
Doaku selama dua puluh tahun mungkin hanya menjadi puisi yang indah buat menghibur malam-malamNya. Tak bisakah sekali saja Ia menjawab doaku? Aku tidak akan melupakanNya setelah itu. Kurasa, Ia pun tidak akan kehilangan wibawa di mataku dengan satu kali saja mengikuti kemauanku. Aku sudah menganggapNya sahabat setia yang bersedia mendengar keluh kesahku. Tapi, aku mulai muak dengan semua kepura-puraan ini. Bersyukur di tengah penderitaan. Berbicara kepada ‘sesuatu’ yang mulai kuragukan eksistensinya. Bersahabat tanpa pernah merasakan kehadiranNya.
Aku capek……
“Yesus, semakin aku mendekat kepadaMu, aku merasa Kau semakin jauh. Apakah aku tak layak? Marahkah Kau padaku? Bosankah Kau menjadi temanku?” Semua hanya berujung pada pertanyaan yang tak bisa kujawab.
“Aku perlu istirahat. Kurasa hubungan kita sudah memasuki fase jenuh. Tersaturasi oleh harapan-harapan yang tak kunjung terwujud. Aku tak mengerti jalan pikiranMu. Ada baiknya kita berpisah untuk sementara. Mencoba merasakan hidup tanpa berharap padaMu. Mungkin dengan cara seperti itu, aku akan mengerti apakah diriMu berarti atau tidak, eksis atau ilusi. Juga, apakah aku akan kangen atau malah benci padaMu?”
“Maaf, aku jenuh……………………………………!!!”

Salatiga, 31 Maret 2007

Friday, June 8, 2007

TANYA

Sepuluh tahun berlalu. Jarak hadir melengkapi ruang dan waktu. Ketiganya ternyata mampu mengaratkan rasa dan esensi yang (dulu) kuyakini tak akan lekang oleh dimensi apapun.

Sejujurnya, aku belum rela kehilangan kenangan manis bersamamu. Namun, aku juga tak bisa bohong bahwa kenangan itu telah mulai pudar. Berkali-kali, aku memutar kepingannya yang terekam dengan baik dalam otakku. Repetisi berujung pada kebosanan dan putus asa. Kau hadir dalam bayang-bayang. Hanya terjangkau oleh pikiran yang akhirnya meletihkanku.

Aku kadang bertanya – entah pada siapa. Mengapa harus ada ketakbersamaan? (Aku tak sampai hati menyebutnya perpisahan). Itukah yang terbaik buat kita? (Kalau iya, mengapa rasanya tidak enak?). Perlukah aku memikirkanmu? (Karena kadang aku merasa sedang menjaring angin). Namun, aku terus bertanya. Tanya yang dijawab tanya.

Akankah hadirmu menghentikan segala tanya?

Ternyata tidak. Tatapan matamu tak lagi sama. Bahasa tubuhmu tak lagi hangat. Aku pun tak lagi seperti yang dulu. Ada rantai yang seolah mengikat kedua tanganku merengkuh pundakmu. Mulutku terkatup. Tak ada kata yang mampu terucap. Kuterima uluran tanganmu seperti berkenalan dengan orang baru. Senyum kamuflase menghiasi bibirku, juga bibirmu.

‘Gimana kabarnya?’ Pertanyaanmu standar tak bermutu. ‘Baik-baik aja. Kamu gimana?’ Jawabanku pun tak lebih baik. Adakah kita memang baik-baik saja? Aku tak yakin. Tapi, hanya itu yang sanggup kuucap. Sepuluh tahun sudah membekukan segala rasa yang ada. Beku hingga tak bisa lagi meleleh. Aku tak lagi nyaman berada bersamamu dan aku yakin kau pun begitu.

Apa yang salah? Dirimu kah yang tak lagi sehangat dulu?, diriku kah yang hanya membawa puluhan tanya? atau jarak dan waktu kah yang membuat kita tak bersama? Hanya tanya yang kudapat.

Entah kenapa, aku terus bertahan di dalamnya. Berpindah dari satu tanya ke tanya yang lain. Ingin meloncat keluar dari lingkaran ini. Bebas dari deretan tanya tak terjawab. Namun, kudapati diriku stagnan di sini. Larut dalam tanya. Tak lagi kulihat beda, ada atau tiada dirimu. Yang ada hanya tanya.

Salatiga, 25 Maret 2007.
‘Ditulis untuk seorang sahabat yang selalu menantangku untuk menulis. Thanks for challenge and support me all the time.’