Sunday, February 28, 2010

HANDPHONE

Seorang laki-laki tiba-tiba muncul di depanku. Kaos, jeans, dan sepatu sporty masa kini. Badannya tegap, kira-kira sedikit lebih tinggi dariku. Ia membawa ransel hitam di punggungnya dan sebuah travelling bag besar yang kemudian ia letakkan ke lantai. “Hai, kenalkan…” Ia berjalan ke arahku, mengulurkan tangan lalu menyebutkan nama dengan mantap. Aku membalas sambil tersenyum.

“Yang itu masih kosong kah?” Ia bertanya sambil menunjuk salah satu dari 3 ‘sub-kamar’ yang ada dalam ruangan ini. Sebuah kamar luas dengan sofa empuk di depan TV, meja makan bundar 4 kursi, dapur mini lengkap dengan kitchen set, dan 3 ‘sub-kamar’ berisi kasur paling empuk yang pernah kutiduri. Kamar dengan nomor pintu 513 di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta Selatan.

Aku mengiyakan. Ia kemudian pamit untuk menaruh tas di ‘sub-kamar’ paling besar dalam kamar itu lalu kembali ke sampingku di depan TV yang tengah menayangkan sebuah iklan handphone dengan tag line yang sangat populer. Kami mengobrol sebentar kemudian ia mengajakku ke kamar depan untuk berkenalan dengan beberapa orang.

Laki-laki ini adalah satu dari 15 orang yang hari itu bertemu untuk pertama kalinya sebagai rekan sekerja. 6 minggu sesudahnya, kami, berlima belas, tinggal di hotel yang sebagian besar dihuni oleh ekspatriat itu. Setiap hari kerja, kadang bahkan Sabtu dan Minggu, kami akan seharian berada di sebuah kantor tak jauh dari hotel itu, berkutat dengan teori-teori pengeboran minyak, cara menghitung volume lubang sumur, dan mencampur-campur segala macam jenis bahan Kimia untuk sesuatu yang kemudian disebut ‘lumpur’. Malamnya, kami sibuk dengan PR yang bertumpuk-tumpuk. Saling mencontek satu sama lain, tanpa dibumbui aroma kompetisi. Begitu juga saat ujian tertulis di setiap akhir pekan.

Masa-masa awal training yang disebut ‘mud school’ itu adalah rentang waktu di mana aku tak pernah berhenti terperangah. Bagaimana tidak? Dalam beberapa hari pertama, aku berkenalan dan tinggal bersama sarjana-sarjana hebat jebolan universitas ternama negeri ini. Setidaknya di dunia pengeboran minyak. Sebutlah ITB dan UNPAD Bandung, kemudian UGM dan UPN Jogja, lalu ada Trisakti Jakarta. Bahkan, ada yang lulusan S2 dari Rusia. Tak sedikit yang kemudian mengernyitkan kening dan bertanya ‘di mana itu?’ ketika aku mengatakan ‘Satya Wacana, Salatiga’. Untung, ada salah satu yang kemudian nyeletuk, ‘Elektro, yah?’ Ah, kawan! Satya Wacana tak hanya Elektro. Tapi tidak apa-apalah, minimal kau tahu ada kampus yang bernama Satya Wacana.

Keterperangahan selanjutnya adalah ketika berada dalam kelas training. Setiap hari, kami dijejali dengan sesuatu entah apa yang sama sekali tak kupahami. Bagaimana tidak? Instrukturnya seorang American berusia sekitar 60-an tahun dengan bahasa Inggris yang hampir tak satu kalimat pun kupahami maksudnya. Apalagi isinya. Aku mengamati kawan-kawan baruku itu sesekali manggut-manggut. Entah karena paham atau sekadar bahasa tubuh untuk tujuan tata-krama. Saat istrahat, aku menanyakannya kepada beberapa di antara mereka dan ternyata mereka pun sama tidak pahamnya denganku. Ah, lega rasanya. Paling tidak, aku punya kawan senasib.

Dulu, aku berpikir bahwa kecerdasan akademik berbanding terbalik dengan kemampuan bergaul. Mereka yang pintar biasanya tidak gaul, demikian sebaliknya. Memang tidak seluruhnya benar, cuma begitulah fenomena yang pernah kuamati dari SMP hingga Perguruan Tinggi. Begitu mengenal kawan-kawan baruku ini, berantakanlah anggapanku tadi. Bahwa ternyata banyak manusia yang mendekati ‘sempurna’: pintar, kaya, baik, berwajah menarik, dan gaul. Ah, aku menjadi merasa tidak ada apa-apanya. Sungguh, tak ada sesuatu yang bisa kubanggakan padaku dibanding mereka. Pintar tidak, gaul apalagi. Ini bukan soal rendah diri, tapi tentang sesuatu yang sifatnya lebih realistis. Ibarat sebutir pasir menjumpa gurun, atau air sungai mendapati samudera. Sama-sama pasir tapi kalah jumlah, sama-sama air tapi kalah volume.

Waktu itu, beberapa bulan sebelum tahun 2004 berakhir, handphone sudah bukan lagi barang mewah. Hampir semua orang sudah memilikinya. Sebuah iklan bahkan dengan ‘tega’ menciptakan tag line yang berbunyi, ‘hari gini… nggak punya henpon!’ Iklan yang sering sekali muncul di televisi dan bagiku terdengar sangat menyebalkan. Ini (lagi-lagi) bukan soal rendah diri, tapi tentang realita yang tak bisa kututup-tutupi. Saat itu, pertengahan Oktober 2004, aku belum memiliki benda bernama handphone itu. Ketika resmi diterima sebagai karyawan melalui serangkaian tes di Balikpapan, salah satu bos-nya menanyakan bagaimana cara menghubungiku jika ada dokumen-dokumen atau urusan lain yang harus kuselesaikan sebelum berangkat ke Jakarta. Dengan malu-malu, aku memberikan nomor handphone kakakku yang saat itu juga sedang mencari pekerjaan di Balikpapan. Kabar gembira bahwa aku diterima di perusahaan itu pun aku terima dari kakakku yang dihubungi oleh orang kantor. Berita paling merdu yang pernah terdengar di kupingku sejak hampir dua tahun menjadi pengangguran di Kalimantan. Berpindah-pindah dari Balikpapan, Bontang, hingga Sangatta demi setiap kesempatan yang ada. Hidup menumpang di rumah sanak famili yang mau berbaik hati menampungku.

Sebagai manusia yang sudah menyandang gelar sarjana saat itu, yang kata orang sudah siap terjun ke dunia kerja, tentu saja aku malu meminta uang kepada orangtua untuk membeli handphone. Bukan hanya malu, bahkan orangtuaku pun tak memilikinya. Resmilah aku menjadi ‘korban’ iklan tadi. Aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan iklan itu, hanya saja kebutuhan akan handphone memang sudah mulai terasa.

Beruntung, kawan-kawan kerjaku sama sekali tidak bermasalah dengan itu. Lagi-lagi, kusaksikan kebesaran hati mereka yang tak sampai hati mengolok-olokku. Tak pernah sekalipun mereka ikut-ikutan mengucapkan tag line iklan yang sangat kurang ajar itu. Salah satu di antara mereka bahkan menawarkan diri untuk menemaniku membeli handphone ketika gajian pertama nanti.

Beberapa minggu kemudian, minggu terakhir Oktober 2004, di salah satu hari bersejarah dalam hidupku, aku seolah tak percaya memandangi sejumlah rupiah yang tertera di layar ATM. Kali pertama dalam hidupku, ada 6 digit angka di saldo rekening itu. Seumur hidup, belum pernah jumlahnya lebih dari sekian ratus ribu. Itu pun sangat jarang bertahan lama.

Singkat cerita, aku akhirnya memiliki barang ‘mewah’ pertama dalam hidupku. Handphone. Kubeli dari hasil keringat sendiri, setelah sekian tahun hanya bisa menyentuh dan sesekali menggunakannya. Handphone milik orang-orang yang berbaik hati mau meminjamkannya kepadaku.

Meski tidak tergolong yang paling bagus saat itu, memilikinya tetap saja tidak terbahasakan. Seperti anak kecil ketika mendapat hadiah robot-robotan atau mobil-mobilan ber-remote control.

Kenalkan! Handphone legendarisku, Sony Ericsson seri T230 yang ketika di kelas training harus selalu kumatikan karena tidak tahu cara mengaturnya menjadi silent mode. Ah… sedikit norak barangkali. Tapi tidak apa-apa.


Rantepao, 22 Februari 2010, 7:54 pm

4 comments:

Elzam said...

Cerita yang menggelikan. Keren. Aku suka tulisan-tulisan di blog ini.

Anonymous said...

sippirilli,
agak bingung bang, pas depannya yang training 'mud school' tapi judul dan endingnya emang handphone. aih, dibelakangnya akhirnya nemu jg singgungannya.

nice post, bang :)

RAMPA' MAEGA said...

=> Elzam & Ziy: teng kyu udah mampir, membaca, dan tertawa bersama, hehe....

Unknown said...

karena penasaran di ending hardcopy, akhirnya kujelajahi dunia maya mencari tulisan ini~