Tuesday, February 23, 2010

MEMOAR BIRU-AIR*


Biru. Mayapada berubah monokrom. Laut lepas menari dipayungi langit polos. Seakan tak ada ruang bagi warna lain untuk mewujud. Bahkan, horizon pun tergaris samar dalam nuansa biru.

Aku berdiri di atas ‘atap’. Pada sebuah titik di atas kumpulan air mahaluas bernama Teluk Thailand. Di sebuah rig berjenis jack-up yang ketiga kakinya menancap dengan kokoh ke dasar lautan. Di ‘atap’ datar bernama heliped di mana helikopter menurunkan dan membawa pergi orang-orang, seperti aku, dalam satuan waktu tertentu. Ada yang setiap 2 minggu, ada yang sebulan sekali.

Selepas siang menjelang sore hari di tempat ini, retinamu akan bosan menangkapi panjang gelombang biru. Bukan karena organ matamu mulai memilih-milih, melainkan karena hanya warna itulah yang dominan ada. Ketika awan enggan menampak dan lautan tak menjumpa daratan. Sejauh mata memandang, hanya biru yang sanggup kau kenali.

Tak pernah sebelumnya kubayangkan akan bekerja di tempat seperti ini. Tempat di mana kau hanya bisa ke mana-mana sejauh lempengan-lempengan logam menjelma rig ini masih memiliki dimensi. Bekerja untuk sejumlah hari tertentu setiap 12 jam sekali. Kadang, ketika kau sedang tidur terlelap sambil memeluk istrimu atau bantal guling, aku justru sedang bersiap-siap untuk memulai giliran kerja; tepat jam 12 tengah malam. Dan, ketika kau barangkali sedang bercengkerama dengan anakmu di sore hari atau berjalan-jalan dengan pacar tercintamu di taman kota, aku malah sedang tidur terlelap. Sendirian. Di dalam ruangan sempit yang nyaman dan gelap gulita berukuran 2 x 5 meter atau sedikit lebih besar dari itu.
Aku lebih suka hijau. Melihat helai daun atau rerumputan lebih menyejukkan mata. Tentu saja ini soal selera. Ada yang bahkan tak suka biru atau hijau sekalipun, bukan?

Dulu, aku membayangkan akan bekerja di sebuah kantor di pusat kota. Tempat di mana kau bisa ke mana-mana. Tempat tak berbatas dimensi di mana segala peradaban manusia bisa kau rengkuh. Bangun pagi ketika matahari masih bersemu kemerahan lalu pulang ke rumah ketika jingga petang mulai membayang. Dan di akhir pekan, kau bebas melakukan apa pun yang kau suka. Jalan-jalan ke pantai atau taman hiburan bersama anak-istrimu atau malam mingguan dengan belahan jiwamu.

Entah biru entah hijau. Aku tak lagi tahu mana yang lebih menarik.

Hidup memberondongkan pilihan-pilihan yang kadang tak pernah terduga. Aku tak pernah menyangka ketika bertahun-tahun lalu diterima bekerja di sebuah perusahaan yang mengurusi pekerjaan seperti ini. Bahkan, ketika menandatangani surat kesepakatan kerja pun, aku tak tahu persis jenis pekerjaan apa yang akan kujalani sesudahnya.

Setelah dibekali dengan sejumlah teori selama 6 minggu, aku dikirim ke tempat-tempat terpencil di mana minyak dan gas bumi tersembunyi di dalam tanah. Perjalanan melintasi pulau dan lautan, dari rawa-rawa Kalimantan, belantara Sumatera, hingga ke lautan yang menyatu dengan Laut China Selatan ini. Aku bersyukur bahwa dengan begitu aku bisa mengunjungi banyak tempat. Kata orang, semakin banyak perjalanan akan semakin bagus buat hidupmu.

Jadi, aku tak tahu lagi. Entah biru entah hijau. Sebab biru akan menjadi hijau bila bersenyawa dengan kuning.

----------------------------------------------------------
Air. Bumi menjelma lautan. Seakan tak ada tempat bagi sesuatu bernama daratan. Puluhan meter di bawah sana pun hanya ada air. Melambai-lambai tak kenal lelah sepanjang waktu dalam tarian ombak yang abadi.

Setiap hari, aku berkutat dengan sesuatu yang bernama ‘drilling fluid’; lumpur pemboran. Mencampur-campur ratusan hingga ribuan barel senyawa Kimia menjadi satu jenis fluida yang lebih lazim disebut ‘mud’. Kemudian mengetesnya dengan sejumlah piranti agar sifat-sifat fisika dan kimianya tetap terjaga dengan baik.

Kecuali bahwa pekerjaan ini tidak jauh-jauh dari anasir berbau Kimia, rutinitasku adalah sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Menjejalkan ratusan pipa besi satu demi satu menembus permukaan bumi ke tempat di mana sumber energi berbahan hidrokarbon terperangkap. Bersiaga agar tekanan di bawah sana tidak menjadi liar dan memuntahkan isi perutnya. Sekaligus berjaga-jaga agar tidak terjadi yang sebaliknya; ketika lumpur-lumpur tadi menyelusup ke dalam pori-pori batuan, lalu hilang dan tak muncul kembali ke permukaan.

Aku menyukai air. Bermain-main dengannya mengingatkanku pada masa kecil yang bahagia.

Dulu, aku berpikir bahwa aku akan menjadi seorang ilmuwan. Menyibukkan diri di laboratorium demi penemuan-penemuan baru. Menghadiri seminar-seminar dan berkutat dengan jurnal-jurnal ilmiah. Meneliti pigmen-pigmen tumbuhan yang berwarna-warni, mengakrabi hijaunya klorofil dan kuningnya karotenoid atau mengekstraksi senyawa-senyawa tak berwarna golongan alkaloid yang sanggup membunuh hama keong emas. Paling tidak menjadi dosen.
Entah Hidrogen entah Oksigen. Aku tak pernah tahu mana yang membuat air bisa diminum.

Hidup selalu menawarkan pilihan-pilihan. Aku tak pernah menduga bahwa pilihanku merantau ke Balikpapan akan membawaku ke tempat seperti ini. Pada saat teman-teman sealmamaterku mulai menyebar di berbagai pabrik Kimia dan kampus-kampus, tidak satu pun lamaran kerjaku yang ditanggapi oleh pihak kampus atau produsen bahan-bahan alam itu.

Ketika kau tak lagi tahu membedakan utopia dengan realitas, apa yang kemudian akan kau lakukan? Mempertanyakan lagi batasan-batasanmu tentang keduanya atau berusaha menisbikan batas di antara keduanya?

Aku memang tak pernah tahu. Entah Hidrogen entah Oksigen. Sebab, molekul air akan terbentuk ketika dua atom Hidrogen bersenyawa dengan satu atom Oksigen.


*Kenangan tentang sebuah sore yang biru di Rig Trident 15, Gulf of Thailand, Desember 2006

Rantepao, 23 Februari 2010; 2:46 am.



No comments: