Tuesday, September 3, 2013

RITUS: Air yang (Berusaha) Menjelaskan Diri

10 gadis kecil berkostum putih-ungu menari dengan gerakan malu-malu di pojok panggung. Entah tamborin entah rebana, saya tak bisa membedakan, bergemerincing di tangan-tangan mungil mereka mengiringi puji-pujian yang dilangitkan jemaat kepada Yesus. Di pojok panggung yang lain, satu set alat musik: gitar, drum, dan keyboard dimainkan beberapa pemuda yang memandu 3 song leaders menyanyikan lagu-lagu yang bukan dari Kidung Jemaat, Mazmur, ataupun Nyanyian Rohani. Beberapa jemaat, bernyanyi sambil bertepuk tangan.

Tak ada yang aneh sebenarnya dari ‘penggalan’ kebaktian khusus Awal Tahun yang saya gambarkan di atas. Hal-hal serupa itu sudah sangat lazim dalam liturgi gereja Toraja, khususnya beberapa tahun belakangan. Namun menjadi menarik (buat saya) ketika membandingkannya dengan kondisi puluhan tahun lalu ketika saya masih ABG (meskipun saya masih tetap muda. :-p). Dulu, kidung-kidung pujian yang dinyanyikan dalam liturgi kebaktian hanya diambil dari 3 sumber: Kidung Jemaat, Mazmur, dan Nyanyian Rohani. Dulu, bertepuk tangan ketika bernyanyi dalam kebaktian dianggap sebagai sesuatu yang aneh. Dulu, alat-alat musik sebagai pengiring pujian jemaat dianggap hanya ‘sah’ bagi Kristen aliran Pantekosta, Bethani, dan lain-lain. (Lain-lain alias tidak tahu).

Sepanjang kebaktian berlangsung, saya kemudian malah sibuk mengamati perubahan-perubahan ritus yang terjadi. Ada kegembiraan (kalau boleh dibilang begitu) sekaligus tanda tanya yang muncul di benak saya. Saya gembira karena paling tidak saya tidak perlu lagi bernyanyi dengan tempo yang terlalu lambat seperti dulu. Saya gembira karena buat saya bernyanyi sambil diiringi musik rasanya lebih enak dibandingkan acapella. Saya gembira karena lagu-lagu rohani yang dipopulerkan oleh Nikita, penyanyi bersuara sangat merdu itu kini bisa pula dilagukan pada kebaktian-kebaktian di gereja. Dan saya gembira sekaligus bertanya-tanya: apakah bernyanyi dengan cara seperti ini merepresentasikan kualitas keimanan yang lebih baik?

Menyoal ritus dan tradisi beragama, saya teringat seorang kawan yang beberapa tahun lalu pernah bertanya kepada saya: Benarkah Yesus itu lahir pada tanggal 25 Desember? Bukankah ‘Natal’ adalah tradisi Pagan yang diadaptasi oleh Kristen? Ketika itu, saya hanya menjawab ‘kurang tahu juga yah’ (karena memang saya tidak tahu jawabannya, :D). Beberapa tahun setelah itu, saya kemudian ‘bergumul’ dengan ritus dan tradisi-tradisi agama. Namun, jika pertanyaan teman saya tadi ditanyakan lagi kepada saya, maka jawaban saya pun rasanya tidak akan ‘lebih baik’. Kalau dulu saya akan menjawab ‘kurang tahu juga yah’ maka sekarang saya akan menjawab ‘emang kenapa?’.

Lalu saya teringat air. Ia bisa berfase padat, cair, atau uap mengikuti fungsi temperatur. Ia juga bisa berbentuk lonjong, bulat, atau tak bernama tergantung bentuk wadah yang menampungnya. Ia pun bisa dikenali sebagai air selokan, air sungai, atau air laut menurut tempatnya berada. Saya membayangkan bagaimana terkejutnya sebongkah es ketika bertemu dengan sekelompok uap air. Saya duga, ia akan melotot melihat uap air yang dengan begitu lincahnya menari dalam molekul udara. Lalu, ketika air selokan berjumpa dengan samudera, barangkali ia akan terbelalak dengan ukuran samudera yang seperti tak bertepi. (Dan mendadak hujan menjadi sangat deras).

Saya tak jadi menjawab pertanyaan tadi: adakah perubahan cara bernyanyi beserta lagu-lagunya mengindikasikan kualitas beriman yang lebih baik. Barangkali, saya pun tak perlu dan tak akan bisa menjawabnya hingga kapan pun. Seperti segelas kopi yang berusaha menjelaskan air tanpa pernah tahu bahwa dia ‘bersaudara’ dengan secangkir teh atau semug susu panas.

Lalu mendadak hujan berhenti yang membuat saya tak lagi tertarik melanjutkan tulisan ini. (Pembenaran sempurna bagi ide yang sudah enggan dijamah aksara, hehehe).
                                                                                                                                               

Selamat TAHUN BARU!

No comments: