Saturday, November 3, 2007

PULAU IMPAIN

“Para penumpang yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di bandara Hasanuddin, Makassar. Silahkan mengencangkan sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi dan melipat meja di depan anda”.

Nusie terbangun dari tidur siangnya. Tak terasa sudah hampir sejam ia berada dalam penerbangan dari Balikpapan menuju Makassar. Untuk alasan keamanan, ia mengikuti anjuran pramugari tadi. Mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Ia tak perlu melipat meja di depannya karena tadi melewatkan jatah makan siang.

Lewat jendela kecil di samping kanannya, Nusie menyaksikan selat Makassar yang biru ditaburi dengan puluhan pulau kecil berwarna hijau. Meskipun bukan untuk kali pertama, Nusie selalu merasa kagum dengan pemandangan seperti ini. Hasil karya Tuhan yang tak tersentuh logika manusia secara utuh.

Puluhan rumah kecil tampak seperti balok-balok mainan anak kecil yang disusun dengan teratur. Tersebar di tepian pulau yang menghadap ke laut. Pohon-pohon kelapa tersembul di antaranya, melambai-lambai ditiup angin seolah memanggil para nelayan untuk pulang makan siang. Beberapa perahu penangkap ikan bergerak perlahan di sekitar pulau-pulau kecil tersebut.

Nusie membayangkan para penduduk yang tinggal di pulau-pulau itu. Meskipun jauh dari peradaban modern, ia yakin mereka hidup dengan damai. Jauh dari asap pabrik dan kendaraan bermotor. Jauh dari kemacetan lalu lintas yang sangat menyebalkan bagi orang-orang metropolitan. Namun, Nusie juga tak habis pikir bagaimana mereka bisa hidup di tempat terpencil seperti itu. Untuk orang-orang dengan tingkat mobilitas yang tinggi seperti dirinya, tentu akan bingung menghabiskan waktu di pulau tersebut.

Nusie menoleh ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Ukurannya mungkin tak lebih dari 50 m2. Letaknya agak jauh dari pulau-pulau lain yang berukuran lebih besar. Sepertinya masih perawan. Tak tampak sebuah rumah pun di sana. Perahu nelayan juga tak ada yang berseliweran di sekitarnya. Ia mengamati pulau mungil itu dengan seksama. Darahnya terasa mengalir lebih cepat. Adrenalinnya berpacu. Tak ada yang aneh dengan pulau itu. Juga, tak ada sejenis ikan hiu raksasa di sana yang bisa membuat mata terbelalak. Namun, ada sesuatu yang membuat matanya tak mau lepas memandangi pulau itu.

Sejak mendalami dunia selam semasa kuliah, Nusie menjadi jatuh cinta kepada laut. Keindahan pemandangan alam bawah air yang tak tampak dari permukaan laut menjadi sebuah sumber kekagumannya kepada Tuhan. Sungguh tak tercapai oleh logika. Hanya bisa dikagumi. Sensasi “bebas” saat melayang di dalam air laut sungguh tak tertandingi dan tak bisa ditemuinya di mana pun. Tak ada beban pikiran, tak ada kecemasan dan kekhawatiran. Yang ada hanya bebas, seolah jiwa terlepas dari raga (baca: tak ada beban hidup).

Aneka biota laut yang eksotis turut menyempurnakan kebahagiaan saat menyelam. Berbagai jenis porifera dengan aneka bentuk menjadi pemandangan khas bawah laut. Ikan-ikan anemon yang berwarna hijau, biru dan oranye bergerombol seperti dalam film Finding Nemo. Berenang bebas di sela-sela karang. Sesekali ia melihat Scorpion fish dengan kombinasi warna merah, putih dan hitam yang berukuran sejengkal tangan orang dewasa. Beracun namun tak akan membahayakan bila tak diganggu. Saat melakukan ekspedisi ke Derawan, Berau, Kalimantan Timur, ia pernah melihat seekor ular laut sepanjang 1,5 m yang bercorak garis-garis hitam dan putih dengan mahkota berbentuk segitiga berwarna kuning. Itulah penghuni laut tercantik yang pernah disaksikannya hingga saat ini.

Sejak berurusan dengan BCD (Buoyancy Compensator Devise) alias pelampung, weight belt, fins (sepatu katak), tabung udara, baju selam dan berbagai alat selam lainnya, Nusie menjadi lebih mencintai hidup. Ia merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Keindahan alam bawah laut dengan keagungannya membuatnya merasa sangat kecil di hadapan Tuhan. Telanjang. Tak punya apa-apa.

Ia kemudian punya impian memiliki sebuah pulau sendiri, lengkap dengan fasilitas selam. Mungkin, impian itu hanya lah sebuah bentuk pelarian dari kejenuhan hidup di kota besar yang menjemukan. Namun, impian itu pula yang membuatnya tetap merasa hidup. Membuatnya merasa berarti sebagai manusia. Punya hasrat dan gairah untuk berusaha. Tidak sekedar hidup mengikuti arus yang terkadang monoton dan membosankan.

Sayang, badan pesawat semakin mendekati permukaan tanah. Pulau impian di selat Makassar yang biru kini berganti dengan atap-atap rumah di kawasan Mandai, Makassar. Nusie mengalihkan pandangan ke depan. Membiarkan impiannya larut bersama deru pesawat yang akan mendarat. Beberapa detik yang lalu, Nusie mengalami salah satu bagian terindah dalam hidupnya. Berada dalam dunia impian yang membuatnya merasa menjadi manusia utuh.

~ Dedicated to a new best friend, the “Wilden Pump Guy”. Thanks for inspiring me to keep on dreaming. It’s wonderful and so passionate. Just 5 seconds on the plane, but it was so unspeakable ~

Rantepao, 3 November 2007.

4 comments:

Anonymous said...

wah, temennya pasti keren banget ya? bisa diving trus mobilitas tinggi gitu.

jadi kapan ada dimuat foto2 tentang selamnya?

hidup dunia bawah air!!!

a-damn said...

promosi:
buat yang membutuhkan baju selam (wetsuit) baik yang custom made maupun collection bisa ke nemo wetsuit, jl lasmana 117 (oberoi) kuta-bali.

heheheh sorry Ram sedikit promosi dari gw abis bacanya tuh buat gatal aja pengen selling my products. hehehehehehhe.....

btw tar klo temen2 lo pengen punya wetsuit custom made suruh ke tempat gw yah.....ces't cool deh pkoknya.

Nusie????? kayaknya namanya ga asing di telinga gw yah????bener ga si????

hihihihih....

SENTINEL said...

Sory broo, kok gw mrasa tidak menarik ya tulisan lo yg ini. tdk ada yg greget pas di baca.Gk tau gw yg kurang peka ato mmg gw yg kurang suka dunia laut.
Yahh dari tulisan2 lo yg laen, byk gw dpt hal2 baru n gw bs nangkap apa yg pengen lo sampikan, tapi d tulisan ini gk sama skali hehehe. ya itu mnurut gw aja sih.

Tetap berkarya Brooo.

R@hma said...

Hi rampa, ngga sengaja masuk ke blog kamu ... tulisan2 kamu OK, ada bakat ....:-)