“Tak ada manusia yang selalu cerdas
24 jam sehari.”
“Alasan!” Kau merengut. Matamu
menyolot. Rahangmu mengencang. Kedua tanganmu menggantung di udara, tepat di samping
kupingmu. Seperti binatang buas siap menerkam mangsa.
Aku tahu kau kesal. Tapi apa lagi
yang bisa kubilang? Tak pernah ada penjelasan yang bisa membuatmu puas. Selalu
saja ada protes dan bantahan. Membuat bibirmu bergerak-gerak ritmis dalam tempo
accelerando.
“Iyaaa… Tapi nggak harus pake alasan
itu, kan?” Melodimu berubah crescendo. Akhir
nadanya meninggi penuh emosi. Tak ada arti aku bicara. Tapi aku yakin, ketika
aku diam, kau akan semakin menjadi-jadi. Lalu, aku harus bagaimana?
“YES or NO?”
Kau
mengancam. Matamu menajam menunggu jawaban.
Oh, Tuhaaan… Bagaimana harus kujawab
pertanyaanmu? Ini bukan tentang ‘ya’ atau ‘tidak’, Sayang. Tak akan cukup. Menjawab
‘ya’ atau ‘tidak’ akan sama saja. Selalu saja kau punya penjelasan yang
membuatmu seperti lebih mengenalku daripada diriku sendiri. Lalu, jawaban mana
yang harus kupilih? Sudah kubilang aku tak bisa cerdas 24 jam sehari.
Kunyalakan sebatang rokok. Isyarat semoga
kau paham bahwa ini sungguh tak mudah. Sengaja, tak kutekan pemantiknya dengan
sempurna agar aku punya alasan untuk mencari korek di tempat lain. Maaf, ini
sandiwara. Tapi, apa lagi yang bisa kulakukan agar terbebas dari jerat matamu?
“Sudahlah.” Aku menghela napas.
Keras. “Apa pun yang ada di kepalamu tak akan mengubah apa-apa.”
Wajahmu memaling. Kau menyusut
butiran bening yang mengalir pelan dari kelopak matamu. Bahumu terguncang
naik-turun. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirmu selain isak tangis yang
setengah mati berusaha kau tahan.
“Hey… Come on!” Kusentuhkan telapak tanganku ke bahumu. Pelan dan sangat
hati-hati. Aku tak pernah sanggup melihatmu menangis. Sebagian jiwaku serasa
tercerabut tiap kali lapisan bening itu mendanaukan matamu.
Kau menatapku. Gamang. Kusambut
dengan senyum tertulus yang pernah kumiliki. Hanya itu yang kupunya saat ini.
Tak ada suara, tak ada kata-kata. Kadang, hati hanya sanggup berbahasa tanpa
aksara. Tapi aku yakin kau membacanya. Ketika kutuliskan pada ceruk hatiku bahwa
aku mencintaimu dengan cara yang kau tahu, kekuatan yang kau sadari, ketulusan
yang kau rasakan, dan durasi yang kuharap akan selamanya.
Percayalah, tak ada manusia yang
selalu cerdas 24 jam sehari.
No comments:
Post a Comment