Friday, February 19, 2010

EMPIRE

Ratusan pasukan berkuda berbaris rapi dalam format setengah lingkaran. Perwira-perwira pilih tanding menunggang dengan gagah di punggung tunggangan masing-masing. Mata menyala, mengobarkan semangat perang yang membara. Paladin. Momok dunia peperangan yang sanggup meluluhlantakkan apa pun. Tak jauh di depannya, Mameluke, pasukan elit khusus kerajaan Saracens siaga dalam konsentrasi penuh. Senjata andalan berupa parang mematikan siap dilemparkan kepada siapapun yang berani mendekat. Di barisan paling belakang, puluhan Trebuchet siap melontarkan bola-bola api untuk meruntuhkan gerbang depan kerajaan musuh.

Tak sabar menunggu lebih lama lagi, sang panglima perang memerintahkan untuk segera menyerbu. Bola-bola api beterbangan di udara. Parang-parang Mameluke berseliweran melibas apapun di yang ada di dekatnya. Paladin datang menyempurnakan keberingasan pasukan kerajaan Saracens. Benteng pertahanan terdepan kerajaan China hancur, rata dengan tanah. Sejumlah kecil pasukan China yang ditempatkan di gerbang depan tak berkutik sedikit pun menghadapi keganasan pasukan Saracens. Kemenangan menyambut di depan mata.

Pasukan Saracens bergerak maju. Mayat dan puing-puing reruntuhan berserakan di mana-mana. Entah ke mana pasukan China bersembunyi hingga hanya menempatkan sejumlah kecil pasukannya di gerbang depan. Nama besar pasukan elit Paladin dan Mameluke mungkin sudah mengerdilkan nyali mereka untuk melawan. Di kejauhan, tampak kastil utama kerajaan China menjulang di balik pepohonan. Jalan masuk yang diapit oleh belantara yang pekat tak mengurungkan niat pasukan Saracens untuk segera menaklukan musuh. Mereka mendekati kastil utama dengan kepercayaan diri yang berkobar-kobar.

Di jalan masuk yang sempit itu, tampak beberapa penduduk sedang menebang pohon. Tanpa ampun, pasukan Mameluke melemparkan parang ke arah mereka. Nyawa-nyawa tak berdosa melayang dalam hitungan detik. Pasukan Saracens bergerak semakin mendekati kastil utama. Namun tiba-tiba saja, ratusan pasukan infantri datang seperti aliran air bah. Pasukan Saracens sontak kelabakan. Di jalan setapak yang sempit itu, Paladin dan Mameluke menjadi kehilangan kedigdayaan. Ruang gerak yang sempit menyulitkan mereka. Ketika para Paladin dan Mameluke sibuk meladeni tombak-tombak para infantri, ratusan anak panah melayang di udara. Barisan pemanah andalan kerajaan China ternyata telah menyambut mereka. Trebuchet-trebuchet Saracens tak berkutik sama sekali. Mereka hanya ampuh merobohkan bangunan namun tak berdaya sama sekali menghadapi para infantri yang makin lama datang semakin banyak.

Jalan sempit itu menjadi saksi bagaimana pasukan elit Saracens takluk menghadapai pasukan China yang hanya bermodalkan pasukan panah dan infantri kelas rendahan. Strategi jitu yang kemudian menjadi faktor penentu kemenangan.

#####

“Anjiiiiiiiing...” Sebuah umpatan tiba-tiba terdengar. Seseorang dengan ekspresi wajah yang kesal luar biasa bangkit dari kursinya sambil menggebrak meja.

Aku menengok ke arahnya sambil tertawa terbahak-bahak. “Ah… Cupu lo. Mana pasukan yang lo bangga-banggakan itu?” Aku mengolok-oloknya agar dia semakin kesal. Entah kenapa aku begitu menikmati tiap kali melihat raut mukanya yang menjadi begitu ‘eksotis’ tiap kali ia kesal.

“Iya neh. Segitu doang kemampuannya?” Sebuah suara lain menimpali. Baru saja kami memainkan sebuah game strategi bernama Empire. Berempat, kami bermain berpasangan dalam permainan yang sudah ‘ketinggalan zaman’ itu. Aku berpasangan dengan si pemilik suara terakhir (sebut saja namanya A), sementara si pemilik wajah eksotis itu (sebut saja namanya R) berpasangan dengan komputer.

“Sekali lagi! Ganti pasangan tapi.” R mengancam. Ia berjalan ke arahku, mengambil sebatang rokok kemudian menyulutnya. Beberapa kalimat masih meluncur dengan lancar dari bibirnya. Isinya masih tentang kekesalannya. Aku dan A kemudian tak berhenti mengolok-oloknya lagi. Beberapa menit kemudian, kami kembali ‘berperang’ hingga cahaya matahari pagi menerobos masuk ke ruangan di sebuah game centre di Salatiga yang dingin.

Empire adalah semacam reuni bagi kami bertiga. Bertahun-tahun lalu, kami sering sekali memainkan game ini ketika aku masih bersama mereka. Tinggal di rumah kos yang sama, makan bersama-sama, kelaparan bersama-sama pula. Malam-malam, kami kerap menikmati segelas susu murni dan indomie goreng di warung pinggir jalan sambil bercerita. Kadang tentang teman-teman, keluarga masing-masing, kadang pula tentang mimpi dan cita-cita.

Ah… Mimpi dan cita-cita. Aku adalah salah satu manusia yang gemar betul membagikan mimpi dan cita-cita kepada orang-orang dekatku. Entahkah baik atau malah sebaliknya. Aku tak peduli. Aku hanya berharap bahwa setiap kali impian dan cita-cita itu aku bagikan, mereka akan berdoa untukku. Kata orang, semakin banyak doa semakin bagus, bukan?

Barangkali seperti kebanyakan orang, aku kerap membangun mimpi dan cita-cita yang menembus langit. Dari dulu. Ada yang mungkin akan menyebutnya ambisi, tapi buatku itu hanya soal sudut pandang. Namanya saja mimpi dan cita-cita. Bebas memilih apa saja, meski tak semua selalu bisa terwujud. Yang jelas, aku merasa tak merugikan siapa-siapa.

Aku mengenal A dan R sebagai pribadi yang sungguh bertolak belakang. A yang pendiam dan R yang ributnya minta ampun. R yang ekspresif dan A yang pandai menyembunyikan warna hati. Tapi aku menikmati kedekatan dengan keduanya. Barangkali karena aku berada di antara kedua tipe itu. Atau mungkin malah keduanya. Karena kadang aku diam seribu bahasa, kadang pula ramai seperti angin ribut. Entahlah. Ini bukan tentang baik-buruk, tapi lebih kepada pembawaan yang tak bisa ditawar-tawar. Yang pasti, A dan R sama-sama menyenangkannya.

Hidup kemudian menawariku pilihan untuk lebih dulu meninggalkan Salatiga. Sementara kepada A dan R, hidup masih memberi mereka kesempatan untuk berbetah-betah di sana. Salatiga, sepertinya, memang sangat posesif. Kota kecil di kaki gunung Merbabu itu seolah tak ingin melepaskan siapapun yang pernah datang dan tinggal di sana. Mungkin terdengar sedikit berlebihan, tapi cobalah bertanya kepada siapapun yang pernah menjadi mahasiswa perantau di sana. Aku jamin, mayoritas akan setuju denganku.

Ketika aku mulai mengakrabi belantara Kalimantan dan rawa-rawa delta Mahakam, A dan R masih mencumbui pohon-pohon rindang di taman kampus. Jarak kemudian menjadi sesuatu yang sanggup menyembunyikan mereka dari jangkauan pandanganku. Selentingan-selentingan mulai beredar mengisi udara, menyeruak diterbangkan angin. Kabar-kabar tak sedap mengalir dihanyutkan air. Tentu saja aku tak percaya.

Kepada A, aku titipkan pesanku kepada angin. Bahwa tak peduli aku pada kata-kata yang dibisikkannya. Bahwa aku lebih tahu daripada dirinya. Bahwa kau tak seperti yang diceritakannya. Belum pernah sepanjang hidupku, kutemukan manusia yang sepertimu. Sahabat yang tak pernah lelah memberi telinganya untuk mendengar. Sahabat yang tak pernah kekurangan untuk berbagi apa saja. Sahabat yang tak sedikitpun memiliki amarah untuk dilampiaskan. Keluarlah! Tunjukkan pada mereka bahwa kau tak seperti yang mereka pikirkan. Buktikan pada mereka bahwa jauh di dalam sana, di balik sanubarimu yang terdalam, ada mutiara yang siap untuk mengilaukan dunia. Aku menyayangimu dan kau pasti tahu, aku percaya padamu.

Kepada R, aku titipkan pesanku kepada air. Bahwa tak peduli aku pada kidung-kidung yang disenandungkannya. Bahwa aku lebih tahu daripada dirinya. Bahwa kau tak seperti yang dinyanyikannya. Belum pernah sepanjang hidupku, kutemukan manusia yang sepertimu. Sahabat yang selalu mengatakan hitam ketika aku hitam, putih ketika aku putih. Sahabat yang tak pernah berhenti memaki-maki namun tak pula pernah berhenti menyanjung-sanjung. Sahabat yang tak sediktpun memiliki dendam untuk disimpan. Berlarilah! Tunjukkan pada mereka bahwa kau tak seperti yang mereka pikirkan. Buktikan pada mereka bahwa jauh di dalam sana, di balik sanubarimu yang terdalam, ada intan berlian yang siap untuk mencengangkan dunia. Aku menyayangimu dan kau pasti tahu, aku percaya padamu.

Kepada A dan R, kutitipkan pesanku pada angin dan air. Bermimpilah untuk menggapai langit karena meskipun kau gagal, kau akan tetap berada di antara bintang-bintang*.

*dikutip dari sebuah buku motivasi yang judul dan nama pengarangnya tak saya ingat lagi.

19 Februari 2010; 07:00 pm.

No comments: