Sunday, September 8, 2013

UNDANGAN PERKAWINAN HIJAU TOSCA

Selembar kartu undangan tergeletak di permukaan meja ruang tamu. Warnanya hijau tosca. Nama ayahku tertera pada persegi panjang kecil berwarna putih di dekat sudut kanan bawah. Tanpa seizin ayahku – yang kupikir tak perlu – aku segera membuka undangan itu. Kutipan ayat Alkitab yang menjadi kalimat pengantar kubaca sepintas. Pandanganku segera mencari nama kedua calon pengantin, karena untuk alasan itulah aku membuka undangan itu. Lalu, aku tertegun setelah membaca nama calon pengantin pria.
Di kampung kita, pranata mengakar kuat dalam serabut-serabut kehidupan. Aku yakin kausetuju itu. Perihal mengundang tetamu untuk sebuah perkawinan pun termaktub di dalamnya; sanak famili tak sopan diundang lewat selembar kertas. Bukan harga mati memang, namun apakah keliru mematuhi istiadat meski sulit mengutubkan benar-salahnya?
***
                Terlisan sebuah kisah turun-temurun dari padang bernama Rura. Daerah itu subur sentosa. Padi, jagung, ubi, dan sayur-sayuran silih berganti dihasilkan sepanjang musim. Kerbau, ayam, dan babi-babi montok tak putus berkembang biak. Air sungai yang mengalir dari utara melimpahi daerah itu dengan kemakmuran. Penduduknya hidup berkelimpahan di tanah yang terberkati.
                Tersebutlah seorang penguasa bernama Londong di Rura yang kekayaannya tak terbilang. Sawah, ladang, dan ternak semua ia punya. Istrinya, Kombong di Rura, adalah perempuan termolek di seluruh negeri yang memberinya sepasang anak laki-laki dan perempuan. Karena kesempurnaan hidupnya, Londong di Rura tak lagi takut pada apapun. Keberaniannya tersohor ke seluruh pelosok negeri.
                Ketika kedua anaknya dewasa, Londong di Rura bersepakat dengan istrinya untuk mengawinkan kedua adik-beradik itu. Hemat mereka, tak akan bisa ditemukan jodoh yang layak untuk disandingkan dengan keturunan dari penguasa negeri yang kekayaannya tak tertandingi. Para tetua kampung pun bersetuju. “Alangkah eloknya jika kedua anak itu dipersekutukan dalam tali perkawinan. Tak perlu risau karena tak ada aluk1 yang akan dilanggar,” kata para tetua kampung meyakinkan.
                Maka digelarlah perhelatan perkawinan yang meriah di kala’paran, tempat melangsungkan upacara-upacara sukacita. Penduduk kampung datang berduyun-duyun menghadiri pesta yang diyakini akan mengukuhkan aluk baru tentang perkawinan sedarah. Wajah-wajah penuh kebanggaan memenuhi pelaminan, terutama pada Londong di Rura dan – barangkali – kedua mempelai.
Tatkala kemeriahan menyelimuti tempat itu, tanah di kala’paran mendadak bergetar. Orang-orang sontak panik. Mereka berlarian ke segala penjuru sambil bertanya-tanya gerangan apa yang sedang terjadi. Pertanyaan yang urung terjawab manakala bumi tempat mereka berpijak amblas ke dalam tanah. Kala’paran itu tenggelam menuju pusat bumi, melenyapkan manusia-manusia yang tengah berpesta pora. Lalu tempat itu diliputi air yang kemudian menjelma sebuah danau.
                Orang-orang yang luput dari malapetaka itu menjadi ketakutan. Dalam benak mereka, musababnya tentulah perkawinan sedarah kedua anak Londong di Rura. Namun, mereka tak berani menghakimi tersebab perhelatan itu telah disepakati oleh para tetua kampung. Mereka segera memanggil orang-orang dari kampung tetangga untuk meminta pertolongan. Setali tiga uang, tak satupun yang berani memberikan penjelasan.
                Lalu bermufakatlah orang-orang itu mengutus seseorang untuk meminta petunjuk Puang Matua2. Utusan itu segera menuju ke langit melalui eran di langi’ – tangga penghubung bumi dan langit. Di sana, Puang Matua menjawab, “Tanamlah seperdua dari sebiji pinang! Jika masing-masing dari seperdua biji pinang itu bertunas dan bertumbuh, maka perkawinan sedarah boleh dilangsungkan.” Utusan itu tak memahami sabda Puang Matua. Ia bertanya lagi, namun Puang Matua menyarankannya untuk mencari ahli aluk yang tinggal di bumi.
                Sesampai kembali di bumi, utusan itu menyampaikan pesan dari Puang Matua kepada para penduduk kampung. Mereka berembuk lagi dan akhirnya memutuskan untuk mencari Pong Suloara’ yang tinggal di Gunung Sesean, jauh di sebelah utara Rura. Pong Suloara’, setelah mendengar kabar itu, segera menuju ke Rura dengan meniti pelangi. Di Rura, ia menyelidiki malapetaka yang telah terjadi dan menyimpulkan bahwa perbuatan mengawinkan adik-beradik adalah sebuah pemali besar.
                Pong Suloara’ lalu memimpin orang-orang di Rura untuk mengadakan serangkaian upacara penebusan dosa agar Puang Matua mengampuni kesalahan yang telah dilakukan oleh Londong di Rura. Karena kejadian itu, Pong Suloara’ menata kembali aluk yang telah diselewengkan.
***
Minggu pagi, 17 tahun lalu. Aku adalah putri kecil dengan Alkitab mungil, sekeping logam seratus perak untuk persembahan, rambut terkepang dua, dan gaun hijau tosca, siap bernyanyi dan bermain bagi Raja Sorga. Di Sekolah Minggu, ada banyak putri dan pangeran, anak-anak yang – menurut Injil – adalah empunya Kerajaan Sorga. Namun tak semua putri dan pangeran itu adalah anak-anak manis. Beberapa pangeran ada yang nakal. Mereka sering mengganggu dan mengolok-olok aku. Tak jarang aku menangis dibuatnya.
Seperti di minggu pagi itu. Ibadah telah usai. Aku sedang berjalan pulang ketika beberapa pangeran tiba-tiba mencegatku. Mereka berlima, mengurungku dalam lingkaran. Salah satu di antaranya menarik-narik rambut kepang duaku dengan keras. Yang lain kemudian mengikuti, bahkan ada yang mengincar renda-renda gaun hijau toscaku. Alkitab di tanganku terlepas, jatuh ke tanah becek sehabis hujan semalam. Aku berontak namun tangan-tangan mereka menahan gerak tubuhku. Mereka pun tertawa sambil terus berulah macam-macam. Gaun hijau toscaku dilumuri lumpur. Lalu aku hanya bisa menangis.
“Dasar anak cengeng!” ejek mereka.
Tiba-tiba datanglah seorang pangeran yang lain. Ia menghajar anak-anak nakal itu, lalu membantuku berdiri. Pangeran itu memang lebih tua dua-tiga tahun dari aku dan pangeran-pangeran nakal itu. Tubuhnya pun lebih besar hingga mudah saja baginya untuk mengalahkan kelima pangeran nakal yang sudah lari ketakutan.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya pangeran penolongku. Ia menyerahkan Alkitab-ku yang sudah kotor penuh lumpur.
Aku hanya mengangguk. Tapi sesungguhnya aku sedang cemberut. Saban minggu, aku dan pangeran itu selalu pergi dan pulang bersama-sama. Namun pagi itu, aku pulang duluan.
“Maaf yah, tadi aku beres-beres bangku dulu,” ucapnya membaca wajahku yang merengut. Sebenarnya, dia memintaku menunggunya selesai membantu guru Sekolah Minggu mengatur kembali bangku-bangku seusai kebaktian, tapi aku ingin segera pulang. Aku tak ingin kelewatan opera Bobo di TVRI yang biasanya dimulai tepat ketika aku tiba di rumah. Ia lalu menggandeng tanganku di sepanjang perjalanan pulang.
Sejak saat itu, hanya satu orang yang aku panggil pangeran. Pangeran yang kemudian bertumbuh menjadi lelaki yang namanya kupatri diam-diam pada ceruk hatiku yang paling tersembunyi. Lelaki yang matanya adalah tempat berteduh, telinganya adalah tempat penampungan keluh kesah, dan dadanya – yang berbulu-bulu halus – adalah sumber kehangatan ketika angin musim hujan membekukan pipiku.
***
                Tamar dan Absalom adalah anak Daud, Raja Israel. Tamar, perawan jelita yang kecantikannya dikagumi banyak orang, sementara Absalom adalah lelaki paling tampan di seluruh Israel. Mereka bersaudara tiri dengan Amnon. Suatu ketika, Amnon bergundah gulana untuk alasan yang tidak diketahui. Setiap pagi, putra raja itu bermuram durja. Ia menolak semua masakan yang disiapkan oleh juru masak istana.
                Maka datanglah Yonadab, sepupu sekaligus sahabatnya, mencari tahu apa yang terjadi. “Aku menaruh hati pada Tamar, adik perempuan Absalom. Dan, Engkau tentu paham bahwa aku tidak dapat melakukan apa-apa terhadap dia,” kata Amnon pada Yonadab yang terkenal cerdik dan bijaksana.
                Yonadab tersenyum lalu membisikkan saran. Lalu sesuai saran sahabatnya, berbaringlah Amnon dan berpura-pura sakit. Saat Daud datang menjenguk, berkatalah Amnon kepada ayahnya, “Izinkanlah adikku Tamar datang membuatkan roti dan kue di hadapan mataku karena aku ingin melihatnya.”
                Raja Daud segera menyuruh orang menjemput Tamar untuk menengok kakaknya. Perawan itu melakukan apa yang diperintahkan oleh ayahnya. Dengan tangannya, ia membuat adonan kue lalu memanggangnya di hadapan Amnon. Namun Amnon menolak memakan kue itu karena ia ingin berdua saja dengan Tamar di dalam kamar. Amnon lalu memerintahkan semua pengawal untuk keluar dari kamarnya.
                “Marilah tidur denganku, Dik!” kata Amnon ketika mereka sudah berdua saja.
                Tamar menepis tangan kakaknya dan berkata: “Seorang laki-laki tidak pantas berbuat noda seperti itu pada adik perempuannya sendiri. Engkau akan dihinakan seluruh orang Israel.”
                Tetapi Amnon tidak mengindahkan perkataan Tamar. Ia malah menarik adiknya itu ke tempat tidur. “Ayolah, adikku! Tidak akan ada seorang pun yang mengetahui perbuatan ini.”
                Tamar menarik tubuhnya yang kini sudah menindih tubuh Amnon. “Tidak, kakakku. Ke mana hendak kubawa kecemaran ini kelak?”
                Amnon tetap tidak peduli, dan sebab ia lebih kuat dari perempuan itu, diperkosanyalah Tamar lalu tidur dengannya. Ketika bangun, timbul kebencian dalam diri Amnon kepada Tamar, melebihi rasa sukanya pada adiknya itu semula. Ia lalu mengusir Tamar dari kamarnya.
                Selayaknya putri-putri raja yang masih perawan, Tamar tetap mengenakan baju kurung panjang yang gemerlapan. Namun sesampainya ia di rumah Absalom kakaknya, Tamar menaburkan abu di kepalanya lalu mengoyak baju kurung yang iakenakan dan meratap dengan keras.
                Bertanyalah Absalom kepada adik perempuannya: “Apakah Amnon yang telah menimpakan aib ini ke atasmu?”
                Tamar tak menjawab namun Absalom sudah tahu jawabannya. Timbullah kebencian dalam dirinya pada Amnon hingga ia tak mau berkata-kata lagi dengan saudara lelakinya itu. Ketika Daud mendengar perkara itu, sangat marahlah ia. Namun, Daud tak sanggup memberi hukuman bagi putranya sendiri.
                Menahun, Absalom menyimpan dendam kepada Amnon. Suatu ketika, ia mengadakan acara pengguntingan bulu domba di Baal-Hazor, dekat kota Efraim. Absalom mengundang semua putra raja dalam acara itu dan memberi mereka anggur terbaik dari seluruh negeri. Seperti yang ia harapkan, Amnon kemudian mabuk. Ia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk membunuh Amnon. Putra-putra raja yang lain menjadi gemetar lalu melarikan diri kembali ke Yerusalem.
                Kabar terbunuhnya Amnon sampai ke telinga Daud, membuat Raja Israel itu larut dalam perkabungan yang panjang. Sementara itu, Absalom melarikan diri kepada kakeknya, Talmai bin Amihur, raja negeri Gesur. Ia tinggal di sana tiga tahun lamanya. Sesudahnya, Absalom tak lagi berbaikan dengan Daud hingga beberapa tahun kemudian ia tewas dalam pemberontakan terhadap ayahnya sendiri, menyisakan dukacita yang teramat dalam bagi Daud.
***      
                Aku mengecat dinding kamarku dengan warna hijau tosca. Pernak-pernik dalam kamarku: tas, jepit rambut, gelang, kalung, jam meja, hampir semuanya berwarna hijau tosca. Seprai kasurku pun hijau tosca. Aku punya tujuh. Motifnya berbeda-beda.            
Jadi, bukan istiadat – yang sulit dikutubkan benar-salahnya – yang aku perkarakan padamu. Aku, pastilah, adalah perempuan yang tak tahu adat – harfiah maupun kiasan. Aku baru tahu dari ayahku kalau bagi suku Toraja, sanak familli seharusnya diundang secara lisan untuk acara perkawinan. Namun bagiku, lisan ataupun tertulis tidak lagi ada bedanya.
Juga, bukan perihal undangan perkawinan berwujud selembar kertas yang melahirkan murka ayahku pada calon mertuamu. Tentu kautahu bahwa ayahku adalah mantan suami calon mertua perempuanmu, dan calon suamimu itu adalah anak dari ayahku.
Bukan pula menyoal nama lelaki yang bersanding dengan namamu pada kertas undangan itu. Dia, satu-satunya manusia yang aku panggil pangeran, adalah kakak tiriku. Dan tak pernah aku memimpikan namaku yang tertulis di situ menggantikan namamu. Aku lebih takut cemoohan sosial daripada siksa neraka.
Tapi aku menaruh iba padamu, pada warna hijau tosca yang semoga saja bukan pilihanmu sendiri untuk kertas undangan perkawinanmu. Asal kautau saja, tiga dari tujuh seprai hijau tosca-ku adalah saksi ketika aku dan kakakku bergelut di atasnya penuh berahi. Pada motif kembang-kembang, ia yang di atas, pada motif garis-garis, aku yang berada di atas, dan pada yang polkadot, kami bersisian, memagut dan saling meremas.
                Selamat menempuh hidup baru! Barangkali akan kaukenakan gaun pengantin putih bersih, perlambang keperawananmu dan kakak laki-lakiku itu akan memakai setelan jas hitam karena ia sudah tidak perjaka lagi. Kalian berdua akan dipersatukan oleh Tuhan di hadapan pendeta dan para jemaat yang ikatannya tak boleh diceraikan oleh manusia kecuali maut, seperti cincin tak ber-ujung pangkal yang kelak akan kalian sematkan di jari manis masing-masing. Lalu negara, agama, dan kerajaan surga akan mengukuhkanmu sebagai istri sahnya. Namun, iblis telah menyiapkan aku menjadi istrinya yang lain, kelak di kerajaan neraka.

Catatan:
1.       aluk = peraturan adat.
2.      Puang Matua = Tuhan


No comments: