Sunday, February 7, 2010

| SOLILOKUI |

– Bukan Kebetulan –


Barangkali, ini adalah catatan ternarsis yang pernah kutulis.
“Apanya yang narsis?” | | “Apanya yang tidak narsis?”

Barangkali, ini adalah catatan terumit yang pernah kutulis.
“Apanya yang rumit?” | | “Apanya yang tidak rumit?”

Barangkali, ini adalah catatan yang paling menguras energiku.
“Kenapa bisa begitu?” | | “Kenapa tidak bisa begitu?”

Barangkali, ini adalah catatan paling membosankan yang pernah kutulis.
“Kok bisa?” | | “Kok tidak bisa?”

Barangkali, ini adalah catatan terakhir dengan tema seperti ini yang akan kutulis.
“hahaha | | ahahah”

Tak usah tertawa! Aku sedang bercakap-cakap dengan diriku sendiri.

Ada sesuatu yang ‘tak biasa’ belakangan ini; rasanya dalam sebulan terakhir. Karena bertahun-tahun tak pernah lagi mengenakan jam tangan, maka media paling praktis untuk mengecek jam adalah handphone. Tanpa kusengaja, sangat sering angka digital di layar handphone-ku menunjukkan kombinasi yang ‘tak biasa’. Setidaknya buatku yang memang suka iseng memerhatikan hal-hal ‘sederhana’ seperti itu. Beberapa kali, konfigurasi angka seperti 05:50, 07:07, atau 11:11 muncul di layar handphone-ku saat melakukan aktivitas pertama di pagi hari – mengecek handphone. Berjam-jam sesudahnya, konfigurasi serupa muncul lagi ketika aku mengecek SMS masuk atau panggilan tak terjawab. Memang tidak setiap saat dan setiap hari, namun kejadiannya terlalu sering untuk disebut kebetulan. Dan, rasanya aku tak terlalu percaya dengan sesuatu yang bernama kebetulan.

Kejadian tak sederhana dan tak kebetulan ini kemudian melontarkanku ke masa beberapa bulan terakhir. Tepatnya, 9 bulan kurang sedikit. Durasi bumi dan sistem perhitungan tahun Masehi barangkali akan menyebutnya singkat, tapi atas nama kualitas dan kuantitas, sama sekali tidak singkat apalagi sederhana.

| |

Sebuah buku bersampul hijau tergolek sembarangan di meja pajang sebuah toko buku di pinggiran Jogja. Tak ada yang istimewa pada judul, apalagi nama penulisnya. Setidaknya karena belum sekalipun aku mendengar namanya. Penulis baru yang ingin mendongkrak penjualan bukunya dengan menyertakan sederet prestasi pada biografi singkatnya. Aku meletakkan kembali buku ‘narsis’ itu lalu berkutat dengan tumpukan buku lain, ngotot mencari lanjutan serial Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi meskipun pelayan toko buku sudah mengatakan stoknya habis dan sementara dipesan. Database-nya pun menunjukkan angka ‘0’ untuk buku Gajah Mada; Perang Bubat. Setelah lelah mencari dan akhirnya percaya bahwa database dan pelayan toko itu berkata jujur, aku kembali ke meja tadi dan meraih buku bersamnpul hijau itu. ‘Catatan kecil’ Dewi Lestari yang di kemudian hari kuketahui disebut endorsement di sampul depannya menggelitik rasa penasaranku hingga akhirnya memutuskan untuk membelinya. Ambil aja lah, toh tidak setiap hari aku punya kesempatan mengunjungi toko buku. Lumayan buat cadangan kalau sudah tidak ada bahan bacaan.

Beberapa hari kemudian, pada sebuah sore yang mendung di Salatiga, aku benar-benar kehabisan buku bacaan. Dengan setengah hati, aku mengambil buku bersampul hijau tadi, merobek sampul plastiknya kemudian membuka halaman pertamanya.

“Begini cara kerja sesuatu yang engkau sebut cinta; Engkau bertemu seseorang lalu perlahan-lahan merasa nyaman di sekitarnya. Jika dia dekat, engkau akan merasa utuh dan terbelah ketika dia menjauh. Keindahan adalah ketika engkau merasa ia memerhatikanmu tanpa engkau tahu. Sewaktu kemenyerahan itu meringkusmu, mendengar namanya disebut pun menggigilkan akalmu. Engkau mulai tersenyum dan menangis tanpa mau disebut gila.”

Aku terpana. Paragraf pertamanya sekaan punya daya hipnotis yang sanggup memerangkap mataku untuk tidak melewatkan satu kata pun sesudahnya. Dan tanpa terasa, sudah lewat tengah malam ketika aku sampai pada halaman terakhir buku itu. Selesai dalam sekali baca. Aku bahkan masih merinding dalam sensasi yang luar biasa ketika meletakkan buku itu. Sensasi yang kurang lebih sama ketika menuntaskan beberapa novel lain sebelumnya. Sebutlah Saman-nya Ayu Utami, Supernova: Akar-nya Dewi Lestari, atau Mahasati-nya Qaris Tajudin.

Namun, ada yang berbeda ketika aku membaca lagi data singkat penulisnya di sampul belakang buku itu. Gunung Kidul. Tempat yang pernah kudengar bertahun-tahun sebelumnya sebagai daerah gersang yang hanya bisa ditumbuhi singkong. Déjà vu. Mungkin begitu kurang lebih. Aku belum pernah ke Gunung Kidul sebelumnya, merencanakan pun tidak, namun tiba-tiba saja tempat itu terasa begitu akrab di benakku. Barangkali, deskripsi Gunung Kidul yang begitu detail dalam buku itu yang membuatmu merasa seperti itu. Nggak usah lebay!

Beberapa menit sesudahnya, aku mencari penulis buku itu di jejaring facebook dan ternyata dia memang ada di sana. Sebaris pesan tentang rasa kagumku pada buku itu kusertakan. Bukan basa-basi agar dia mau mengonfirmasi undangan pertemananku, tapi memang apresiasi yang berdasarkan pada sebentuk sensasi yang baru saja kurasakan saat itu. Esok harinya, tanpa harapan apa-apa, aku terkejut mendapati undangan pertemanan itu sudah dikonfirmasi, bahkan dengan beberapa kalimat tambahan yang jujur saja kuanggap basa-basi seorang penulis bagi penyuka bukunya. Tapi tidak lagi sesudahnya ketika ia menanyakan letak Rantepao, kota kecil tempat lahirku yang kuduga kuat baru pertama kali didengarnya saat itu.

“Suatu saat, mencintai adalah memutar hari tanpa orang yang kau cintai. Karena dengan atau tanpa orang itu, hidup harus terus berjalan.” Tepat sehari sebelum aku membaca buku itu, aku menulis sebuah catatan pendek yang esensinya persis sama. Mencintai untuk melepas. Konfirmasi yang kemudian justru datang dari sang penulis buku bersampul hijau berjudul Galaksi Kinanthi itu setelah membacanya di blogku beberapa hari kemudian.

| |

Gunung Kidul, ‘ribuan’ tahun sebelumnya.

Musim kemarau mengembuskan angin kering; tanah merekah kekurangan air. Tumbuhan meranggas kekurangan klorofil, menyajikan pepohonan yang tampak seperti manusia kekurangan darah; pucat dan tak sejuk. Seorang anak lelaki belasan tahun meringkuk di dalam bak penampungan air yang kosong. Puluhan buku berserakan di sekitarnya. Sambil menyender ke dinding bak, anak kecil itu – dari segi usia dan ukuran badan – melahap satu demi satu buku yang kemudian akan menjadi penghuni lemari perpustakaan di sekolahnya. Mendadak, bak berbentuk silinder itu berubah menjadi sebuah dunia yang baru. Dunia fantasi yang tercipta dari imajinasi seorang anak bungsu dari guru SD di pelosok Gunung Kidul. Dunia penuh warna dan nuansa seperti yang dibayangkannya ketika membuka halaman demi halaman buku di tangan rampingnya. Wajahnya mengaurakan harapan akan hidup di masa depan yang lebih hijau, lebih damai, dan lebih bermakna.

Sambil memandangi langit biru yang didominasi cirrus, ia bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Tanpa suara, tanpa kata-kata.

Rantepao, ‘ribuan’ tahun yang sama sebelumnya.

Angin semilir bertiup menggoyangkan dedaunan. Bunyi lembutnya meningkahi teriakan anak-anak kecil yang bermain di kejauhan. Tak lama kemudian, suara-suara gembira itu berhenti ketika panggilan tidur siang diteriakkan oleh ibu masing-masing. Hening menyambut. Seorang anak belasan tahun dengan tumpukan majalah dan buku cerita di tangannya memanjat sebuah pohon cengkih di pekarangan rumahnya. Tak ada ruang baca di rumahnya, pun kamar sendiri untuk membaca buku dan majalah itu. Jadilah pohon cengkih yang rimbun menjadi pilihannya setiap siang. Anak bungsu dari seorang guru SD itu kemudian akan menghabiskan berjam-jam sesudahnya di dahan cengkih yang kokoh dalam dunianya sendiri. Dunia imajinasi yang penuh harapan dan cita-cita. Dunia imajinasi yang jauh melintasi bukit, gunung, dan lautan serupa kisah yang dibacanya di majalah dan buku-buku itu. Wajahnya tersenyum penuh harapan ketika kemudian menuliskan impian-impian itu pada dahan-dahan cengkih dengan kukunya.

Sambil memandangi deretan bukit yang tampak dari sela dedauan cengkih, ia bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Tanpa aksara, tanpa kata-kata.

| |

Stagnan. Aku tak tahu apa lagi yang akan kutulis. Ketik. Hapus. Ketik. Edit. Hapus lagi. Blank pages. Kata orang bijak, sesuatu yang kelebihan – pada titik tertentu – akan membuat kita lupa pada hal-hal kecil dan sederhana yang sejatinya merupakan sesuatu yang sangat berharga. Rasanya, itu yang sedang kualami. Kata-kata melenyap, pergi entah ke mana. Tak persis begitu sesungguhnya. Aku justru kebingungan merangkainya, mana yang layak, mana yang harus duluan, atau mana yang perlu. Ketiadaan dalam kemelimpahan.

Aku selalu ingat tak ada yang pernah cukup dalam setiap perbincangan kita. Ketika menemukanmu kembali (atau malah sebaliknya?) aku tak pernah berhenti terkejut mendapati dirimu yang rasanya telah menahun kuakrabi. Sesosok manusia dari dunia cyber yang isi kepalanya mampu kutebak bahkan ketika aku belum pernah bertemu dengannya. Dan, aku pun tak kalah terkejutnya mendapati dirimu yang sanggup membaca hatiku. Otakku bekerja keras menelusuri kepingan-kepingan memori yang masih sangup kuputar kembali, namun tak sepotong pun yang memuat memori tentangmu. Kita memang tak saling mengenal sebelumnya. Gunung Kidul dan Rantepao terpisah ribuan kilometer oleh daratan dan lautan. Kau lahir dari rahim perempuan Jawa oleh benih laki-laki Jawa, sementara aku berasal dari rahim dan benih orang Toraja. Ide tentang anak kembar yang terpisah waktu lahir otomatis menjadi sangat tidak masuk akal. Dikuatkan lagi ketika ummi dan ibu mengaku tak pernah memiliki anak kembar. Memimpikan pun tidak. Ah, sudahlah! Kembar toh tak melulu soal kemiripan faktor genetis ataupun sumber ovum yang sama, bukan?

“Lihatlah! Narsis, rumit, dan membosankan, bukan?” | | “Bukan membosankan, rumit, dan narsis. Lihatlah!”

Tak usah membantah! Aku (lagi-lagi) sedang bercakap-cakap dengan diriku sendiri.

Kali ini dengarkan aku. Bukan saatnya mendebatkan hal-hal yang tak akan pernah ada habisnya. Aku menumpuk berbagai teori tentang cinta, Tuhan, dan persahabatan yang kemudian berjumpa dengan realitasnya ketika aku mengenalmu. Kau – dengan kesejatianmu – adalah konfirmasi. Tahukah kau apa yang kemudian menjadi ‘penderitaanku’? Aku tak mungkin bisa berbohong kepadamu. Telah berkali-kali kucoba, sengaja maupun tidak, namun berkali-kali pula kau buktikan bahwa aku kadang bahkan tak mengenali diriku sendiri. Namun, jangan kemudian berpikir bahwa kau bisa melakukan yang sebaliknya: berbohong kepadaku. Pada beberapa kejadian, aku bahkan lebih (sok) tahu tentang dirimu daripada kau sendiri, bukan?

Aku membaca satu demi satu catatan yang kau tulis di situs pribadimu. Tak ada beda dengan hidupmu yang kubaca langsung dengan mata dan hadirku. Ada perjuangan dan kemenangan di sana. Nadir dan zenit seolah adalah hal yang sangat biasa bagimu. Menjadikanmu pribadi yang tangguh, penuh percaya diri, dan kadang sangat menyebalkan. Maaf, kau memang seperti yang terakhir itu sesekali.

Aku sesungguhnya tak tahu untuk apa catatan ini kutulis. Aku hanya percaya bahwa waktu kadang sanggup mengaratkan esensi perlahan-lahan dan selapis demi selapis. Banyak hal berharga yang berlalu begitu saja tanpa kita sadari. Dan aku tak ingin mutiara-mutiara hidup yang kutemukan dengan mengenalmu kelak akan menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Aku ingin ia tetap menjadi mutiara meskipun wujudnya barangkali sudah akan berubah. Kita memang tak pernah sepakat soal durasi dan keabadian, tapi hidup bukanlah perkara mudah untuk ditebak, bukan?

Aku belum selesai. Tolong jangan menginterupsi!

Tepat jam 21:12. Bukan kebetulan jika kombinasi angka itu muncul (lagi) di layar handphone-ku. Bukan kebetulan jika kita sama-sama lahir sebagai anak bungsu, menangis untuk pertama kalinya di tahun yang sama, pada tanggal dan bulan berbeda yang memiliki hubungan matematis. Bukan kebetulan jika ummi(mu) dulu adalah seorang guru SD dan ayah(ku) juga adalah mantan guru SD. Bukan kebetulan jika kita sama-sama dibesarkan dalam keluarga yang kondisi ekonominya biasa-biasa saja, kemudian bertumbuh jauh dari kemegahan dan kemewahan kota besar. Bukan kebetulan jika aku adalah penyuka novel dan kau adalah penulis novel. Bukan kebetulan jika kau keras kepala dan aku kepala batu. Bukan kebetulan jika kau Islam dan aku Kristen. Bukan kebetulan jika ‘kau’ dan ‘aku’ tersusun dari tiga huruf yang sama. Dan, bukan kebetulan jika…

… sudah jam 22:22.


Delta Mahakam, 6 Februari 2010

No comments: