Monday, April 19, 2010

ROMANSA SIKLUS

Semua masih sama rupanya, Kawan!

Jalanan ini masih 5 warna: merah, kuning, ungu, coklat, dan hitam yang saling menindih dan berdempet satu dengan yang lain. Seperti yang dulu, kelimanya masih 3 unsur: lempung, pasir, dan batubara. Licin dan berlumpur di waktu hujan, kering dan berdebu kalau kemarau. Pipa-pipa panjang masih kokoh melintang di sana, meliuk-liuk menjejeri jalanan 5 warna tadi, membelah nipah, jati, ulin, dan entah apa lagi namanya. 5 tahun dan semuanya masih sama.

Delta Mahakam masih bernyamuk, bermonyet, dan berbuaya. Seperti yang dulu, menara-menara rig masih berdiri angkuh di tengah belantara Borneo. Menjejalkan pipa-pipa besi hinga ribuan kaki menembus bumi lalu pindah ke tempat lain untuk tujuan yang sama. Bising mesin-mesin sekian desibel masih memekakkan telinga, lumpur-lumpur Kimia masih gatal dan panas. 5 tahun, Kawan! dan masih sama.

Ranger putih bergaris merah masih rutin mengantar-jemput kita setiap 2 minggu sekali, kadang kurang lebih sering lebih. Tas-tas besar masih setia menemani kita melewati rute yang sama tanpa pernah bertanya, ‘ngapain sih kamu bolak-balik melulu?’ Dan, seperti yang dulu juga, pertanyaan favorit mereka masih yang itu-itu juga, “berapa berat lumpur sekarang?”

Kawan,
Kita serupa molekul air yang terjerat dalam siklus abadi. Mengalir ke tempat yang lebih rendah, menguap ke atmosfer, berkumpul menjadi kumulus, lalu tercurah ke bumi menjadi hujan. Dan barangkali, serupa pula dengan elektron yang ajeg mengedari inti atom dalam orbitalnya masing-masing. Membosankan, bukan?

Aku bertanya kepada air. Adakah ia ingin keluar dari siklusnya menjadi hujan? Adakah ia memilih ketika ikan-ikan ‘meminumnya’ hingga menyatu dengan dagingnya lalu tertangkap oleh jala nelayan untuk kemudian terhidang di meja makan? Sayangnya, aku tak mengerti bahasa air.

Aku lalu bertanya kepada elektron. Adakah ia ingin melompat dari orbitalnya? Adakah ia memilih ketika sejumlah energi membuatnya tereksitasi ke orbital yang lain? Sayangnya lagi, suaranya terlalu mikro hingga aku tak mendengarnya bahkan ketika ia berteriak sekalipun.

Tapi Kawan,
Entahkah air dan elektron itu bosan atau tidak, memilih kah atau tidak, aku percaya selalu ada pilihan untuk direnungkan. Pilihan-pilihan yang barangali tak perlu konsep lompatan kuantum untuk menjelaskannya, namun selalu disediakan oleh hidup.

Dan di sinilah aku berada, pada sebuah titik dalam siklus hidup ketika matahari sedang menuju ke kematian semunya. Larut ke dalam euforia jingga yang kemilau di antara ratusan manusia yang entah datang dari mana dan pergi ke mana. Mencoba mencumbui hidup yang gemar berteka-teki.

Kawan,
Dalam setiap menit yang kita habiskan melintasi stratosfer, setiap kilometer yang kita lewati melindasi pesisir timur Kalimantan, setiap kesempatan yang hilang bersama orang-orang tercinta, dan setiap peluh yang kita teteskan untuk membuka-tutup katup-katup dan menuangkan ribuan pon butiran bahan Kimia ke dalam tangki, ada keindahan yang ditawarkan hidup untuk kita nikmati. Keindahan berwujud siklus dengan 360 sisi untuk diselami.

Bandung, 19 April 2010.



2 comments:

Sophie Razak said...
This comment has been removed by the author.
Sophie Razak said...

liat profil di pinamoosh tulisannya yang ini keren juga, tapi meninggalkan jejak banyak dipengaruhi ma tulisan dewi lestari yaa..(asal nebak)..oke good job