Thursday, April 8, 2010

UNTUK SEPENGGAL MALAM

Untuk sepenggal malam ditemani serbuk tembakau yang terbakar menjadi asap yang menghancurkan paru-paru, ketika hati mewujud aksara dan dunia menjelma kata-kata.

Kaubilang cinta tak butuh alasan. “Cinta ya… cinta aja. Pokoknya gitu lah.” Wajahmu kebingungan mencari ekspresi, sedikit malu-malu, dan salah tingkah. Kepalamu menggeleng, barangkali untuk menafikan rasa yang taksanggup kaujamah dengan logika. Senyummu melengkung, mungkin untuk menertawai ‘kebodohan’-mu sendiri.

Aku melarut dalam rasa ingin tahu. Gesturmu misterius entah ingin menjelaskan apa. Ketika cinta takbutuh dijelaskan, lalu apa? Titik. Selesai. Takada lagi penjelasan. Kaupaham ya syukur, nggak ngerti pun ya terserah. Begitu mungkin arti senyummu.

Kaubilang kisahnya sudah selesai. “Sudah ah! Kenapa sih tanya-tanya?” Bibirmu manyun membahasakan ketaknyamanan. Kaumerasa terintimidasi. Seperti ada desakan dalam setiap pertanyaanku yang membuatmu mengerutkan kening.

‘Kebodohan’-mu menulariku. Aku pun tak punya penjelasan untuk apa aku bertanya. Seperti cinta yang kaubilang tak butuh alasan, pertanyaan pun barangkali juga tak butuh alasan. Bukan bahwa kemudian cinta menjadi sama dengan pertanyaan, namun seberapa kontekstualkah alasanku bertanya? Mungkin cukup jika kubilang ‘ingin tahu aja’.

Untuk sepenggal malam yang ditelusupi angin dingin yang menusuk tulang, ketika memori diputar kembali dan masa lalu berjumpa kekinian.

Kaubilang cinta tak berbanding lurus dengan kebersamaan. Mengisahkan masa lalu tentangnya sama saja dengan mengorek luka lama yang telah susah payah kautransformasi menjadi keikhlasan. Luka yang kausembunyikan di sebalik senyummu, yang juga masih menyemburatkan sisa-sisa rindumu padanya.

Aku bilang mencinta adalah melepaskan. Ketika rasa sakit sanggup terlisan, keikhlasan akan mengganti selapis demi selapis. Kau sepakat ketika kubilang menikmati sakit hati itu indah, khususnya bagi manusia yang katanya bertipe melankolis.

Kaubilang urusan hati bukan perkara mudah. Memahami sesuatu yang tak pernah gamblang terjelaskan hanya sanggup membuatmu membaca isyarat. Sesuatu yang memenjarakanmu dalam tanya yang takpernah sanggup kaujawab sendiri.

Aku protes. “Segitu doang perjuanganmu?” Bagiku, begitu bodohnya kau rela pasrah dalam sesuatu yang takpernah kautahu pasti apa, sementara jiwamu berteriak-teriak meminta jawaban.

“Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kuperjuangkan.” Kau bereaksi dengan mata mengawan. Tak ada kesedihan di sana, pun takada kemenyerahan. Sesuatu yang kemudian kupahami sungguh takmudah bagimu.

Untuk sepenggal malam yang diintipi ketakutan, ketika gelap semakin pekat dan dini hari mendekati ujung durasi. 

Ada yang bilang laki-laki hanya satu kali jatuh cinta. Yang sebelum dan sesudahnya hanyalah bayang-bayang. Aku taktahu sudahkah kaujatuh cinta untuk yang sekali itu, ataukah kelak kauakan jatuh cinta lagi hingga teori itu terpatahkan. Ada ketakutan dalam pandangan matamu.

Suara adzan dari masjid mulai menggema. Seperti subuh yang segera akan terganti pagi, barangkali durasimu dengannya memang telah selesai.

Untuk sebuah jiwa yang terperangkap dalam kerangkeng indah bernama cinta.


Salatiga, 3 April 2010.









1 comment:

Anonymous said...

nice.....