Monday, January 11, 2010

MINGGU PAGI

Aku takjub melihat kanak-kanak. Ketika hidup melulu bertanya: ‘apa itu?’, ‘kenapa begitu?’. Manakala berlari tak perlu tujuan, dan menangis-tertawa tak butuh alasan. Berkelahi merebutkan mainan, bermain bersama tanpa dendam kemudian. Adakah hidup yang lebih damai dari itu?

Aku ‘no comment’ melihat orang dewasa. Ketika hidup monoton berkompromi: ‘memang begitu’, ‘mungkin sudah takdirnya’. Bahkan berjalan pun harus punya tujuan, dan menangis-tertawa punya alasan masing-masing. Bersaing demi prestasi dan posisi, dendam kesumat tujuh turunan menyertainya. Bukankah itu hidup yang mengerikan?

Puluhan tahun lampau, Minggu pagi adalah momen terindah dalam seminggu. Alkitab mungil di tangan kiri, uang 100 perak untuk persembahan di saku celana kanan. Waktunya bernyanyi, bertepuk tangan, dan bermain. Bagi Yesus. Tak perlu iming-iming surga-neraka, semua merindukan Sekolah Minggu.

Puluhan tahun berikutnya, Minggu pagi tetap jadi momen terindah dalam seminggu. Tiket perjalanan liburan di tangan kiri, jutaan rupiah dalam dompet di saku celana belakang. Waktunya bangun siang, leha-leha, dan liburan. Bagi… Yesus? Hmm… Entahlah. Kalau tidak ke gereja masuk neraka nggak yah?

“Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” (Markus 10:15)



PS. Untuk keponakan-keponakanku, Aaron, Vani, Opink, Adel, dan Sena serta semua anak-anak kecil. Ajari paman menjadi sepertimu.

Rantepao, 20 Desember 2009.


No comments: