Friday, June 8, 2007

TANYA

Sepuluh tahun berlalu. Jarak hadir melengkapi ruang dan waktu. Ketiganya ternyata mampu mengaratkan rasa dan esensi yang (dulu) kuyakini tak akan lekang oleh dimensi apapun.

Sejujurnya, aku belum rela kehilangan kenangan manis bersamamu. Namun, aku juga tak bisa bohong bahwa kenangan itu telah mulai pudar. Berkali-kali, aku memutar kepingannya yang terekam dengan baik dalam otakku. Repetisi berujung pada kebosanan dan putus asa. Kau hadir dalam bayang-bayang. Hanya terjangkau oleh pikiran yang akhirnya meletihkanku.

Aku kadang bertanya – entah pada siapa. Mengapa harus ada ketakbersamaan? (Aku tak sampai hati menyebutnya perpisahan). Itukah yang terbaik buat kita? (Kalau iya, mengapa rasanya tidak enak?). Perlukah aku memikirkanmu? (Karena kadang aku merasa sedang menjaring angin). Namun, aku terus bertanya. Tanya yang dijawab tanya.

Akankah hadirmu menghentikan segala tanya?

Ternyata tidak. Tatapan matamu tak lagi sama. Bahasa tubuhmu tak lagi hangat. Aku pun tak lagi seperti yang dulu. Ada rantai yang seolah mengikat kedua tanganku merengkuh pundakmu. Mulutku terkatup. Tak ada kata yang mampu terucap. Kuterima uluran tanganmu seperti berkenalan dengan orang baru. Senyum kamuflase menghiasi bibirku, juga bibirmu.

‘Gimana kabarnya?’ Pertanyaanmu standar tak bermutu. ‘Baik-baik aja. Kamu gimana?’ Jawabanku pun tak lebih baik. Adakah kita memang baik-baik saja? Aku tak yakin. Tapi, hanya itu yang sanggup kuucap. Sepuluh tahun sudah membekukan segala rasa yang ada. Beku hingga tak bisa lagi meleleh. Aku tak lagi nyaman berada bersamamu dan aku yakin kau pun begitu.

Apa yang salah? Dirimu kah yang tak lagi sehangat dulu?, diriku kah yang hanya membawa puluhan tanya? atau jarak dan waktu kah yang membuat kita tak bersama? Hanya tanya yang kudapat.

Entah kenapa, aku terus bertahan di dalamnya. Berpindah dari satu tanya ke tanya yang lain. Ingin meloncat keluar dari lingkaran ini. Bebas dari deretan tanya tak terjawab. Namun, kudapati diriku stagnan di sini. Larut dalam tanya. Tak lagi kulihat beda, ada atau tiada dirimu. Yang ada hanya tanya.

Salatiga, 25 Maret 2007.
‘Ditulis untuk seorang sahabat yang selalu menantangku untuk menulis. Thanks for challenge and support me all the time.’

2 comments:

i'm the sista said...

Tulisan ini jauh lebih matang dalam hal kosakata dan tak beralur namun terlalu enak untuk ditinggal begitu saja, apalagi untuk sekedar ditinggal pipis. Kali ini aku betul2 suka gaya bahasanya. Jujur, waktu pertama kali baca aku belum bisa comment, setelah sekian waktu, mungkin saat penulisnya sudah kehilangan feeling, emosinya masih terasa. Tulisannya terlalu pendek jadi tidak sempat menyusupkan kelemahan untuk kukritik 

Teruslah menulis…..

RAMPA' MAEGA said...

Saya (mudah-mudahan) gak pernah kehilangan feeling kok tentang tulisan2 saya, hehe...