Friday, October 23, 2009

Lebih Indah dari ‘Sekadar’ Pacaran

Ada seseorang yang mengabadi dalam ingatanku. Ia bahkan menyejarah. Seorang perempuan yang kukenal belasan tahun silam, 14 tahun 3 bulan yang lalu tepatnya. Sebenarnya, 3 tahun sebelumnya, aku sudah mengenal namanya saat kelas 6 SD. Nama yang keliru ternyata. Haha…

Dia, seorang perempuan remaja yang… splendid, superb, dan… tak banyak kata yang cukup untuk menggambarkannya. Pintar, baik, dan cantik. Ahh, itu dia 3 kata yang semoga cukup representatif. Rasanya tak ada lagi yang kurang. Fragmen pertama yang menyisakan kesan mendalam tentangnya terjadi suatu pagi ketika ia ‘membabat habis’ soal-soal latihan Matematika di papan tulis yang bagiku (dan sepertinya seluruh isi kelas, kecuali dia dan pak guru) tak lebih dari deretan angka beserta simbol-simbol yang sungguh memusingkan kepala. Di deretan bangku paling kiri urutan ketiga dari depan, ia mengacungkan tangan kemudian berjalan ke depan papan tulis sambil membawa sebuah buku di tangan kanannya. Seragamnya putih-putih seperti yang selalu kami kenakan dari hari Senin hingga Rabu. Rambutnya yang indah; hitam dan lurus sepinggang ia sibakkan dalam gaya yang sangat khas. Campuran antara malu-malu dan salah tingkah. Semua tatapan mengarah padanya. Tak lebih dari satu menit, ia selesai menuliskan angka dan simbol di papan tulis. Dua garis horizontal sejajar dibubuhkannya persis di bawah angka terakhir yang ditulisnya. Ia kembali ke bangkunya dengan ‘sempurna’, kata yang kemudian keluar dari bibir pak guru.

Sejak itu, tak kuragukan lagi ia akan menjadi peringkat pertama dalam catur wulan pertama kami di SMU itu. Dan, ternyata benar. Tak hanya pintar mengutak-atik angka dan simbol, ia juga fasih ber-‘cas cis cus’ dalam bahasa Inggris. Konsep mol, persamaan reaksi, percepatan, energi serta nama-nama Latin pun bukan perkara yang rumit baginya. Dua tahun kemudian, tak ada satu pun yang sanggup menggesernya dari posisi puncak. Satu lagi. Ia pandai bernyanyi. Suaranya merdu, dominan sopran tapi juga fasih pada melodi alto. Kepolosan, kejujuran, dan ketulusan adalah ‘kecantikan’ yang luar biasa padanya. Ia membantu siapa saja yang kesulitan dalam menerjemahkan angka dan simbol menjadi bahasa yang lebih sederhana. Tak pernah kudengar sekali pun ia mencontek. Semua prestasi ia raih dengan kerja keras yang jujur.

Berawal dari pengaturan teman sebangku yang disusun sedemikian rupa oleh guru wali kelas, kami kemudian mulai dekat. Setiap siswa akan memiliki 2 teman sebangku, satu perempuan dan satu laki-laki. Dia menjadi teman sebangkuku yang perempuan. Setiap bulan ganjil, saya akan duduk sebangku dengannya, sementara pada bulan genap saya akan duduk dengan teman yang laki-laki. Sistem yang awalnya terasa risih bagi kami. Saat itu, duduk sebangku dengan lawan jenis adalah sesuatu yang belum lazim. Lama-kelamaan hal itu kemudian menjadi biasa.

Di sebelah kelas kami, diantarai sebuah perpustakaan yang jarang dikunjungi, ada sebuah aula yang dipenuhi oleh siswa saat ‘keluar main’, jeda waktu selama 30 menit untuk istirahat setiap 4 jam pelajaran. Aula itu dekat dengan satu-satunya kantin yang ada di sekolah kami. Suatu waktu, ia mengajak saya ke kantin pada saat keluar main. Begitu kami sampai di ujung aula, hendak membelok ke arah kantin, tiba-tiba saja puluhan bahkan mungkin ratusan siswa yang penuh di aula, kantin, dan jalan di antaranya menyoraki kami.

‘Ciyee…. Ada orang pacaran…’ teriak seseorang di antara mereka. Banyak pasang mata kemudian menoleh kepada kami. Sontak, ia menutupi mukanya dengan buku yang selalu ia bawa ke mana-mana. Mukanya memerah. Saya jadi salah tingkah. Kami, siswa kelas satu di sekolah itu, tidak bisa berkutik di kerumunan kakak-kakak kelas yang sepertinya masih memandang kami sebagai sasaran empuk untuk ‘dikerjain’. Tidak ada pilihan lain, saya mengikutinya kembali ke kelas. Kami tak jadi ke kantin. Sejak saat itu, kami mulai berhati-hati ketika berduaan.

Tak banyak yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kami. Beberapa menganggap kami menyembunyikan sesuatu dalam hubungan tersebut. Bagi mereka, tidak ada kemungkinan lain di luar ‘pacaran’ antara dua orang, laki-laki dan perempuan, yang kemana-mana hampir selalu berdua. Kami membiarkan mereka dengan dugaannya masing-masing. Kami bukan selebritas yang merasa perlu mengadakan konferensi pers untuk mengklarifikasi. Lagi pula, sepertinya tidak ada yang terlalu peduli dengan itu. Selain itu, tidak ada yang perlu dilebih-lebihkan dari kedekatan kami.

Istilah terbaik yang bisa dilekatkan pada kedekatan kami adalah sahabat. Ya, sahabat. Mungkin kedengaran terlalu klise. Tapi, sejujurnya definisi itulah yang menggambarkan hubungan kami. Beberapa teman tidak percaya status ‘sekadar sahabat’ tersebut. Bertahun-tahun kemudian, saya menyadari satu hal. Kadang, posisi sababat ditempatkan ‘lebih rendah’ daripada pacaran. Ketika melekatkan label ‘sekadar’ untuk sebuah persahabatan, seolah-olah ‘pacaran’ adalah sebuah bentuk hubungan yang lebih di atas, lebih baik, atau lebih indah. Dari sudut pandang tersendiri, tidak ada yang salah dengan itu. Namun, dalam kasus yang lain – yang juga saya yakini terjadi pada jutaan orang lain – ‘sahabat’ tidak kalah indahnya dengan pacaran.

Tahun kedua di sekolah yang sama. Ada seorang guru yang begitu telaten memperhatikan perkembangan belajar kami. Sebaiknya semua guru seperti itu, bukan? Entah sengaja entah tidak, beliau seolah-olah menciptakan semacam ‘persaingan terbuka’ antara siswa-siswa yang berada di bawah bimbingannya. Tentu saja dalam pengertian yang positif. Beliau begitu bersemangat memberi dorongan kepada kami untuk bersaing secara sehat. Menurut beliau, prestasi yang ditorehkan sahabat saya itu bukan hal yang mustahil untuk dicapai. ‘Kalian semua punya potensi. Hanya perlu usaha dan kerja keras untuk bisa berhasil’ begitu pesan beliau. Sementara itu, beliau tetap memberi perhatian kepada sahabat saya untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan, apa yang sudah dicapainya. Jadilah motivasi itu sebagai pemicu bagi kami semua. Sepanjang tahun ajaran itu, hampir setiap orang seperti berlomba. Jika dianalogikan, sahabat saya melaju dengan kecepatan 100 km/jam, kami hanya sanggup dengan kecepatan maksimum 80 km/jam. Arahnya sama namun besarnya berbeda. Dengan durasi yang sama, otomatis jarak yang kami tempuh akan berbeda. Perlu kecepatan di atas 100 km/jam untuk bisa menjajari sahabat saya itu. Belum lagi, kalau ada niat untuk menyalipnya. Di akhir tahun ajaran kedua itu, sahabat saya akhirnya menempuh jarak yang lebih panjang. Tak jauh di belakangnya, kami berderet rapi dalam kepuasan. Paling tidak, rentang jarak yang memisahkan kami dengannya tak lagi begitu jauh.

‘Maaf, yah.’ Ia mendatangiku dan mengatakan itu. Berdua, kami berdiri di ujung jalan yang memisahkan deretan dua bangunan sekolah. Matanya membahasakan sesuatu yang sepertinya tak cukup diekspresikan dengan ‘maaf’. Ada lapisan bening di matanya. Ia ingin mengatakan bahwa perjuangan kami ‘menambah kecepatan’ layak diganjar dengan sesuatu yang lebih. ‘Harusnya bukan saya yang nomor satu.’ Ia melanjutkan. Tanpa sadar, saya meraih pundaknya dan berkata, ‘kamu layak jadi nomor satu.’ Adegan itu berlangsung beberapa detik. Kami tidak sadar hingga sorakan ramai sudah membahana ditujukan kepada kami. Rupanya, mereka melihat kami seperti sedang pelukan. Saya segera menarik tangan saya. Ia berlari menuju kelas. Kali ini, saya mengikutinya dengan langkah perlahan. Beberapa detik pertama, saya larut dalam ‘rasa malu’ akibat sorakan tadi. Detik-detik sesudahnya, bahkan hingga kini, adegan itu menyejarah dalam ingatan saya. Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan ‘versi live’ dari sesuatu yang bernama JIWA BESAR.

Di tahun terakhir kami di SMU itu, tanpa kami sadari, kami tak lagi sedekat sebelumnya. Saya semakin menikmati kegiatan-kegiatan pecinta alam sekolah yang kami rintis setahun sebelumnya. Sungguh sayang, ia tidak ikut dalam komunitas itu, meski sesekali ia ikut dalam kegiatan kami. Pada sebuah pendakian di sebuah gunung dekat perbatasan selatan Toraja dengan kabupaten Enrekang, sesuatu yang mengerikan hampir terjadi padanya. Saat itu, kami melakukan pendakian malam. Gunung itu masih baru bagi kami. Tak ada satu pun yang mengenal daerah itu atau pernah melakukan pendakian sebelumnya di gunung itu. Berdasarkan petunjuk singkat dari seorang penduduk, malam itu kami nekat mendaki. Saat mendekati puncak, kami menjumpai bahwa kami tak bisa lagi ke mana-mana. Di sekeliling kami menganga jurang terjal yang siap menelan korban. Tak jarang batuan yang kami pijak jatuh menggelinding lalu hilang tanpa terdengar bunyinya. Angin bertiup kencang menirukan suara suling yang ditiup dengan kasar. Kami lalu berkumpul. Kami sepakat untuk berhenti di situ hingga terang. Rupanya, kami salah jalan. Gunung yang kami tuju menjulang di seberang kami dengan angkuh, seolah menertawakan ketersesatan kami. Beberapa orang yang sudah tertidur bangun ketika dikagetkan oleh teriakan pak guru yang jadi pembina dalam kegiatan itu. Sebuah nama diteriakkannya dengan lantang sambil bertanya, ‘hei… mau ke mana?’ Kami menoleh dan mendapati seseorang tengah berjalan menjauh dari tempat kami berkumpul. Orang itu adalah sahabat saya. Dari pengakuannya, ia merasa melihat seseorang yang memanggilnya di kejauhan. Ia bermaksud mendekati orang tersebut. Bapak Pembina, yang juga adalah guru wali kelas kami, melihat sahabat saya itu berjalan ke arah jurang yang menganga. Kehebohan segera terjadi. Sisa malam itu kami lewatkan dalam ketakutan yang mencekam. Tak ada lagi yang bisa tertidur sesudahnya hingga matahari kemudian muncul. Sejak kejadian itu, ia tak pernah lagi ikut dalam kegiatan kami.

Setahun kemudian, kami lulus SMU dan melanjutkan sekolah di kota yang berbeda. Jarak kemudian berhasil membuat kami sempat kehilangan komunikasi. Bertahun-tahun sesudahnya, saya pulang kampung. Sudah lama saya kehilangan kontak dengan sahabatku itu. Saya pernah menelepon ke rumahnya dan ibunya mengatakan kalau dia sudah tinggal di Papua bersama suami dan anaknya. Suatu malam, telepon rumah berbunyi dan diangkat oleh ibu saya. ‘Dari temanmu.’ Ibu menyerahkan gagang telepon kepada saya. Keningku berkerut. Seingatku tidak ada yang tahu saya lagi pulang kampung kali ini, kecuali orang di rumah. Si penelepon tidak langsung menjawab ketika saya menayakan siapa yang menelepon. Ia menyuruhku untuk menebak. Suaranya terdengar begitu asing. Ia hanya mengaku sebagai teman lama. Akhirnya saya menyerah. ‘Maaf, saya lupa.’ Ia pun menyebutkan sebuah nama yang tak terlintas sedikit pun di kepalaku malam itu. Ternyata, ia adalah sahabatku yang puluhan tahun lalu hampir jatuh ke jurang. Perasaan bersalah menyergapku. Saya pun meminta maaf karena tak mengingat suaranya lagi. Kami kemudian bertukar cerita tentang banyak hal. Malam itu dia mengaku tiba-tiba kangen dengan masa-masa SMU dan menelepon ke rumah dengan dugaan siapa tahu saya lagi pulang kampung. Dugaannya tidak meleset. Bagiku, itu bukan dugaan. Saya selalu percaya bahwa ada ikatan batin antara orang-orang yang saling menyayangi, entah dalam bentuk apapun. Kemampuan telepati akan tercipta dengan sendirinya begitu hati saling bertaut, terserah mau dilabeli apa tautan tersebut. Sejak itu, kami kemudian dekat lagi. Salah satu sisi positif dari teknologi berupa internet dan telepon seluler. Jarak menjadi begitu relatif di dalamnya.

Semalam, ia mengunggah beberapa foto kami semasa SMU di facebook. Wajah-wajah polos dan culun terpampang dengan jelas di sana. Ada rasa geli melihat wajah-wajah kami belasan tahun lalu. Serasa tak percaya kalau dulu pernah memiliki tampang seperti itu. Sore tadi kenangan akan masa-masa indah pada saat itu bermain-main dalam kepala saya. Dengan ijinnya, saya menuliskan catatan ini.

“Untuk seorang perempuan hebat yang tak lekang jadi inspirasi. Suatu kehormatan mengenalmu sebagai sahabat”


Toraja, 18 Oktober 2009; 11:55 pm.

No comments: