Friday, November 21, 2008

PUISI PERPISAHAN

Seorang teman baru saja mengirimkan email. Isinya tiga buah puisi yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Intinya kurang lebih sekitar masalah perpisahan dan harapan akan hubungan yang lebih langgeng.

Saya tercenung membaca puisi-puisi tersebut. Dapatkah anda membayangkan Tukul Arwana menjadi host acara ‘Today’s Dialogue’ di Metro TV? Kurang lebih bayangan seperti itulah yang membuat saya tercenung. Sesuatu yang tidak mustahil tapi sepertinya agak susah diterima logika.

Saya lalu bertanya. Apakah perpisahan memang selalu membuat orang menjadi begitu sentimentil? Mungkin tergantung jenis perpisahan yang dialaminya. Saya bertanya lagi. Lantas, perpisahan seperti apa yang sebegitu hebatnya sehingga sanggup membuat orang seperti itu? Barangkali tergantung orangnya. Begitulah. Saya berputar-putar dalam sebuah senandika yang tak berakhir.

Bicara tentang perpisahan tentu tak lepas dari kata ‘kekal’. Hubungan yang tak kekal akan berakhir pada perpisahan. Lalu, apakah kekal itu? Atau mungkin lebih tepatnya, adakah kekal itu? Ketika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, saya mendapatkan penjelasan untuk kata ‘kekal’ seperti ini. Tetap (tidak berubah, tidak bergeser, dsb) selama-lamanya; abadi; lestari. Sayang sekali, saya tidak menemukan penjelasan untuk pertanyaan yang kedua di kamus itu. Mungkin ada di Kamus Kehidupan.

Saya rasa, semua orang tahu tentang Hukum Kekekalan Energi. Energi tidak bisa diciptakan, juga tidak bisa dimusnahkan. Ia hanya bisa bertransformasi menjadi bentuk energi yang lain. Inikah kekal itu? Sepertinya bukan. Saat berubah menjadi bentuk energi yang lain, apakah ‘kekal’ itu masih berlaku? Bukankah kekal seharusnya tidak terikat pada dimensi apapun? Sementara, ketika panas berubah menjadi listrik misalnya, bukankah bentuknya sudah berubah, yang juga berarti tidak kekal lagi?

Mungkin kita bisa berdalih dengan mengatakan ‘tergantung’. Tapi sudahlah. Berdebat tentang kekekalan tak akan ada habisnya. Bumi yang kita huni ini pun sering disebut orang sebagai ‘yang fana’. Lalu layakkah kita berbicara tentang kekekalan sementara kita sendiri hidup di dalam ketidakkekalan?

Senandika ini membawa saya ke tempat yang lain. Sayangnya, masih dalam koridor yang sama. Umumnya, manusia lahir dan besar dalam sebuah lingkungan keluarga. Sampai usia tertentu, kita akan hidup bersama orangtua, kakak, adik, kakek, nenek, paman, tante atau kerabat yang lain. Lalu, pada suatu saat, kita harus meninggalkan keluarga tersebut. Katakanlah untuk bersekolah ke kota lain. Kemudian, di kota tersebut, kita akan masuk dalam sebuah komunitas baru. Untuk kurun waktu tertentu, kita pun akan hidup dalam komunitas baru tersebut. Lalu, saat lulus, komunitas ini akan kita tinggalkan juga. Katakanlah kita pergi ke kota lain lagi untuk mencari pekerjaan. Di kota terakhir, proses yang sama akan terulang kembali. Kita menikah, membentuk keluarga baru, menghasilkan keturunan. Keturunan ini akan mengulang lagi proses yang sudah kita lewati. Selalu seperti itu.

Kalau kemudian muncul kesedihan saat perpisahan terjadi, saya rasa sangat manusiawi. Kita pun, sebagai manusia, adalah sesuatu yang tidak kekal. Jadi, sepanjang hidup di bumi yang tidak kekal, kita yang tidak kekal ini akan selalu mengalami ketidakkekalan.

Kembali ke puisi teman saya. Kekekalan yang dimaksudnya adalah tentang hubungan pernikahan. Dalam kepercayaan yang saya anut, hubungan ini dikatakan ‘tidak bisa diceraikan oleh manusia’. Saat mengucapkan ikrar pernikahan di depan Pendeta dan jemaat sebagai wakil Tuhan, kedua mempelai berjanji untuk sehidup semati. Dengan kata lain tidak boleh ada perceraian. Lalu, bagaimana dengan teman saya ini? Apakah ia sudah lupa dengan janji pernikahan yang sudah diucapkannya? Hanya dia yang tahu. Tapi, saya yakin ia pun sesungguhnya ingin mempertahankan pernikahannya. Hanya saja, untuk alasan yang belum saya mengerti, ia memilih untuk melanggar janji pernikahan itu. Apakah ia kemudian menjadi berdosa? Kurasa, itu urusan Tuhan.

Saya pun teringat kisah saya dengan seorang sahabat. Dulu, kami begitu dekat. Banyak kenangan indah yang kami lalui bersama. Belakangan ini, karena sebuah sebab, hubungan itu menjadi agak renggang. Dalam sebuah percakapan dengan dia, saya pernah mengatakan, segala sesuatu di dunia ini punya masa kadaluarsa. Termasuk persahabatan. Kita berada dalam dimensi ruang dan waktu yang selalu punya batasan. Persahabatan itu mungkin tetap ada. Hanya saja, sang waktu telah merenggutnya menjadi bentuk yang lain. Mungkin dia benar ketika mengatakan kalau bentuknya saja yang berubah tapi esensinya tetap sama, tapi buat saya, perubahan bentuk itu tetap saja merubah esensi yang ada – meskipun dalam kadar yang tidak sama. Dalam kasus ini, apakah perubahan bentuk tidak mempengaruhi perubahan esensi? Kurasa sulit. Indikator esensi persahabatan adalah bentuknya.

Jujur, saya harus mengakui kalau persahabatan itu tidak sama lagi. Sama sekali tidak ada niat untuk melupakan persahabatan itu. Saya hanya ingin realistis dengan kondisi yang ada. Dulu, hubungan itu begitu indah. Dan mungkin memang hanya seperti itu. Saya tidak bisa menyeret keindahan itu ke masa kini karena situasinya sudah berbeda. Ruang terus berganti. Waktu terus bergulir. Dapatkah kadar terus bertahan oleh gempuran ruang dan waktu?

Saya tak begitu yakin.


Rantepao, 21 November 2008. 01:20 am.

…..dan kebetulan rokok saya habis…..

7 comments:

Anonymous said...

Puisi perpisahan?
Perpisahan atau pertemuan hanya sekedar "cerita sesaat" yang paling tidak mengisi sedikit kisah dalam kehidupan manusia. Mengalaminya adalah anugerah yang tak ternilai dan akan tetap menjadi kenangannya yang abadi dalam kisah hidup kita.

Dimana sekarang bro??
Lagi dalam pengaruh A****** ini. wkwkwkwkwwkk

Ani Berta said...

Perpisahan kadang bisa membuat hubungan semakin erat baik secara lahir maupun bathin karena ada rasa rindu dan sisi baik yang tersembul jelas

Anonymous said...

Besaran energi sekekal besaran emosi:)!

Anonymous said...

yg penting kedepannya lbh baik.,.,.
he heh eh e he.,.,,.^_^

Anonymous said...

wew "PUISI PERPISAHAN" ,,
wakakakakakakakakkakakaka

ga paham saya ,,, lalalalala ,,,

cuma blog walking ajah wkkwkwkwkwkw

Anonymous said...

Wuihh Panjang sekali tulisannya..hahahha... Yang saya tangkap cuman Puisi Perpisahannya tok.. wakakka.. Otak ga nyampe..

Arman said...

So sweet..tulisan yang sangat menyentuh kalbuku. Iya ya...perpisahan akan dialami setiap orang. Sahabat sejatipun akan mengalami perpisahan. Tetapi perpisahan yang kekal bagiku adalah perpisahan dengan orang- orang dalam keluargaku. Mereka akan selalu mengingat dan merindukan aku. Itu berbeda jika perpisahan dengan sahabat..bahkan sahabat sejatipun. My family is my best friend