10 gadis kecil
berkostum putih-ungu menari dengan gerakan malu-malu di pojok panggung. Entah
tamborin entah rebana, saya tak bisa membedakan, bergemerincing di
tangan-tangan mungil mereka mengiringi puji-pujian yang dilangitkan jemaat
kepada Yesus. Di pojok panggung yang lain, satu set alat musik: gitar, drum,
dan keyboard dimainkan beberapa
pemuda yang memandu 3 song leaders
menyanyikan lagu-lagu yang bukan dari Kidung Jemaat, Mazmur, ataupun Nyanyian
Rohani. Beberapa jemaat, bernyanyi sambil bertepuk tangan.
Tak ada yang
aneh sebenarnya dari ‘penggalan’ kebaktian khusus Awal Tahun yang saya
gambarkan di atas. Hal-hal serupa itu sudah sangat lazim dalam liturgi gereja
Toraja, khususnya beberapa tahun belakangan. Namun menjadi menarik (buat saya)
ketika membandingkannya dengan kondisi puluhan tahun lalu ketika saya masih ABG
(meskipun saya masih tetap muda. :-p). Dulu, kidung-kidung pujian yang
dinyanyikan dalam liturgi kebaktian hanya diambil dari 3 sumber: Kidung Jemaat,
Mazmur, dan Nyanyian Rohani. Dulu, bertepuk tangan ketika bernyanyi dalam
kebaktian dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Dulu, alat-alat musik sebagai
pengiring pujian jemaat dianggap hanya ‘sah’ bagi Kristen aliran Pantekosta,
Bethani, dan lain-lain. (Lain-lain alias tidak tahu).
Sepanjang
kebaktian berlangsung, saya kemudian malah sibuk mengamati perubahan-perubahan
ritus yang terjadi. Ada kegembiraan (kalau boleh dibilang begitu) sekaligus
tanda tanya yang muncul di benak saya. Saya gembira karena paling tidak saya
tidak perlu lagi bernyanyi dengan tempo yang terlalu lambat seperti dulu. Saya
gembira karena buat saya bernyanyi sambil diiringi musik rasanya lebih enak
dibandingkan acapella. Saya gembira karena lagu-lagu rohani yang dipopulerkan
oleh Nikita, penyanyi bersuara sangat merdu itu kini bisa pula dilagukan pada
kebaktian-kebaktian di gereja. Dan saya gembira sekaligus bertanya-tanya:
apakah bernyanyi dengan cara seperti ini merepresentasikan kualitas keimanan
yang lebih baik?
Menyoal ritus dan
tradisi beragama, saya teringat seorang kawan yang beberapa tahun lalu pernah
bertanya kepada saya: Benarkah Yesus itu lahir pada tanggal 25 Desember?
Bukankah ‘Natal’ adalah tradisi Pagan yang diadaptasi oleh Kristen? Ketika itu,
saya hanya menjawab ‘kurang tahu juga yah’ (karena memang saya tidak tahu
jawabannya, :D). Beberapa tahun setelah itu, saya kemudian ‘bergumul’ dengan
ritus dan tradisi-tradisi agama. Namun, jika pertanyaan teman saya tadi
ditanyakan lagi kepada saya, maka jawaban saya pun rasanya tidak akan ‘lebih
baik’. Kalau dulu saya akan menjawab ‘kurang tahu juga yah’ maka sekarang saya
akan menjawab ‘emang kenapa?’.
Lalu saya
teringat air. Ia bisa berfase padat, cair, atau uap mengikuti fungsi
temperatur. Ia juga bisa berbentuk lonjong, bulat, atau tak bernama tergantung
bentuk wadah yang menampungnya. Ia pun bisa dikenali sebagai air selokan, air
sungai, atau air laut menurut tempatnya berada. Saya membayangkan bagaimana
terkejutnya sebongkah es ketika bertemu dengan sekelompok uap air. Saya duga,
ia akan melotot melihat uap air yang dengan begitu lincahnya menari dalam
molekul udara. Lalu, ketika air selokan berjumpa dengan samudera, barangkali ia
akan terbelalak dengan ukuran samudera yang seperti tak bertepi. (Dan mendadak
hujan menjadi sangat deras).
Saya tak jadi
menjawab pertanyaan tadi: adakah perubahan cara bernyanyi beserta lagu-lagunya
mengindikasikan kualitas beriman yang lebih baik. Barangkali, saya pun tak
perlu dan tak akan bisa menjawabnya hingga kapan pun. Seperti segelas kopi yang
berusaha menjelaskan air tanpa pernah tahu bahwa dia ‘bersaudara’ dengan
secangkir teh atau semug susu panas.
Lalu mendadak
hujan berhenti yang membuat saya tak lagi tertarik melanjutkan tulisan ini.
(Pembenaran sempurna bagi ide yang sudah enggan dijamah aksara, hehehe).
Selamat TAHUN
BARU!
No comments:
Post a Comment