Tuesday, October 13, 2009

SERENADE HUJAN

Aku merindukan hujan. Gemuruh atap seng adalah dinamika melodi. Kadang piano, lebih sering forte. Aku lebih suka forte. Semerdu paduan suara penyanyi kulit hitam menyanyikan kidung pujian bagi Yesus; sesabar ibu menyenandungkan ‘nina bobo’ hingga bayinya tertidur. Dan, aku menjadi lebih mudah mengantuk bila mendengar hujan.

Aku suka menonton perlombaan lari. Baris-baris hujan adalah peserta lomba maraton yang mencapai garis finis bersamaan. Catatan waktunya pasti lebih cepat dari rekor Usain Bolt sekalipun. Begitu gemuruhnya terdengar di ujung cakrawala, kurang dari 9 detik kemudian sudah terdengar di atap seng.

“Jangan main hujan! Nanti kamu sakit.” Pesan ibu sewaktu aku kecil dulu. Sesekali, ingusku memang menjadi begitu mudah keluar sehabis mandi hujan. Tapi aku tak peduli. Sehari dua hari pasti sudah sembuh. Aku dan teman-teman kecilku selalu menunggu hujan dengan antusias. Kristal-kristal es yang mungil menjadi rebutan begitu meluncur dari parit atap seng. Ayah menyebutnya ‘buah hujan’. Bagus untuk membersihkan mata, katanya.

Aku selalu tersenyum memandangi langit sehabis hujan. Lengkungan bianglala membalas senyumanku. Kata guruku, warnanya ada tujuh. Aku tidak percaya. Menurutku cuma ada tiga: merah, kuning, dan hijau. Dan, ibu akan marah bila aku menunjuk bianglala itu sambil berteriak kegirangan, “Bu, lihat!” Tanganmu bisa buntung, kata ibu. Suatu waktu, ketika ibu tidak ada, aku nekad menunjuk bianglala. Sekadar menguji kebenaran kata-kata ibu. Ternyata, ibu bohong.

Aku merindukan hujan. Tak lagi kudengar melodi dalam dinamika forte dari atap seng. Genting tanah liat hanya sanggup membunyikannya pada pianissimo. Nyaris tak terdengar. Atau mungkin, hujan sudah tua hingga suaranya tak lagi nyaring.

Aku mencari hujan. Dalam bak mandi yang bisa dipakai tidur itu tak juga kutemukan sosoknya. Baris-baris air yang mengucur dari shower tak seramai baris-baris hujan yang sedang lomba maraton. Tak ada pula kristal es pembersih mata yang meluncur dari atap seng. Mungkin, hujan sudah pensiun jadi pelari. Barangkali, pabrik esnya juga sudah bangkrut. Tapi aku mandi saja. Penat sekujur tubuhku sudah kronis.



Toraja, 13 Oktober 2009; 03:05 am

No comments: