Perempuan aneh: tak mahir bersolek, tak pandai memasak.
Mungkin, begitu orang-orang mengenalmu. Sebelum kauhujani aku dengan protes dan penjelasan, kukatakan padamu begitu pulalah aku mengenalmu. Dulu. Namun kini, wahai kalian, orang-orang yang merasa mengenal perempuan ini dengan baik, kuberitahu sebuah rahasia. Jika kalian masih beranggapan seperti itu, kujamin kalian salah besar. Ia sudah mahir bersolek. Setiap bulan ia menyatroni salon, lho! Ia pun jago memasak, kini. Sering ia mengundangku menjadi penikmat resep kreasinya sendiri. Dan kuberitahu, masakannya enak. Serius.
Perempuan mandiri: tak banyak mengeluh, independen.
Mungkin, tak banyak yang mengenalmu seperti itu. Namun sebelum kau mulai berekspresi ‘lebay’ untuk mengatakan terima kasih, kukatakan padamu memang begitulah sosokmu kuakrabi. Ada yang pernah bilang, kau terlalu koleris hingga serupa dengan gunung terjal yang berdiri angkuh. Aku tertawa. Kuberitahu sebuah rahasia lagi, wahai kalian yang terlalu takut untuk melangkah. Berjalanlah! Mendekatlah! Sedikit saja. Akan kalian dapati sosok seorang perempuan yang kokoh, di mana kalian akan tahu apa artinya ‘tegar’.
Perempuan perkasa: tak pernah menangis, ‘dominator’.
Mungkin, sangat sedikit yang tahu itu. Sebelum kau merenung dan bersenandika untuk mempertanyakannya, kukatakan padamu itulah yang membuatmu menjadi seseorang yang luar biasa bagiku. Perempuan maskulin yang tidak kelaki-lakian. Segala hal sanggup kau lakukan, segala urusan mampu kautangani. Sebuah bukti bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin.
Hari ini, di sebuah hari yang akan menyejarah dalam hidupmu, kukenakan baju terbaik yang pernah kupunya. Seperti kau bagiku; sahabat terbaik yang pernah ada. Sekemilau cincin pernikahan yang kemudian diraih oleh Pendeta dari telapak tanganku untuk kausematkan di jari manis tangan kanan suamimu. Pertama kali dalam hidupku, aku melihatmu begitu perempuan. Gaun putih, rambut tersanggul feminin, wajah berias kosmetika, dan seikat bunga di tanganmu. Cantik dan memesona.
Di hari ini pula, untuk pertama kalinya aku melihat matamu berurai air mata. Air mata bahagia yang kuempati dengan sungguh-sungguh. Ketika kausujud di kaki ibumu memohon restu kemudian memeluknya sambil terisak. Kau menangis lagi. Ketika kujabat tanganmu dengan erat, mencium pipimu, kemudian memelukmu lama. Kubisikkan ini di telingamu, ‘I’m happy for your marriage. Thanks for being my best friend.’ Hanya itu, sesingkat jawabanmu kemudian, ‘thanks’. Tapi aku yakin, kita sama-sama tahu bahwa jutaan kisah bersembunyi di sebaliknya. Kisah tentang sebuah persahabatan yang tak lekang membuatku takjub akan ketulusan dan kepercayaan. Sebuah persahabatan yang tak pupus membangun mimpi akan sebuah hidup yang lebih bermakna. Sebuah persahabatan yang… apa adanya.
Sahabatku, selamat untuk pernikahanmu! Bertumbuhlah dalam cinta yang mengabadi.
Rantepao, 9 Januari 2010. 10:15 pm
Mungkin, begitu orang-orang mengenalmu. Sebelum kauhujani aku dengan protes dan penjelasan, kukatakan padamu begitu pulalah aku mengenalmu. Dulu. Namun kini, wahai kalian, orang-orang yang merasa mengenal perempuan ini dengan baik, kuberitahu sebuah rahasia. Jika kalian masih beranggapan seperti itu, kujamin kalian salah besar. Ia sudah mahir bersolek. Setiap bulan ia menyatroni salon, lho! Ia pun jago memasak, kini. Sering ia mengundangku menjadi penikmat resep kreasinya sendiri. Dan kuberitahu, masakannya enak. Serius.
Perempuan mandiri: tak banyak mengeluh, independen.
Mungkin, tak banyak yang mengenalmu seperti itu. Namun sebelum kau mulai berekspresi ‘lebay’ untuk mengatakan terima kasih, kukatakan padamu memang begitulah sosokmu kuakrabi. Ada yang pernah bilang, kau terlalu koleris hingga serupa dengan gunung terjal yang berdiri angkuh. Aku tertawa. Kuberitahu sebuah rahasia lagi, wahai kalian yang terlalu takut untuk melangkah. Berjalanlah! Mendekatlah! Sedikit saja. Akan kalian dapati sosok seorang perempuan yang kokoh, di mana kalian akan tahu apa artinya ‘tegar’.
Perempuan perkasa: tak pernah menangis, ‘dominator’.
Mungkin, sangat sedikit yang tahu itu. Sebelum kau merenung dan bersenandika untuk mempertanyakannya, kukatakan padamu itulah yang membuatmu menjadi seseorang yang luar biasa bagiku. Perempuan maskulin yang tidak kelaki-lakian. Segala hal sanggup kau lakukan, segala urusan mampu kautangani. Sebuah bukti bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin.
Hari ini, di sebuah hari yang akan menyejarah dalam hidupmu, kukenakan baju terbaik yang pernah kupunya. Seperti kau bagiku; sahabat terbaik yang pernah ada. Sekemilau cincin pernikahan yang kemudian diraih oleh Pendeta dari telapak tanganku untuk kausematkan di jari manis tangan kanan suamimu. Pertama kali dalam hidupku, aku melihatmu begitu perempuan. Gaun putih, rambut tersanggul feminin, wajah berias kosmetika, dan seikat bunga di tanganmu. Cantik dan memesona.
Di hari ini pula, untuk pertama kalinya aku melihat matamu berurai air mata. Air mata bahagia yang kuempati dengan sungguh-sungguh. Ketika kausujud di kaki ibumu memohon restu kemudian memeluknya sambil terisak. Kau menangis lagi. Ketika kujabat tanganmu dengan erat, mencium pipimu, kemudian memelukmu lama. Kubisikkan ini di telingamu, ‘I’m happy for your marriage. Thanks for being my best friend.’ Hanya itu, sesingkat jawabanmu kemudian, ‘thanks’. Tapi aku yakin, kita sama-sama tahu bahwa jutaan kisah bersembunyi di sebaliknya. Kisah tentang sebuah persahabatan yang tak lekang membuatku takjub akan ketulusan dan kepercayaan. Sebuah persahabatan yang tak pupus membangun mimpi akan sebuah hidup yang lebih bermakna. Sebuah persahabatan yang… apa adanya.
Sahabatku, selamat untuk pernikahanmu! Bertumbuhlah dalam cinta yang mengabadi.
Rantepao, 9 Januari 2010. 10:15 pm
No comments:
Post a Comment