Tuesday, February 16, 2010

RUMAH MIMPI

“Pupuk, Pak.”

Aku menyodorkan selembar uang seratus ribu melalui sebuah lubang kaca kepada petugas taksi bandara. Bapak itu merobek selembar tiket dan menyerahkannya kepadaku beserta uang kembaliannya. Tak lama kemudian, aku duduk dengan nyaman di jok belakang taksi bercat biru tua dalam perjalanan ke sebuah kompleks perumahan yang disebut ‘pupuk’ oleh orang setempat.

Deretan rumah besar berbaris dengan rapi di sepanjang kiri kanan jalan. Pagar-pagar besi yang tinggi sedikit menghalangi pandanganku ke halaman-halaman asri yang ditumbuhi rumput dan tanaman hias yang terpelihara dengan baik. Tanpa perlu tahu dan mengenal pemiliknya, aku yakin mereka adalah golongan orang sukses, jika ukurannya adalah koleksi kekayaan bendawi.

Aku menjatuhkan pandangan pada sebuah rumah di sebelah kiri. Salah satu yang memiliki pos satpam di pintu masuknya. Hatiku tersenyum. Sesuatu tentang rumah ini pernah begitu akrab denganku beberapa tahun silam. Aku masih ingat persis. Lantainya putih dari keramik yang harganya pasti sangat mahal. Ruang tengahnya luas menghadap ke lembah dengan pemandangan kota yang terlihat indah di sore menjelang malam dengan lampu-lampu aneka warna.

~~~~~

“Ojek, Mas.”

Aku menolak dengan goyangan telapak tangan kanan. Sore yang gerah di salah satu terminal di kota yang panas. Dari atas dan dari bawah. Matahari menggantungi langit sore di kota tepi pantai itu sementara hidrokarbon yang kandungannya seolah tak terhingga membara di bawah permukaan tanahnya.

Aku beringsut di antara sekumpulan taksi bercat hijau tua yang sahut-menyahut membunyikan klakson mencari penumpang. “Sepinggan… Manggar… Batakan…” Aku meragu sejenak. Panas, gerah, dan keringatan. Teriakan kondektur itu hampir berhasil menggoda imanku. Aku menimbang-nimbang lagi. Tak sampai 10 menit, 2,500 rupiah akan melayang untuk sebuah perjalanan nyaman dalam taksi hijau tua itu untuk sebuah jarak yang tak seberapa jauh dan nantinya tetap harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. Aku kembali menggoyangkan telapak tangan kanan. Kakiku melangkah menjauh. Oh, iya. Sekadar informasi, di kota yang kaya minyak dan gas bumi ini, mereka menyebut ‘taksi’ untuk angkot.

Alam kemudian bersimpati. Dikirimkannya angin semilir yang menemani setiap ayunan kakiku yang lebar. Tetap panas namun tak lagi terlalu gerah. Sebuah jalan menanjak kemudian menyambutku. Bagian yang paling kusuka dari perjalan rutin dua kali seminggu ini karena sebentar lagi aku akan masuk ke sebuah kompleks perumahan dengan deretan rumah mewah yang sungguh elok dipandang mata. Lumayan kan bisa lihat-lihat meski tak bisa memiliki?

Dengan berjalan beberapa ratus meter lagi, aku akan sampai di sebuah rumah yang pintu masuknya dijaga satpam. Setelah mengonfirmasi kedatanganku kepada tuan rumah lewat intercom, satpam itu kemudian membukakan pagar dan menyilakan aku masuk. Satu setengah jam berikutnya, aku akan berada di ruang tengah rumah itu bersama dua remaja belasan tahun. Bertiga, kami duduk di sebuah meja yang menghadap ke lembah yang dibatasi oleh jendela kaca besar. Kertas, buku-buku, dan pulpen memenuhi meja di hadapan kami. Tak lama kemudian, seorang perempuan muda datang dengan nampan berisi minuman dingin dan makanan kecil. Sesudahnya, kami akan sibuk dengan angka-angka, simbol, dan rumus-rumus.

Seperti yang mungkin sudah bisa kau tebak, aku adalah seorang guru les privat. Mengunjungi rumah-rumah mewah setiap sore menjelang malam setiap hari, kecuali Minggu. Berbagi ilmu dengan remaja belasan tahun yang sedang belajar merajut mimpi. Anak-anak SMA yang sungguh beruntung lahir dan tumbuh dalam keluarga yang serba berkecukupan materi dan (mungkin) kasih sayang.

Dari kegiatan mengajar itu pula, aku kemudian mengenali satu demi satu sudut kota minyak ini. Bermodalkan taksi yang tarif jauh dekatnya dipukul rata 2,500 rupiah dan sesekali berjalan kaki, aku berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain setiap sore. Menyaksikan paradoks yang kerap mengernyitkan keningku dan membuatku harus sering-sering mengurut dada memanggil ketabahan. Aku menumpang tinggal di sebuah rumah kontrakan kayu sederhana yang tersembunyi di belakang gedung-gedung besar. Jalan masuknya berupa gang sempit berkelok-kelok dengan got berbau tak sedap yang penuh dengan kotoran yang sudah hitam dibusukkan mikroorganisme. Sementara, tiap hari aku menyatroni rumah-rumah mewah berpagar besi berlantai keramik yang mengilat beraroma mawar, cemara, atau jeruk dengan jalan masuk yang lebar-lebar. Paradoks yang indah. Karena dengan begitu aku masih bisa bermimpi.

Aku kadang bertanya-tanya. Tak cukupkah pelajaran di sekolah formal yang anak-anak muridku ini dapatkan sehingga mereka harus mengambil les lagi di luar jam pelajaran sekolah? Lalu bagaimana dengan anak-anak yang hidup dalam keluarga yang tak sanggup membayar guru les? Kemungkinan besar mereka akan semakin tertinggal. Yang kaya semakin pandai, yang miskin semakin bodoh. Tapi, sudahlah. Aku bukan siapa-siapa untuk menjawab pertanyaan itu.

Yang jelas, aku sangat menikmati setiap sore menjelang malam itu. Bukan karena kemewahan semu dan temporer yang bisa aku dapatkan dari rumah-rumah mewah itu, namun untuk kesempatan di mana aku bisa bermimpi. Ya. Aku ingat betul. Malam-malam sepulang mengajar, aku akan menarik jendela kaca taksi dan membiarkan angin malam menyapa wajahku. Membayangkan kelak di suatu hari sebentuk hidup yang indah akan menjadi milikku. Kadang, aku sengaja turun beberapa ratus meter dari tempat di mana aku seharusnya turun sekadar untuk memperpanjang durasi bermimpi dalam taksi. Sesudahnya, aku harus membayar ratusan meter itu dengan berjalan kaki menyusuri trotoar untuk kemudian masuk ke gang sempit di sebelah gedung besar.

Selain bermimpi, banyak kebahagiaan lain menjadi seorang guru les privat. Untuk yang ini, bergantung pada siapa muridnya. Begini beberapa kisahnya.

1. Salah satu muridku namanya Icha. Dia anak perempuan satu-satunya dari pemilik jaringan apotek ternama di kota ini. Mungkin karena itu pula dia sedikit agak manja. Ia sering sekali merajuk ketika penjelasanku malah semakin membuatnya bingung. Ia kemudian akan memintaku dengan gayanya yang khas untuk mengulangi penjelasanku. Ketika ia akhirnya paham, ia akan menghadiahiku sebatang Toblerone yang memang selalu ada di meja belajarnya. Kemudian ia akan bercerita tentang banyak hal. Tentang guru dan teman sekolahnya yang menyebalkan, juga tentang cowok yang sedang ditaksirnya. Agenda berubah menjadi sesi curhat. Aku tak punya pilihan lain selain menanggapinya sebisaku. Berkali-kali kucoba mengalihkan topik pembicaraan kembali kepada pelajaran, tapi ia malah menutup buku-bukunya kemudian menatapku dengan ancaman matanya. Aku menyerah. Kami kemudian akan mengobrol tentang cowok incarannya itu. Guru-murid bertransformasi menjadi teman. Ini dia kebahagiannya. Ketika ada murid yang menganggap guru sebagai teman, bukan sosok angker yang murka ketika muridnya tidak tahu. Di kesempatan lain, kami membahas beberapa novel yang sudah pernah kami baca. Aku bahkan sempat meminjam Harry Potter and The Order of The Phoenix miliknya karena saat itu gajiku sayang ‘disia-siakan’ untuk membeli buku semahal itu.

2. Muridku yang lain bernama David dan Gilang. Mereka mengambil paket les privat untuk berdua di lembaga tempat aku mengajar. Ayah David salah satu pejabat penting di departemen entah apa sementara ayah Gilang seorang Lurah. Di pertemuan pertama kami, mereka menceritakan keinginannya untuk masuk jurusan IPA saat kenaikan kelas nanti. “Tolong diajarin yah, Mas.” Begitu kata mereka. Tak ada hadiah Toblerone, namun sesi curhat tetap ada. Kali ini tentang pacar yang terlalu posesif dan melulu curiga. Ah, anak muda. Begitu dinamis hidup yang kalian jalani. Mengetahui kalau aku pergi pulang mengajar dengan naik taksi, ibu Gilang menaruh kasihan padaku kemudian meminta kakak laki-laki Gilang mengantarku pulang sehabis mengajar di rumahnya. Bahkan, aku selalu disuguhi bermacam-macam makanan dan minuman setiap kali mengajar. Beliau bahkan memintaku untuk menganggap anaknya itu sebagai adik sendiri. Satu semester kemudian, ketika saatnya kenaikan kelas, beliau menelepon dan mengucapkan terima kasih karena Gilang dan juga David berhasil masuk IPA. Peringkatnya pun naik ke dua puluh besar yang sebelumnya terpuruk di peringkat akhir pada semester pertama. Aku terharu. Begini rupanya kebahagiaan menjadi seorang guru. Ketika muridmu berhasil, ketika muridmu menggapai impiannya.

3. Dari David dan Gilang ini aku kemudian mendapatkan murid lain bernama Nona dan Christy. Mereka teman sekelas. Orang dari kantor ‘agen guru les privat’ menghubungiku dan mengatakan ada calon murid yang menelepon minta guru les, tapi harus diajar sama ‘Mas R’. Aku bangga. Setidaknya karena aku tidak mengecewakan mereka yang sudah membayarku. Dengan kedua murid ini, kami kebanyakan tertawa. Anaknya lucu dan berselera humor yang sangat baik. Paling tidak karena topik pelajaran pun bisa menjadi bahan tertawaan. Mereka pun sangat pandai. Satu kali penjelasan saja sudah cukup membuat mereka paham. Di hari yang sama ketika ibu Gilang meneleponku, ibu Nona juga meneleponku dengan berita yang sama. Ucapan terima kasih karena sudah mengajar anaknya dengan baik. Nona dan Christy berhasil masuk 5 besar di kelasnya. Aku terharu (lagi). Lagi-lagi aku menemukan kebahagiaan menjadi seorang guru. Kebahagiaan yang nilainya sungguh tak bisa diukur dengan materi apapun namun menjadi sesuatu yang abadi untuk dirasakan.

~~~~~

“Lurus, Pak?”

Sopir taksi membuyarkan lamunanku. Aku mengiyakan dan segera berkemas. Ah, masih banyak yang ingin kukisahkan sebenarnya, namun sudah hampir sampai rupanya. Sebuah rumah bercat kuning terang berdiri kokoh dan anggun menyambutku. Bukan milikku, tapi dari sini aku akan berangkat menuju ke rimba Borneo esok harinya, di mana minyak dan gas bumi bersembunyi di bawah permukaan tanah. Perjalanan rutin dua minggu sekali – bukan lagi 2 kali seminggu – yang kujalani dalam lima tahun terakhir.

Persembahan bagi semua guru. Pahlawan tanpa tanda jasa bukanlah sekadar kata-kata. Namun, ada kebahagiaan di sebaliknya yang tak tersentuh benda duniawi apapun.



16 Februari 2010, 4:04 pm.




No comments: