Andai langit adalah wajahmu, maka kedua matamu adalah
sepasang kumulonimbus yang siap menuang hujan. Pekat yang padat, kelam yang tak
tergenggam. Namun tetap saja, mendung itu tak kunjung bandang. Dan aku selalu
kagum pada kemampuanmu melawan gravitasi, hingga kumpulan air itu tak juga
mengalir. Bahkan menetes pun tidak.
Suaramu lirih nyaris tak tergubris, namun menghadirkan
bisik yang mengusik. Entah gendang telingaku yang tak lagi mumpuni memerankan fungsi,
ataukah memang kau hanya ingin menggumam. Dan aku selalu salut pada kemampuanmu
diabaikan, hingga gumaman itu tak kunjung terbalas. Bahkan tersimak pun tidak.
Maaf. Aku sanggup membaca nada. Tak perlu lirik, aku
tahu apa yang tersirat dalam setiap lagu yang kausenandungkan. Aku paham apa
yang kaulepaskan dalam setiap desah napasmu. Aku mengerti apa yang kaukirimkan
lewat tatapan mata yang mendadak menjadikanku seperti seorang tertuduh. Dan aku
tak bilang apa-apa. Bisa jadi kurang empati, atau mungkin karena aku sok tahu.
“Terus?” aku mencoba memecah bisu yang mulai membuatku
ragu: adakah ‘terus’ cukup membantu?
Kautersenyum. Satir dan membius. Ada gelisah tak terwadah,
juga resah yang ingin pecah. Dan aku hanya bisa pasrah. Mendengar kisah yang
itu-itu lagi menggiringku pada jenuh yang sesungguhnya ingin kumuntahkan. Kadang
kita membenci hidup, bukan? Namun tetap saja kita rela bernapas untuk
memanjangakan durasi nyawa. Dan pasti akan terlalu naïf jika mendadak aku ingin
tuli saja. Tuli yang temporer, tentu saja.
Sedari tadi, kedua potong bibirmu yang mulai tampak
kehitaman bergantian menyentuh dan memisah satu sama lain. Tetap saja begitu,
meski dari selanya terembus asap rokok yang kerap memicingkan mata dan
mengerutkan keningmu. Sudah kubilang, nikotin tak bagus buat kesehatan, namun selalu
saja kauabai. “Pajak rokok salah satu sumber devisa negara terbesar, lho,”
jawabmu retorik dan menyebalkan.
Kadang kau tertawa sendiri. Aku tak tahu bagian mana
yang lucu dari deretan kisah pilu yang kaulisankkan. Entah kau yang mulai tak
waras, atau aku yang telah kehilangan selera humor. Namun barangkali, begitulah
caramu memaknai hidup: menertawakan kepedihan. Dan di tengah narasi pajang-lebarmu,
tak ada celah sedikit pun untuk kujeda. Bahkan ketika kaumulai tertawa sendiri.
Mungkin tak perlu. Atau bisa jadi, aku yang kurang peduli.
Berputar mengedari siklus yang sama selalu berujung
pada kebosanan. Miskin warna, tak ada nuansa. Mendengar cerita yang itu-itu
saja membimbingku pada jemu yang sebenarnya ingin kuludahkan. Kadang kita
membenci tuhan, bukan? Namun tetap saja kita menghujaninya dengan doa-doa sarat
harapan ketika hidup terasa menjelma pengkhianat.
Lalu, di manakah cinta ketika aku tak lagi suka
mendengarmu mengeluh tentang yang itu-itu lagi? Ke manakah cinta ketika untuk
sekadar mendengar pun aku tak lagi sudi? Mungkin, dia bersembunyi sambil
menunggu untaian kata-kata manis penuh rayuan gombal kembali memerahkan
bibirmu. Barangkali, ia menanti puja-puji yang seluas angkasa ketika
kaubisikkan mimpi-mimpi tentang indahnya kebersamaan. Atau, barangkali cinta
telah menjelma menjadi gendang telinga yang tak ingin tuli.
Mencintai …
mungkin adalah sekadar memberi telinga …
… untuk mendengar.
No comments:
Post a Comment