Saturday, January 23, 2010

BF

Jangan berpikir aneh-aneh dulu! Yang jelas bukan singkatan dari Blue Film, bukan pula Boy Friend. Aku lupa persisnya apa tapi seingatku, awalnya diinspirasi dari ‘Boncis Family’. Boncis, kata dalam bahasa Toraja yang berarti buncis. Aku selalu tersenyum acap kali mendengar kata ini disebutkan orang, sekalipun memang untuk maksud yang sebenarnya; sejenis kacang-kacangan berbentuk batangan berwarna hijau yang katanya lebih enak kalau dipotong serong jika hendak dibuat sayur. Phaseolus vulgaris, begitu nama kerennya.

Jangan pula terlalu penasaran dengan ‘boncis’! Nanti akan kuberitahu artinya. Dan, kusarankan untuk tidak terburu-buru menanyakan artinya kepada generasi muda Toraja zaman sekarang. Kujamin, mereka akan tersenyum bahkan mungkin tertawa. Bersabarlah sedikit!

10 tahun lampau, kata ini begitu populer di kalangan para mahasiswa Toraja di Salatiga. Pula bagi kawan-kawan kami dari daerah lain saking seringnya aku dan kawan Toraja-ku saling memanggil ‘boncis’ ketika bertemu di kampus. Seorang kawan Sumba pernah bertanya, “Kok semua orang Toraja dipanggil boncis? Nama panggilan kah?” Ah, kawan! Agar kau tak berpikir macam-macam anggap saja begitu. Kutambahkan pula, itu panggilan akrab. Sejak itu, resmilah semua mahasiswa Toraja di kampusku, termasuk aku, dipanggil boncis. Aku pun memanggil kawan-kawan akrab non-Torajaku dengan panggilan serupa.

Dalam rentang waktu yang sama, beragam kata dan dialek aneh pun mulai mengakrabi telingaku. Saat membeli rokok edisi paket hemat alias ketengan di warung, ibu penjualnya bertanya, “pinten, Mas?” yang kujawab dengan, “Sampoerna Mild, Bu.” Kurasa mukaku memerah sesudahnya karena ternyata si ibu menanyakan berapa batang yang mau kubeli. Kali lain ketika hendak meminjam hekter pada kawan tetangga kamarku dari Kupang, ia bilang “Son’ ada”. Tidak ada. Sesudahnya kata itu menjadi favoritku hingga sekarang, sonde. Sejak itu pula, aku kemudian tahu bahwa di tempat lain hekter disebut staples. Ada pula yang hampir di setiap kalimatnya selalu menyebut ‘ngana’ atau ‘ngoni’. Kalau yang menyebutkannya perempuan, biasanya selalu berwajah cantik dan berkulit putih.

Setahun setelah boncis resmi jadi nama panggilan, beberapa orang kemudian menjadi kawan keseharianku. Selain karena tinggal bersama di asrama yang otomatis setiap hari hampir selalu bertemu, beberapa di antaranya merupakan rekan sefakultas yang sering berangkat bareng ke kampus. Mengikuti prinsip survival of the fittest ala Charles Darwin, terkumpullah kami, 13 orang dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Kami menamai kelompok kami ‘BF’. Singkatan dari Big Family yang akhirnya kami sepakati bersama kemudian. Bukan lagi Boncis Family.

BF punya acara rutin tak teragenda. Kadang tanpa dikomando siapa-siapa, tahu-tahu kami sudah berkumpul di bak cuci di belakang asrama untuk sekadar mengobrol atau menemani yang sedang mencuci pakaian. Kadang pula, kami duduk di kursi tembok di bawah pohon besar untuk bernyanyi dan bercerita. Tak selalu lengkap, tapi perlahan-lahan sesuatu mulai tumbuh dalam hati kami masing-masing. Semacam perasaan membutuhkan dan mencari bila tidak bertemu seharian. Bahkan ketika beberapa di antaranya memilih untuk keluar dari asrama dan tinggal di kos-kosan, termasuk aku, kami masih sering berkumpul. Kini, tak hanya di asrama atau di kampus tapi lebih sering di rumah kontrakan salah satu anggota BF. Selain menyewa CD Film untuk ditonton ramai-ramai, kami kerap memasak bareng untuk makan siang. Tentu saja menu seadanya ala mahasiswa perantau yang tak banyak uang. Tahu-Tempe sambal dan sup. Kadang ada ayam goreng dan es buah jika awal bulan. Di dalam kamar kawan kami yang tak terlalu luas itu, kami kemudian akan berdempet-dempetan memenuhi ranjang dan lantai untuk menonton film sewaan yang diputar di komputer. Kawan kami yang satu ini merupakan salah satu dari dua yang memiliki komputer di antara kami ber-tigabelas. Salah satu di antara kami - si sonde – sangat sering mendapat protes dan lemparan bantal bahkan tepukan di bahunya karena mulutnya tak berhenti mengomentari film yang sedang kami tonton.

Begitulah. Masa-masa itu sungguh indah dan membahagiakan. Jika aku tak salah, tak satu pun di antara kami yang sedang berpacaran saat itu sehingga pertemanan kami menjadi begitu eksklusif. Kalau pun ada sepertinya tak terlalu serius karena kurasa kami lebih menikmati kebersamaan kami. Tiga belas orang dari seberang pulau yang berbeda-beda yang tak sengaja bertemu di tempat dan tujuan yang sama. Menuntut ilmu demi masa depan yang lebih baik dan hidup yang lebih bermakna. 8 perempuan dan 5 lelaki dengan uang kiriman yang tak seberapa banyak meski tak juga bisa dibilang sangat kurang. Yang jelas tidak mungkin untuk hidup foya-foya dan membeli barang sesuka hati. Jika kehabisan uang – biasanya di akhir bulan – tak jarang kami saling meminjami agar tak sampai kelaparan demi mengurangi jatah makan yang dua kali sehari. Entah aku yang amnesia atau sok tahu, tapi seingatku dulu kami memang tak pernah sarapan. Bangun pagi jam 6, mengantri mandi kemudian berangkat ke kampus untuk kuliah pagi jam 7. Selain untuk menghemat uang bulanan, masih sangat jarang warung yang buka pada jam segitu. Sarapan pun baru bisa sekitar jam 10 atau 11, sekalian makan siang.

Lazimnya setiap pertemanan, konflik pun kadang menghiasi persahabatan kami. Ada yang tersinggung dengan guyonan yang keterlaluan, ada pula yang tanpa alasan jelas. Namun, tentu saja detailnya tak mungkin kuceritakan di sini. Selain karena tidak perlu, jujur saja, aku sudah lupa. Yang menyisa dalam benakku hingga kini hanyalah persahabatan dalam kebersamaan. Ketika berada jauh dari rumah dan keluarga, siapakah lagi keluarga selain sahabat-sahabat? Ketika dukamu adalah duka mereka, tangismu adalah tangis mereka dan bahagiamu juga adalah bahagia mereka, tak cukupkah itu menjadikan mereka saudaramu?

Malam 25 Desember tahun ‘99 (atau ‘00?), layaknya sebuah organisasi resmi, kami mengadakan kebaktian Natal BF. 'Dresscode'-nya, ‘bebas tapi harus ada penjelasan.’ Dengan sebatang lilin besar karena tak cukup banyak uang untuk membeli lebih, kami merayakan kelahiran Yesus Kristus di rumah kontrakan salah satu kawan yang punya komputer tadi. Natal yang syahdu tak rusak hanya karena si pengkhotbah terlalu boros menggunakan kata ‘bukan’ dalam intonasi yang ragu-ragu di setiap akhir pertanyaan retoriknya. Khususnya buatku karena akulah si pengkhotbah dadakan malam itu. Salah seorang perempuan datang dengan gaun berwarna merah jambu yang sangat indah. Ketika gilirannya menjelaskan alasannya mengenakan gaun itu, ia bilang begini. “Kalian adalah hal terindah dalam hidupku dan mungkin saja malam ini adalah malam terakhirku bersama kalian, jadi kupilih baju terbaik yang pernah kupunya.” Ada yang kemudian menghangat di kedua sudut mataku. Dari puluhan Natal yang pernah kualami, malam itu salah satu yang terindah. Mudah-mudahan begitu pula dengan mereka. Puji Tuhan, malam itu bukan pula malam terakhir perempuan bergaun merah jambu itu bersama kami.

Di malam yang lain bertahun-tahun kemudian, mungkin malam terakhir kami bersama-sama, kami berkumpul lagi. Entah siapa yang mengusulkan, kami kemudian saling membuka hati. Masing-masing berkomentar tentang kesan dan pesan bagi yang lain. Banyak pengakuan terungkap saat itu: kesal yang terpendam, amarah yang tak terkespresi, dan kekaguman yang disembunyikan. Ada yang bahkan bertestimoni seraya menahan isak tangis. Ah, betapa aku merindukan kebersamaan itu lagi, sahabat-sahabatku.

Ijinkan aku mengenalkan mereka satu demi satu.

1. ‘Papi’ Apong. Orang Menado yang sebetulnya tak cukup layak diangkat jadi ‘papi’ namun karena tampangnya boros akhirnya kami ikhlas memanggilnya ‘papi’. Selain itu, di antara 4 lelaki lain dalam BF, tidak ada yang lebih pantas menyandang gelar itu. Ingatkah ketika malam sebelum ujian skripsi kita malah asyik bermain game di kamar kosmu? Kemudian paginya kita pergi berdoa di kuburan di bukit Bugel, hanya karena tak ada tempat lain yang lebih sepi dari pandangan orang-orang untuk berdoa?

2. 'Mami' Hetty. Perempuan Sumba yang disepakati secara aklamasi untuk menjadi ‘mami’. Dewasa, tutur katanya lembut dan bijkasana. Kau masih utang sebuah cerita padaku!

3. Nila. Orang Jawa tapi besar di Kendari. Kandidat kedua yang sebenarnya juga layak jadi ‘mami’ namun karena keseringan tertawa sehingga tidak jadi dicalonkan. Bicaranya bak puteri Solo dengan cara tertawa yang khas; melengking tinggi dalam tempo yang agak lambat. Pernah membuat kami terbahak dengan kalimatnya yang memuat kata ‘global’ di tengah topik perbincangan yang sangat tidak serius.

4. Vone. Dara Menado dengan kulit seputih kertas. Agak tomboy dan sangat ringan tangan. Perempuan bergaun merah jambu di Malam Natal.

5. Rani. ‘Cabe rawit’ imut dari Toli-toli. Jangan coba-coba mendebatnya kalau tak punya konsep yang jelas. Sangat tegas dan teguh pendirian tapi lucu kalau lagi manja.

6. Ata. Si hitam manis asal Ternate. Tipikal ibu rumah tangga idaman banyak pria; sangat feminin, sabar dan sepertinya tidak pernah marah. Beberapa tahun lalu, ia meninggal ketika berjuang melahirkan anaknya yang pertama. Saudaraku, you’re always in our heart.

7. Iman. ‘Provokator’ dari Toli-toli. Sangat lihai memancing obrolan untuk ‘mencela’ kami, khususnya si sonde. Ingatkah tingkah ‘gila’mu ketika berbicara kepada lampu merah di perempatan depan penjara? Yang membuatku ikutan ‘gila’?

8. Yunda. Si cantik dari Poso, pemilik rambut terindah yang pernah kulihat langsung. Pipinya bersemu merah muda ketika malu-malu. Tak pernah marah dan sangat baik hati.

9. Elly. Si pintar yang penuh kejutan dari Kendari. Aku selalu ingat dengan resep tempe gorengmu. Ketumbar ditumbuk halus di cobek lalu diberi sedikit air untuk merendam tempe sebelum digoreng.

10. Fitri. Perempuan lincah dari Sumba. Penuh canda dan tawa. Juga kepercayaan diri yang ‘berlebihan’. Ingatkah ketika kita – kau diapit aku dan Iman – berjalan melewati koridor gedung C yang di bawah tangga lalu kau ikutan merunduk agar kepalamu tak terbentur, padahal tangganya masih puluhan sentimeter di atas kepalamu? Kau masih utang menginapkanku di rumahmu kelak jika aku ke Sumba, yah!

11. Frans. Si Batak yang Jawanya medok karena lahir-besar di Surabaya. Selalu setuju dengan ide apapun dan siapapun.

12. Theo. Si Sonde dari Kupang. Yang satu ini sengaja kutulis terakhir karena di antara anggota keluarga BF yang lain, dia lah yang paling lama dan paling sering berinteraksi denganku. Tinggal di unit asrama yang sama, dengan kamar yang berhadapan. Sama-sama memilih jurusan yang sama di tahun pertama, kemudian sama-sama pula pindah ke jurusan yang sama tahun berikutnya. Memilih mayor yang sama, topik penelitian yang sama, kemudia lulus bersamaan. Berdua, kami ikut dalam Paduan Suara kampus meski kuakui suaranya jauh lebih bagus. Kami pun pernah membentuk grup vokal bersama 3 teman yang lain dengan prestasi tertinggi menjadi wedding singer di pernikahan salah satu kenalan. Jika ada persahabatan yang kuawali dengan melulu ketidakcocokan, maka ‘si kribo’ inilah orangnya. Awal perkenalan kami dipenuhi selisih pendapat bahkan kadang sengit. Karena kebersamaan yang terus menerus, selapis demi selapis ‘beda’ itu meluruh. Menyisakan pribadi yang kemudian justru sangat hangat dan menyenangkan. Ingatkah ketika kita mengerjakan laporan praktikum di bawah remang lampu cafe ketika sedang kecanduan berkaraoke dengan tarif yang sangat terjangkau? Ingatkah ketika hari pengumuman hasil ujian skripsi, kita saling memeluk tanpa peduli pada hujan yang sedang mengguyur deras sambil membisikkan ucapan selamat? Aku yakin kau ingat karena kita berdua menitikkan air mata bahagia saat itu.

*‘boncis’ dalam pengertian anak muda Toraja sekarang artinya perempuan nakal, bispak alias bisa pake.

**Untuk anggota BF, kapan kita reuni?


Belantara Borneo, 23 Januari 2010.

1 comment:

DVH - BCC said...

So sweet..😂
Miss you guys...