Friday, September 6, 2013

MEMBERI TELINGA

Andai langit adalah wajahmu, maka kedua matamu adalah sepasang kumulonimbus yang siap menuang hujan. Pekat yang padat, kelam yang tak tergenggam. Namun tetap saja, mendung itu tak kunjung bandang. Dan aku selalu kagum pada kemampuanmu melawan gravitasi, hingga kumpulan air itu tak juga mengalir. Bahkan menetes pun tidak.

Suaramu lirih nyaris tak tergubris, namun menghadirkan bisik yang mengusik. Entah gendang telingaku yang tak lagi mumpuni memerankan fungsi, ataukah memang kau hanya ingin menggumam. Dan aku selalu salut pada kemampuanmu diabaikan, hingga gumaman itu tak kunjung terbalas. Bahkan tersimak pun tidak.

Maaf. Aku sanggup membaca nada. Tak perlu lirik, aku tahu apa yang tersirat dalam setiap lagu yang kausenandungkan. Aku paham apa yang kaulepaskan dalam setiap desah napasmu. Aku mengerti apa yang kaukirimkan lewat tatapan mata yang mendadak menjadikanku seperti seorang tertuduh. Dan aku tak bilang apa-apa. Bisa jadi kurang empati, atau mungkin karena aku sok tahu.

“Terus?” aku mencoba memecah bisu yang mulai membuatku ragu: adakah ‘terus’ cukup membantu?

Kautersenyum. Satir dan membius. Ada gelisah tak terwadah, juga resah yang ingin pecah. Dan aku hanya bisa pasrah. Mendengar kisah yang itu-itu lagi menggiringku pada jenuh yang sesungguhnya ingin kumuntahkan. Kadang kita membenci hidup, bukan? Namun tetap saja kita rela bernapas untuk memanjangakan durasi nyawa. Dan pasti akan terlalu naïf jika mendadak aku ingin tuli saja. Tuli yang temporer, tentu saja.

Sedari tadi, kedua potong bibirmu yang mulai tampak kehitaman bergantian menyentuh dan memisah satu sama lain. Tetap saja begitu, meski dari selanya terembus asap rokok yang kerap memicingkan mata dan mengerutkan keningmu. Sudah kubilang, nikotin tak bagus buat kesehatan, namun selalu saja kauabai. “Pajak rokok salah satu sumber devisa negara terbesar, lho,” jawabmu retorik dan menyebalkan.

Kadang kau tertawa sendiri. Aku tak tahu bagian mana yang lucu dari deretan kisah pilu yang kaulisankkan. Entah kau yang mulai tak waras, atau aku yang telah kehilangan selera humor. Namun barangkali, begitulah caramu memaknai hidup: menertawakan kepedihan. Dan di tengah narasi pajang-lebarmu, tak ada celah sedikit pun untuk kujeda. Bahkan ketika kaumulai tertawa sendiri. Mungkin tak perlu. Atau bisa jadi, aku yang kurang peduli.

Berputar mengedari siklus yang sama selalu berujung pada kebosanan. Miskin warna, tak ada nuansa. Mendengar cerita yang itu-itu saja membimbingku pada jemu yang sebenarnya ingin kuludahkan. Kadang kita membenci tuhan, bukan? Namun tetap saja kita menghujaninya dengan doa-doa sarat harapan ketika hidup terasa menjelma pengkhianat.

Lalu, di manakah cinta ketika aku tak lagi suka mendengarmu mengeluh tentang yang itu-itu lagi? Ke manakah cinta ketika untuk sekadar mendengar pun aku tak lagi sudi? Mungkin, dia bersembunyi sambil menunggu untaian kata-kata manis penuh rayuan gombal kembali memerahkan bibirmu. Barangkali, ia menanti puja-puji yang seluas angkasa ketika kaubisikkan mimpi-mimpi tentang indahnya kebersamaan. Atau, barangkali cinta telah menjelma menjadi gendang telinga yang tak ingin tuli.

Mencintai …

mungkin adalah sekadar memberi telinga …

… untuk mendengar.




No comments: