Selembar
kartu undangan tergeletak di permukaan meja ruang tamu. Warnanya hijau tosca. Nama
ayahku tertera pada persegi panjang kecil berwarna putih di dekat sudut kanan
bawah. Tanpa seizin ayahku – yang kupikir tak perlu – aku segera membuka
undangan itu. Kutipan ayat Alkitab yang menjadi kalimat pengantar kubaca
sepintas. Pandanganku segera mencari nama kedua calon pengantin, karena untuk
alasan itulah aku membuka undangan itu. Lalu, aku tertegun setelah membaca nama
calon pengantin pria.
Di
kampung kita, pranata mengakar kuat dalam serabut-serabut kehidupan. Aku yakin
kausetuju itu. Perihal mengundang tetamu untuk sebuah perkawinan pun termaktub
di dalamnya; sanak famili tak sopan diundang lewat selembar kertas. Bukan harga
mati memang, namun apakah keliru mematuhi istiadat meski sulit mengutubkan
benar-salahnya?
***
Terlisan sebuah kisah turun-temurun
dari padang bernama Rura. Daerah itu subur sentosa. Padi, jagung, ubi, dan
sayur-sayuran silih berganti dihasilkan sepanjang musim. Kerbau, ayam, dan
babi-babi montok tak putus berkembang biak. Air sungai yang mengalir dari utara
melimpahi daerah itu dengan kemakmuran. Penduduknya hidup berkelimpahan di
tanah yang terberkati.
Tersebutlah seorang penguasa bernama
Londong di Rura yang kekayaannya tak terbilang. Sawah, ladang, dan ternak semua
ia punya. Istrinya, Kombong di Rura, adalah perempuan termolek di seluruh
negeri yang memberinya sepasang anak laki-laki dan perempuan. Karena
kesempurnaan hidupnya, Londong di Rura tak lagi takut pada apapun.
Keberaniannya tersohor ke seluruh pelosok negeri.
Ketika kedua anaknya dewasa,
Londong di Rura bersepakat dengan istrinya untuk mengawinkan kedua adik-beradik
itu. Hemat mereka, tak akan bisa ditemukan jodoh yang layak untuk disandingkan
dengan keturunan dari penguasa negeri yang kekayaannya tak tertandingi. Para tetua
kampung pun bersetuju. “Alangkah eloknya jika kedua anak itu dipersekutukan
dalam tali perkawinan. Tak perlu risau karena tak ada aluk1 yang
akan dilanggar,” kata para tetua kampung meyakinkan.
Maka digelarlah perhelatan perkawinan
yang meriah di kala’paran, tempat
melangsungkan upacara-upacara sukacita. Penduduk kampung datang berduyun-duyun
menghadiri pesta yang diyakini akan mengukuhkan aluk baru tentang perkawinan sedarah. Wajah-wajah penuh kebanggaan
memenuhi pelaminan, terutama pada Londong di Rura dan – barangkali – kedua
mempelai.
Tatkala
kemeriahan menyelimuti tempat itu, tanah di kala’paran
mendadak bergetar. Orang-orang sontak
panik. Mereka berlarian ke segala penjuru sambil bertanya-tanya gerangan apa
yang sedang terjadi. Pertanyaan yang urung terjawab manakala bumi tempat mereka
berpijak amblas ke dalam tanah. Kala’paran
itu tenggelam menuju pusat bumi, melenyapkan manusia-manusia yang tengah
berpesta pora. Lalu tempat itu diliputi air yang kemudian menjelma sebuah danau.
Orang-orang yang luput dari
malapetaka itu menjadi ketakutan. Dalam benak mereka, musababnya tentulah
perkawinan sedarah kedua anak Londong di Rura. Namun, mereka tak berani
menghakimi tersebab perhelatan itu telah disepakati oleh para tetua kampung. Mereka
segera memanggil orang-orang dari kampung tetangga untuk meminta pertolongan. Setali
tiga uang, tak satupun yang berani memberikan penjelasan.
Lalu bermufakatlah orang-orang
itu mengutus seseorang untuk meminta petunjuk Puang Matua2. Utusan itu segera menuju ke langit melalui
eran di langi’ – tangga penghubung
bumi dan langit. Di sana, Puang Matua menjawab,
“Tanamlah seperdua dari sebiji pinang! Jika masing-masing dari seperdua biji
pinang itu bertunas dan bertumbuh, maka perkawinan sedarah boleh
dilangsungkan.” Utusan itu tak memahami sabda Puang Matua. Ia bertanya lagi, namun Puang Matua menyarankannya untuk mencari ahli aluk yang tinggal di bumi.
Sesampai kembali di bumi, utusan
itu menyampaikan pesan dari Puang Matua
kepada para penduduk kampung. Mereka berembuk lagi dan akhirnya memutuskan
untuk mencari Pong Suloara’ yang tinggal di Gunung Sesean, jauh di sebelah
utara Rura. Pong Suloara’, setelah mendengar kabar itu, segera menuju ke Rura
dengan meniti pelangi. Di Rura, ia menyelidiki malapetaka yang telah terjadi
dan menyimpulkan bahwa perbuatan mengawinkan adik-beradik adalah sebuah pemali besar.
Pong Suloara’ lalu memimpin
orang-orang di Rura untuk mengadakan serangkaian upacara penebusan dosa agar Puang Matua mengampuni kesalahan yang
telah dilakukan oleh Londong di Rura. Karena kejadian itu, Pong Suloara’ menata
kembali aluk yang telah diselewengkan.
***
Minggu
pagi, 17 tahun lalu. Aku adalah putri kecil dengan Alkitab mungil, sekeping
logam seratus perak untuk persembahan, rambut terkepang dua, dan gaun hijau
tosca, siap bernyanyi dan bermain bagi Raja Sorga. Di Sekolah Minggu, ada
banyak putri dan pangeran, anak-anak yang – menurut Injil – adalah empunya Kerajaan
Sorga. Namun tak semua putri dan pangeran itu adalah anak-anak manis. Beberapa
pangeran ada yang nakal. Mereka sering mengganggu dan mengolok-olok aku. Tak
jarang aku menangis dibuatnya.
Seperti
di minggu pagi itu. Ibadah telah usai. Aku sedang berjalan pulang ketika
beberapa pangeran tiba-tiba mencegatku. Mereka berlima, mengurungku dalam
lingkaran. Salah satu di antaranya menarik-narik rambut kepang duaku dengan
keras. Yang lain kemudian mengikuti, bahkan ada yang mengincar renda-renda gaun
hijau toscaku. Alkitab di tanganku terlepas, jatuh ke tanah becek sehabis hujan
semalam. Aku berontak namun tangan-tangan mereka menahan gerak tubuhku. Mereka
pun tertawa sambil terus berulah macam-macam. Gaun hijau toscaku dilumuri
lumpur. Lalu aku hanya bisa menangis.
“Dasar
anak cengeng!” ejek mereka.
Tiba-tiba
datanglah seorang pangeran yang lain. Ia menghajar anak-anak nakal itu, lalu
membantuku berdiri. Pangeran itu memang lebih tua dua-tiga tahun dari aku dan
pangeran-pangeran nakal itu. Tubuhnya pun lebih besar hingga mudah saja baginya
untuk mengalahkan kelima pangeran nakal yang sudah lari ketakutan.
“Kamu
tidak apa-apa?” tanya pangeran penolongku. Ia menyerahkan Alkitab-ku yang sudah
kotor penuh lumpur.
Aku
hanya mengangguk. Tapi sesungguhnya aku sedang cemberut. Saban minggu, aku dan
pangeran itu selalu pergi dan pulang bersama-sama. Namun pagi itu, aku pulang
duluan.
“Maaf
yah, tadi aku beres-beres bangku dulu,” ucapnya membaca wajahku yang merengut.
Sebenarnya, dia memintaku menunggunya selesai membantu guru Sekolah Minggu
mengatur kembali bangku-bangku seusai kebaktian, tapi aku ingin segera pulang. Aku
tak ingin kelewatan opera Bobo di TVRI yang biasanya dimulai tepat ketika aku
tiba di rumah. Ia lalu menggandeng tanganku di sepanjang perjalanan pulang.
Sejak
saat itu, hanya satu orang yang aku panggil pangeran. Pangeran yang kemudian
bertumbuh menjadi lelaki yang namanya kupatri diam-diam pada ceruk hatiku yang
paling tersembunyi. Lelaki yang matanya adalah tempat berteduh, telinganya
adalah tempat penampungan keluh kesah, dan dadanya – yang berbulu-bulu halus –
adalah sumber kehangatan ketika angin musim hujan membekukan pipiku.
***
Tamar dan Absalom adalah anak
Daud, Raja Israel. Tamar, perawan jelita yang kecantikannya dikagumi banyak
orang, sementara Absalom adalah lelaki paling tampan di seluruh Israel. Mereka
bersaudara tiri dengan Amnon. Suatu ketika, Amnon bergundah gulana untuk alasan
yang tidak diketahui. Setiap pagi, putra raja itu bermuram durja. Ia menolak
semua masakan yang disiapkan oleh juru masak istana.
Maka datanglah Yonadab, sepupu
sekaligus sahabatnya, mencari tahu apa yang terjadi. “Aku menaruh hati pada
Tamar, adik perempuan Absalom. Dan, Engkau tentu paham bahwa aku tidak dapat
melakukan apa-apa terhadap dia,” kata Amnon pada Yonadab yang terkenal cerdik
dan bijaksana.
Yonadab tersenyum lalu
membisikkan saran. Lalu sesuai saran sahabatnya, berbaringlah Amnon dan
berpura-pura sakit. Saat Daud datang menjenguk, berkatalah Amnon kepada
ayahnya, “Izinkanlah adikku Tamar datang membuatkan roti dan kue di hadapan
mataku karena aku ingin melihatnya.”
Raja Daud segera menyuruh orang
menjemput Tamar untuk menengok kakaknya. Perawan itu melakukan apa yang
diperintahkan oleh ayahnya. Dengan tangannya, ia membuat adonan kue lalu memanggangnya
di hadapan Amnon. Namun Amnon menolak memakan kue itu karena ia ingin berdua
saja dengan Tamar di dalam kamar. Amnon lalu memerintahkan semua pengawal untuk
keluar dari kamarnya.
“Marilah tidur denganku, Dik!”
kata Amnon ketika mereka sudah berdua saja.
Tamar menepis tangan kakaknya
dan berkata: “Seorang laki-laki tidak pantas berbuat noda seperti itu pada adik
perempuannya sendiri. Engkau akan dihinakan seluruh orang Israel.”
Tetapi Amnon tidak mengindahkan
perkataan Tamar. Ia malah menarik adiknya itu ke tempat tidur. “Ayolah, adikku!
Tidak akan ada seorang pun yang mengetahui perbuatan ini.”
Tamar menarik tubuhnya yang kini
sudah menindih tubuh Amnon. “Tidak, kakakku. Ke mana hendak kubawa kecemaran
ini kelak?”
Amnon tetap tidak peduli, dan
sebab ia lebih kuat dari perempuan itu, diperkosanyalah Tamar lalu tidur
dengannya. Ketika bangun, timbul kebencian dalam diri Amnon kepada Tamar, melebihi
rasa sukanya pada adiknya itu semula. Ia lalu mengusir Tamar dari kamarnya.
Selayaknya putri-putri raja yang
masih perawan, Tamar tetap mengenakan baju kurung panjang yang gemerlapan.
Namun sesampainya ia di rumah Absalom kakaknya, Tamar menaburkan abu di
kepalanya lalu mengoyak baju kurung yang iakenakan dan meratap dengan keras.
Bertanyalah Absalom kepada adik
perempuannya: “Apakah Amnon yang telah menimpakan aib ini ke atasmu?”
Tamar tak menjawab namun Absalom
sudah tahu jawabannya. Timbullah kebencian dalam dirinya pada Amnon hingga ia
tak mau berkata-kata lagi dengan saudara lelakinya itu. Ketika Daud mendengar
perkara itu, sangat marahlah ia. Namun, Daud tak sanggup memberi hukuman bagi
putranya sendiri.
Menahun, Absalom menyimpan
dendam kepada Amnon. Suatu ketika, ia mengadakan acara pengguntingan bulu domba
di Baal-Hazor, dekat kota Efraim. Absalom mengundang semua putra raja dalam
acara itu dan memberi mereka anggur terbaik dari seluruh negeri. Seperti yang
ia harapkan, Amnon kemudian mabuk. Ia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk
membunuh Amnon. Putra-putra raja yang lain menjadi gemetar lalu melarikan diri
kembali ke Yerusalem.
Kabar terbunuhnya Amnon sampai
ke telinga Daud, membuat Raja Israel itu larut dalam perkabungan yang panjang. Sementara
itu, Absalom melarikan diri kepada kakeknya, Talmai bin Amihur, raja negeri
Gesur. Ia tinggal di sana tiga tahun lamanya. Sesudahnya, Absalom tak lagi
berbaikan dengan Daud hingga beberapa tahun kemudian ia tewas dalam pemberontakan
terhadap ayahnya sendiri, menyisakan dukacita yang teramat dalam bagi Daud.
***
Aku
mengecat dinding kamarku dengan warna hijau tosca. Pernak-pernik dalam kamarku:
tas, jepit rambut, gelang, kalung, jam meja, hampir semuanya berwarna hijau tosca.
Seprai kasurku pun hijau tosca. Aku punya tujuh. Motifnya berbeda-beda.
Jadi,
bukan istiadat – yang sulit dikutubkan benar-salahnya – yang aku perkarakan
padamu. Aku, pastilah, adalah perempuan yang tak tahu adat – harfiah maupun
kiasan. Aku baru tahu dari ayahku kalau bagi suku Toraja, sanak familli
seharusnya diundang secara lisan untuk acara perkawinan. Namun bagiku, lisan
ataupun tertulis tidak lagi ada bedanya.
Juga,
bukan perihal undangan perkawinan berwujud selembar kertas yang melahirkan
murka ayahku pada calon mertuamu. Tentu kautahu bahwa ayahku adalah mantan
suami calon mertua perempuanmu, dan calon suamimu itu adalah anak dari ayahku.
Bukan
pula menyoal nama lelaki yang bersanding dengan namamu pada kertas undangan
itu. Dia, satu-satunya manusia yang aku panggil pangeran, adalah kakak tiriku. Dan
tak pernah aku memimpikan namaku yang tertulis di situ menggantikan namamu. Aku
lebih takut cemoohan sosial daripada siksa neraka.
Tapi
aku menaruh iba padamu, pada warna hijau tosca yang semoga saja bukan pilihanmu
sendiri untuk kertas undangan perkawinanmu. Asal kautau saja, tiga dari tujuh seprai
hijau tosca-ku adalah saksi ketika aku dan kakakku bergelut di atasnya penuh
berahi. Pada motif kembang-kembang, ia yang di atas, pada motif garis-garis,
aku yang berada di atas, dan pada yang polkadot, kami bersisian, memagut dan
saling meremas.
Selamat menempuh hidup baru!
Barangkali akan kaukenakan gaun pengantin putih bersih, perlambang
keperawananmu dan kakak laki-lakiku itu akan memakai setelan jas hitam karena
ia sudah tidak perjaka lagi. Kalian berdua akan dipersatukan oleh Tuhan di
hadapan pendeta dan para jemaat yang ikatannya tak boleh diceraikan oleh
manusia kecuali maut, seperti cincin tak ber-ujung pangkal yang kelak akan
kalian sematkan di jari manis masing-masing. Lalu negara, agama, dan kerajaan
surga akan mengukuhkanmu sebagai istri sahnya. Namun, iblis telah menyiapkan
aku menjadi istrinya yang lain, kelak di kerajaan neraka.
Catatan:
1.
aluk = peraturan adat.
2.
Puang Matua = Tuhan