Ia pernah
berciuman dengan api unggun. Dengan kobar nafsu yang menyala-nyala, lalu padam
dalam semalam. “Aku tak suka pada cinta yang dinikmati beramai-ramai,” kata dia
mendesah napas. Lalu, dari onggokan kayu yang telah habis menjadi abu,
seseorang menyeruak perlahan. Tanpa ekspresi. Hanya isyarat.
Ia pernah
bercumbu dengan lampu lalu lintas. Kadang hijau, kuning sesekali, paling sering
merah. “Aku tak tahan pada cinta yang digilir-gilir,” ujarnya sesenggukan. Lalu
ketika mesin-mesin kendaraan itu kembali menderu, seseorang bergeming di sana.
Juga tanpa ekspresi. Hanya isyarat.
Ia pernah
bersetubuh dengan lampu Natal. Gemerlap, dinamis, romantis. “Aku benci pada
cinta yang hanya datang di bulan Desember,” ucapnya berlinang air mata. Lalu
ketika lampu-lampu mungil itu disimpan, seseorang menyisakan cahaya. Masih tanpa
ekspresi. Hanya isyarat.
Ia pernah bersenggama
dengan kembang api. Spontan, menggairahkan, namun tunduk pada durasi. “Aku muak
pada cinta yang cepat usai.” Kali ini ia menggerung. Lalu ketika meriah kembang
api habis dienyahkan malam, langit melukis sesosok wajah. Lagi-lagi tanpa
ekspresi. Hanya isyarat.
Ia pernah bercinta
dengan lilin. Penuh pengorbanan, setia, tahan lama. “Aku bosan pada cinta yang
temaram.” Ia tampak pasrah. Lalu ketika nyala lilin itu musnah, kegelapan
menghadirkan sesosok makhluk. Seseorang yang menyeruak perlahan dari onggokan
kayu yang telah menjadi abu. Seseorang yang bergeming ketika kendaraan mulai
melaju meninggalkan lampu merah yang telah berganti hijau. Seseorang yang
menyisakan cahaya ketika lampu-lampu Natal telah disimpan. Seseorang yang
dilukis langit ketika meriah kembang api telah usai.
“Kamu siapa?”
ia bertanya
Makhluk itu tak
menjawab. Hanya isyarat. Tanpa ekspresi.
“Kenapa kamu
selalu mengikutiku?” ia bertanya lagi.
Makhluk itu
tetap tak menjawab. Hanya isyarat. Tanpa ekspresi.
Sontak,
makhluk itu menoleh menatapku. Aku tergeragap. Rasanya, aku mengenalnya.
Déjà vu …
Hening …
Makhluk itu
berpaling. Berjalan menjauh. Samar, kudengar bisikan ‘anicca … anitya … wúcháng
… mujō… ketak-kekalan’. Lalu makhluk itu ditelan molekul udara.
Déjà vu …
Hening …
Aku menjumpai
kesendirian. Tak ada ‘ia’ yang bertanya. Tak ada ‘aku’ yang melihat.
Bandung, 10 Maret 2011
No comments:
Post a Comment