Sunday, November 2, 2008

RUANG TELANJANG

Sepertinya, semua orang memiliki sisi melankolis. Termasuk dirimu. Kau yang selalu tampil flegmatis-sangunis, kini hadir dengan nuansa yang sungguh berbeda. Tanpa canda tawa, keusilan, guyonan juga sisi bijakmu yang biasanya membuatku kagum. Dugaanku, kau sedang punya masalah besar. Apakah semua orang mudah menjadi melankolis tiap kali punya masalah? Ataukah semua orang memang punya sisi melankolis?

Entahlah. Yang jelas, saat ini kau tidak seperti biasanya. Matamu menerawang. Keningmu mengkerut hingga kedua ujung alis tebalmu hampir bertaut. Kehadiranku pun tak kau gubris untuk beberapa lama. Kau begitu larut dalam euforia lirik dan melodi lagu Ebiet G. Ade yang entah judulnya apa (yang pasti bukan Titip Rindu Buat Ayah atau Berita kepada Kawan).

Tiba-tiba, kau bergumam, “Coba simak lagunya.”

Aku menurut. Sayangnya, lagunya sudah hampir selesai. Tak banyak yang bisa kutangkap dari liriknya. Untung, melodinya yang mendayu-dayu cukup membantuku. Paling tidak aku bisa menebak kalau temanya seputar sakitnya dikhianati atau patah hati. Namun, mengingat lagu-lagu Ebiet dominan menyuarakan tema sosial, kemungkinan besar aku salah tebak. Akhirnya, aku menyerah.

“Sedih banget lagunya. Tentang apa sih?” Hanya itu komentarku.

Maaf, jangan salahkan aku. Bukan bermaksud tak berempati atau mengabaikanmu. Selain karena tak begitu suka lagu-lagu Ebiet, menyimak sebagian apalagi hanya beberapa kalimat terakhir dari sebuah lagu, menurutku tak cukup untuk mengerti isi keseluruhan lagu. Daripada salah lebih baik aku bersikap netral.

“Makanya, dengerin dong.” Balasmu agak kecewa.

Aku memilih untuk tak bereaksi lewat kata-kata. Diam. Itu yang aku pilih. Jika aku merespon secara verbal dengan alasan apapun, aku khawatir kau semakin kecewa. Semoga, sebuah pilihan yang tepat.

“Kok malah diam?” Ternyata pilihanku salah. Aku pun menjadi serba salah. Pertanyaanmu barusan semakin menonjolkan sisi melankolismu hari ini. Sensitif. Apakah semua orang mudah menjadi sensitif saat sedang punya masalah? Ataukah semua orang memang punya sisi sensitif?
Mungkin juga. Yang jelas aku semakin yakin kalau kau sedang punya masalah. Masalah yang berat.

Sorry. Mmmhhh…..Lagi mikirin apa sih?” Aku berusaha mencairkan suasana. Semoga pilihan pertanyaan yang tepat kali ini.

Aku harus menunggu beberapa saat sampai akhirnya kau menjawab pertanyaanku. Aku paham, pertanyaan itu tidak bisa kau jawab dengan satu kalimat. Secara tidak langsung, aku sudah membuka pintu ke ruang yang kau tunggu-tunggu dari tadi, sejak kau memintaku menyimak lagu Ebiet yang (maaf) kurang sesuai dengan selera musikku. Ruang di mana kita – seperti yang sebelumnya – bisa menjadi diri kita sendiri, lepas dari predikat apapun yang melekat. Ruang tempat kita ‘telanjang’, bebas berekspresi apa pun bahkan sampai saling meneriaki ‘tolol’, ‘keras kepala’, ‘ngeyel’, ‘ya sudah’ atau ‘terserah lo’.

Jujur, aku selalu merindukan kebersamaan kita dalam ‘ruang telanjang’ itu. Hanya pada waktu di dalam ruang itulah aku bisa merasakan keintiman denganmu. Meski tak lama dan tak sering, namun itu sudah cukup. Dibandingkan dengan imajinasi yang sering kucipta dan kamuflase yang terpaksa aku lakukan, sekedar untuk bisa ‘berada’ bersamamu. Berkuantitas namun tak berkualitas.

Dalam ruang itu, aku merasa ‘ada’. Ada yang sejati. Tak hanya sebagai sebuah realitas fisik belaka, namun juga beserta jiwa yang terperangkap di dalamnya. Aku merasa berharga. Tak hanya karena aku bisa berada bersamamu secara eksklusif, namun lebih dari itu, kau memberikan sesuatu yang berharga bagiku. Bukan benda duniawi yang melimpah padamu melainkan kepercayaan untuk mengetahui sisi terkelam dari kehidupanmu, yang kurasa tak banyak orang yang tahu.

Mungkin, kamu tidak tahu kalau itu membuatku bahagia. Bukan karena ternyata kau punya sisi kelam, melainkan kepercayaan yang kau berikan padaku. Tidakkah semua orang ingin dipercaya oleh orang yang disayanginya?

Sebenarnya, aku merasa kalau ruang telanjang itu sudah tak ada lagi. Telah sekian lama, kau tak pernah mengajakku mengunjunginya. Tak sekali dua kali aku yang mengajak, namun kau tak pernah mau membuka pintunya. Aku curiga, kau sudah memberikan kunci duplikatnya kepada orang lain. Saat itu, aku pun telah merelakan hilangnya ruang telanjang itu. Meskipun kunci aslinya masih ada padaku, namun untuk membukanya, perlu kunci duplikat yang ada padamu. Rupanya aku keliru. Ruang telanjang ternyata masih eksis. Kuncinya pun tidak kemana-mana, yang asli maupun duplikatnya.

Alih-alih menjawab pertanyaanku tadi, kau malah bertanya. “Kenapa tidak semua doa dijawab oleh Tuhan?” Matamu menatap mataku dengan tajam. Selama beberapa detik, aku masih sanggup bersitatap denganmu. Sesudahnya, aku harus mengalihkan pandangan ke tempat lain. Tahukah kamu kalau tatapanmu barusan membuatku menderita sekaligus bahagia? Tahukah kamu kalau tatapan itu selalu kurindu sekaligus kubenci? Dan, apakah kamu juga tahu kalau tatapan itu selalu abu-abu, bias dan mengambang?

Aku tahu banyak hal dari pertanyaanmu itu. Aku tahu mengapa kau mempertanyakannya. Aku tahu doa mana yang tak terjawab. Aku juga tahu kalau kau sudah tahu aku tak tahu jawabannya meskipun aku selalu punya jawaban. Dan, seperti sebelumnya, jawabanku selalu sama. “Tidak semua yang kita minta lewat doa adalah yang terbaik buat kita.”

Seperti sebelumnya juga, kau kemudian menghelas napas lalu mengalihkan tatapanmu dari mataku. Sejujurnya, aku ingin bilang kalau kau tak perlu bertanya. Kau juga tak butuh jawaban karena kau sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu hanya kamuflase. Tameng untuk membenarkan jawaban yang sebenarnya sudah kau punya. Hanya saja, kau tidak mau jujur terhadap diri sendiri. Juga, tak berani mengambil resiko.

Maaf jika aku menilaimu seperti itu. Ingatkah kamu rentetan perdebatan yang kita lalui tanpa kesimpulan apa-apa? Menurutku, kau hanya butuh tempat untuk berbagi. Sekedar melampiaskan kegalauan dan gejolak hatimu. Saran apa pun yang aku tawarkan akan kau bantah dengan berbagai penjelasan. Dan ternyata, kau tidak berbuat apa-apa.

Mungkin aku belum layak untuk berada pada posisi sebagai pemberi saran. Namun, ketaklayakan itu sudah cukup membuatku bahagia. Sebuah keistimewaan bagiku menjadi ‘tempat sampah’ di mana semua limbahmu dapat kau buang. Meskipun untuk itu, aku terkadang merasa terluka.

Aku ingin doamu segera terkabul, meskipun aku tak yakin itu adalah yang terbaik untukmu. Namun, bila masa itu tiba, aku khawatir ruang telanjang juga akan benar-benar hilang. Pintu ruang telanjang hanya akan terbuka bila doamu belum juga terjawab. Bisakah ruang telanjang tetap ada sekaligus doamu terjawab?

Hanya Tuhan yang tahu. Ingin kuminta jawabannya. Sekedar untuk mengerti, apakah aku memang hanya sebuah tempat sampah bagimu?

Apexindo Rig-8, Well Semberah #85,
31 Oktober – 1 November 2008.

1 comment:

Unknown said...

masih berkarya toh ne'? hehhe... makin mataff aja tulisannya.. ;)

di mana mi ko?

ni blog gw yg lg di kerjakan Rabbles72 klo punya gw punya gw msh kosong @_@

tele2 ne..

GBU