Tuesday, September 3, 2013

TANPA EKSPRESI.HANYA ISYARAT

Ia pernah berciuman dengan api unggun. Dengan kobar nafsu yang menyala-nyala, lalu padam dalam semalam. “Aku tak suka pada cinta yang dinikmati beramai-ramai,” kata dia mendesah napas. Lalu, dari onggokan kayu yang telah habis menjadi abu, seseorang menyeruak perlahan. Tanpa ekspresi. Hanya isyarat.

Ia pernah bercumbu dengan lampu lalu lintas. Kadang hijau, kuning sesekali, paling sering merah. “Aku tak tahan pada cinta yang digilir-gilir,” ujarnya sesenggukan. Lalu ketika mesin-mesin kendaraan itu kembali menderu, seseorang bergeming di sana. Juga tanpa ekspresi. Hanya isyarat.

Ia pernah bersetubuh dengan lampu Natal. Gemerlap, dinamis, romantis. “Aku benci pada cinta yang hanya datang di bulan Desember,” ucapnya berlinang air mata. Lalu ketika lampu-lampu mungil itu disimpan, seseorang menyisakan cahaya. Masih tanpa ekspresi. Hanya isyarat.

Ia pernah bersenggama dengan kembang api. Spontan, menggairahkan, namun tunduk pada durasi. “Aku muak pada cinta yang cepat usai.” Kali ini ia menggerung. Lalu ketika meriah kembang api habis dienyahkan malam, langit melukis sesosok wajah. Lagi-lagi tanpa ekspresi. Hanya isyarat.

Ia pernah bercinta dengan lilin. Penuh pengorbanan, setia, tahan lama. “Aku bosan pada cinta yang temaram.” Ia tampak pasrah. Lalu ketika nyala lilin itu musnah, kegelapan menghadirkan sesosok makhluk. Seseorang yang menyeruak perlahan dari onggokan kayu yang telah menjadi abu. Seseorang yang bergeming ketika kendaraan mulai melaju meninggalkan lampu merah yang telah berganti hijau. Seseorang yang menyisakan cahaya ketika lampu-lampu Natal telah disimpan. Seseorang yang dilukis langit ketika meriah kembang api telah usai.

“Kamu siapa?” ia bertanya

Makhluk itu tak menjawab. Hanya isyarat. Tanpa ekspresi.

“Kenapa kamu selalu mengikutiku?” ia bertanya lagi.

Makhluk itu tetap tak menjawab. Hanya isyarat. Tanpa ekspresi.

Sontak, makhluk itu menoleh menatapku. Aku tergeragap. Rasanya, aku mengenalnya.

Déjà vu …

Hening …

Makhluk itu berpaling. Berjalan menjauh. Samar, kudengar bisikan ‘aniccaanityawúcháng mujō… ketak-kekalan’. Lalu makhluk itu ditelan molekul udara.

Déjà vu

Hening …

Aku menjumpai kesendirian. Tak ada ‘ia’ yang bertanya. Tak ada ‘aku’ yang melihat.


Bandung, 10 Maret 2011


No comments: